Salin Artikel

Tak Hanya Lecehkan Santriwatinya, Pimpinan Ponpes di Semarang Diduga Gelapkan Sejumlah Uang

Bayu Aji Anwari, pimpinan ponpes tersebut diduga melakukan pelecehan seksual kepada enam santriwati di tempatnya. Selain membuka dua ponpes di Semarang, pelaku juga menjadi penyalur bagi santri yang ingin meneruskan pendidikan di Malang, Jawa Timur.

Belakangan, diketahui pelaku juga menggelapkan uang para santri. Hal itu terungkap saat orangtua korban pelecehan seksual mengadu ke Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jawa Tengah.

Salah satu pendamping korban, Nihayatul Mukaromah mengatakan, biaya pendidikan korban sekitar Rp 30 juta tidak dibayarkan pelaku ke sekolah di Malang.

"Jadi uang dari korban sekolah kelas satu sampai kelas tiga tidak dibayarkan," jelasnya saat dikonfirmasi via telepon, Kamis (7/9/2023).

Hal itu membuat korban tak bisa mengambil ijazah kelulusan. Fakta tersebut benar-benar memukul orangtua korban. Pasalnya, sampai sekarang korban kesulitan melanjutkan pendidikan dan bekerja.

"Sekarang ijazah juga belum bisa diambil karena belum dibayarkan oleh pemimpin pondok tersebut," kata dia.

Sampai sekarang, ijazah tersebut terpaksa belum diambil karena orangtua korban tak punya biaya yang cukup.

"Orang tua korban itu hanya pedagang kecil," imbuh dia.

Hal yang sama dikatakan Haryono, salah satu jemaah Bayu Aji. Dia mengaku mulai mengikuti pengajian di Ponpes itu sekitar 2009.

“Nek iso gajimu ditabung (Kalau bisa gajimu ditabung), untuk masa depan,” kata Haryono menirukan ucapan pelaku.

Mendengar ucapan itu, Haryono pun mematuhi perkataan Muh Anwar dan mulai menabung di BMT sejak 2010 hingga 2021. Pada 2012 dia disuruh membeli sebidang tanah kavling di daerah Bangetayu Semarang. Haryono kemudian menuruti pelaku dengan membeli tanah seluas 72 meter persegi itu.

Agar dapat memiliki tanah kavling, Haryono harus mengeluarkan Rp 5 juta untuk uang muka dan membayar cicilan sebesar Rp 500 ribu per bulan selama 5 tahun.

“Saya mencari pinjaman ke orang tua untuk bisa membayar uang muka itu,” katanya.

Kemudian, pada 23 Juli 2012, setelah mendapatkan pinjaman, dia memberikan uang muka tersebut kepada pelaku. Uang utang dari pelaku itu dia lunasi dengan cara mengambil uang di tabungan BMT milik pondok. Namun, niatnya itu tak direstui oleh pelaku.

"Kowe tak ke’i Rp 100 juta yo ra bakal cukup kebutuhanmu, ben neng kono wae (Kamu saya kasih Rp 100 juta juga tidak akan cukup untuk kebutuhanmu, biar di BMT saja),” kata Haryono menirukan kata-kata pelaku.

Singkat cerita, uang cicilan tanah tersebut lunas pada 3 Mei 2018. Total biaya yang telah dia keluarkan untuk bayar tersebut sebanyak Rp 35 juta. Tanah tersebut kemudian digunakan pelaku untuk membangun pondok.

"Terus tahun 2022 saya mendengar berita pemerkosaan. Ternyata benar jika Muh Anwar (pelaku) tidak amanah lagi," ungkap dia.

Mengetahui hal itu, dia tidak tinggal diam. Haryono lantas menanyakan uang tabungan di BMT yang dikelola pondok.

"Bilangnya BMT tidak ada uang saat saya tanya," paparnya.

Kini kekhawatirannya semakin memuncak karena uang cicilan tanah kavling dan tabungan BMT itu kemungkinan tak akan pernah kembali.

“Saya enggak tahu uang itu dipakai siapa, karena tidak ada laporan ke saya. Saat mau ambil uang bilangnya selalu gak ada,” kata Haryono.

https://regional.kompas.com/read/2023/09/07/181922578/tak-hanya-lecehkan-santriwatinya-pimpinan-ponpes-di-semarang-diduga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke