Salin Artikel

Penanganan Setengah Hati Polres Malang terhadap Laporan Korban Kanjuruhan

Mulai dari LP (laporan polisi) model A yang lebih mendahulukan peristiwa perusakan dan penyerangan aset kepolisian (LP/A/31/dst), dibanding LP model A terkait kematian 100 orang lebih di stadion tersebut (LP/A/32/dst).

Ironis, karena jika melihat video uncut yang diunggah Youtube Radio Citra Buana (RCB FM), peristiwa mobil atau aset kepolisian diserang justru setelah terjadinya penembakan gas air mata.

LP model A adalah Laporan Kepolisian yang dibuat oleh anggota Polri yang mengalami, mengetahui atau menemukan langsung peristiwa yang terjadi. Sedangkan Laporan Polisi Model B dibuat oleh anggota Polri yang mengalami, mengetahui atau menemukan langsung peristiwa yang terjadi (Peraturan Kapolri No 11 tahun 2014).

Maka, suka tidak suka, jika dilihat dari sisi administrasi kepolisian lebih memikirkan asetnya ketimbang peristiwa yang menimpa masyarakat umum, termasuk dua anggotanya.

Kedua laporan polisi model A tersebut bahkan sudah naik sidik dalam waktu kurang dari seminggu.

Laporan polisi A/32 kemudian terus bergulir hingga persidangan. Pada Maret lalu, sempat menghadirkan vonis “angin” di mana atas dasar tersebut 2 dari 5 terdakwa divonis bebas.

Meski akhirnya pada Agustus 2023, Mahkamah Agung menganulir vonis bebas untuk keduanya, yakni Kasat Samapta dan Kabagops Polres Malang. Sedangkan LP/A/31 sampai saat ini belum jelas kelanjutannya.

Jauh sebelum vonis “angin”, keluarga korban yang menyadari adanya ketidakberesan dalam penanganan LP model A, mulai dari tersangka, hingga pasal yang dikenakan, telah “mengantisipasi” dengan membuat Laporan Kepolisian, yakni LP model B yang dibuat DA dan RPP.

LP model B tersebut sangat berbeda dengan penanganan kasus dengan atensi nasional, bahkan internasional, seperti kasus Ferdy Sambo hingga kasus Mario Dandy yang penanganannya begitu bagus. Bahkan ada upaya dari Mabes Polri untuk menarik penanganan perkara dari kelas Polres ke kelas yang lebih tinggi.

LP model B hingga bulan keempat hanya melakukan interview polisi dengan jumlah hanya hitungan jari.

Sempat mau dihentikan pada Mei 2023, namun atas desakan dan perhatian masyarakat, Polres Malang masih “memberi napas” bagi keluarga korban hingga September 2023.

Puncaknya pada 8 Agustus 2023, dalam rilis, AKBP Putu Kholis, Kapolres Malang menyatakan perkara tersebut tidak memenuhi unsur sesuai pasal 338 dan 340 KUHP sehingga tidak bisa naik ke tahap penyidikan.

Hal ini sangat ironis mengingat adanya 135 jiwa yang melayang. Tentu tidak lepas dari pelanggaran hukum.

Bahwa ada kelalain dari 6 tersangka (hanya 5 yang lanjut menjadi terdakwa), tentunya tidak lebih dari besaran peran yang dimiliki seorang Dirut PT Liga Indonesia Baru, Ketua Panpel Arema, Security Officer Panpel Arema, Kabagops Polres Malang, Kasat Samapta, dan Danki Brimob.

Keenam terdakwa tersebut tidak bisa dibilang terlibat secara langsung atas kematian 135 nyawa dan luka ratusan orang lainnya karena penembakan gas air mata tidak dilakukan langsung oleh tangan mereka.

Polisi seharusnya melakukan pengusutan terhadap petugas yang melakukan penembakan ke tribun 10-14, tempat di mana para korban meninggal berada. Ironis, jika alasan mereka ingin meredakan kerusuhan, kenapa penonton di tribun yang ditembak?

Lebih ironis lagi jika menyimak Rencana Pengamanan (Renpam) yang disusun Polres Malang bahwa tidak ada penggunaan gas air mata dalam kondisi terburuk sekalipun (situasi merah).

Toh Polres Malang bukan Polres “kemarin sore” dalam menyelenggarakan pengamanan pertandingan sepak bola, termasuk yang berisiko tinggi.

Sudah berapa partai Arema vs Persebaya ditangani Polres Malang tanpa adanya kerusuhan, apalagi korban jiwa.

Kembali ke polisi yang menembak gas air mata, Polres Malang sebaiknya melihat peran serta mereka seperti halnya Bareskrim melihat peran serta Bharada Richard Eliezer dalam menembak Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.

Bharada Eliezer yang dalam situasi sulit menolak perintah, apalagi dalam ruang tertutup, dengan jarak kepangkatan 18 tingkat, tentunya mengalami situasi lebih pelik dibandingkan para penembak gas air mata. Namun penyidik tetap menetapkan Bharada Eliezer sebagai tersangka.

Penembak gas air mata di Kanjuruhan berada dalam posisi lebih mungkin untuk menolak perintah. Keberadaan komandan yang bisa jadi tidak berada dalam hitungan meter seperti Sambo dengan Bharada Eliezer tentunya memungkinkan para penembak gas air mata untuk tidak menembak ke tribun.

Belum lagi jarak kepangkatan yang tidak sejauh Bharada Eliezer dengan Sambo, tentunya memungkinkan bagi mereka untuk mencari cara untuk tidak menembakan gas air mata.

Jika memang unsur pembunuhan apalagi pembunuhan berencana tidak terpenuhi, penyidik bisa mengkonstruksikan pasal lain kepada para penembak gas air mata. Apakah pasal penganiayaan yang menyebabkan kematian, hingga pasal perlindungan anak di mana ada 32 anak yang menjadi korban meninggal di Kanjuruhan.

Tidak mungkin penembak gas air mata yang menyebabkan kematian bisa lepas dari jerat pidana, sedangkan seorang Bharada Eliezer yang menyebabkan satu kematian bisa dijerat pidana, meski dengan hukuman minimal atas perannya mengungkap perkara.

Tragedi Kanjuruhan bisa tuntas bukan dengan kunjungan Kapolres dan jajarannya ke rumah-rumah korban, pengajian tiap Jumat, memberikan SIM gratis, dan upaya-upaya lain.

Kanjuruhan akan tuntas jika para penembak gas air mata itu diberikan sanksi secara pidana. Karena sesungguhnya besar harapan masyarakat kepada kepolisian adalah penegakan hukum.

https://regional.kompas.com/read/2023/09/11/07000061/penanganan-setengah-hati-polres-malang-terhadap-laporan-korban-kanjuruhan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke