Salin Artikel

Skripsi Tak Lagi Wajib, Mahasiswa di Kampus Semarang Bersuara

Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.

Kebijakan tersebut tentunya mengundang pro dan kontra, terlebih di kalangan mahasiswa semester akhir.

Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) Jurusan Pendidikan IPS angkatan 2019, Khumaeroh, mengaku tidak setuju dengan kebijakan tersebut.

Menurut Khume, panggilan akrabnya, skripsi menjadi salah satu bentuk bukti pencapaian mahasiswa selama menimba ilmu di perguruan tinggi. Terlebih, mahasiswa jurusan pendidikan seperti dirinya.

"Itu jadi bukti bahwa mahasiswa mampu menerapkan ilmunya ke lingkungan yang nyata baik itu sekolah, budaya, masyarakat, maupun instansi yang sesuai dengan ilmu yang diajarkan. Meski skripsi bisa diganti proyek, tapi menurutku tetap beda," ucap Khume kepada Kompas.com, Kamis (31/8/2023).

Selain itu, Khume menyebut, skripsi juga menjadi cerminan hasil belajar para mahasiswa selama menimba ilmu di perguruan tinggi. Lantaran, mereka jadi bisa mampu menelaah masalah hingga mencetuskan solusi.

Dengan demikian, skripsi dianggap sebagai satu aset yang penting untuk masa depan mahasiswa.

"Sebetulnya masih pro kontra banget ya soalnya belum berjalan juga. Kalau dari padanganku sih kebijakan ini jadi kurang worth it buat kedepan," tutur dia.

Lebih jelas Khume menuturkan, meski banyak berlandasakan teori, skripsi dapat dikolaborasikan dengan aksi maupun kemampuan yang nantinya akan berguna di dunia kerja.

Khume mengibaratkan, skripsi dan kemampuan ialah seperti hardware dan software yang ada di perangkat laptop. Dua hal tersebut sangatlah berbeda, namun saling berkesinambungan.

"Menurutku pasal skripsi dan kemampuan itu sudah hal yang beda, tapi keduanya bisa dikolaborasikan. Karena skill kita di dunia kerja ya tetap butuh landasan. Selagi ada ilmunya, mendingan digabungin biar lebih jelas dan kita bisa mengira-ngira," ujar mahasiswa semester 9 itu.

Berbeda dengan Khume, mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Mukhlis, sangat setuju dengan kebijakan tak wajibnya skripsi sebagai syarat kelulusan.

Mukhlis menyebut, skripsi bukanlah hal mendesak yang dibutuhkan masyarakat saat ini. Dibanding harus mengerjakan skripsi, dirinya lebih memilih untuk membuat sebuah produk karya yang dapat diimplementasikan kepada masyarakat sekitar.

"Kalau misal kita bisa bikin produk karya, nantinya bisa langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Jadinya lebih bagus dan worth it," tutur mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) angkatan 2019 itu.

Di samping itu, dirinya menyebut pengganti selain skripsi dapat memudahkan mahasiswa untuk lebih cepat lulus dan menemukan jati diri melalui kemampuan atau skill yang didalami selama kuliah.

"Kita juga harus punya power atau kemampuan yang berguna, bermanfaat di dunia pekerjaan," imbuh dia.

Kebijakan yang luwes

Sementara itu, mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip) Jurusan Sastra Indonesia, Chintya Agnesty, memiliki dua pandangan dari sisi pro maupun kontra terhadap aturan baru Mendikbutristek.

Chintya menyebut, menyelesaikan skripsi tidaklah sebanding dengan perjuangan belajar di kampus selama kurang lebih empat tahun.

Bahkan, banyak kasus Drop Out (DO) yang terjadi kepada mahasiswa akibat tidak bisa menyelesaikan skripsi. Padahal, tidak semua mahasiswa memiliki passion untuk mengerjakan skripsi yang penuh teori.

"Ternyata tidak semua orang memiliki passion untuk menjadi akademisi, peneliti, dan penulis ilmiah yang penuh dengan teori. Selain itu, adanya skripsi itu jadi batasan mahasiswa untuk berkarya," ucap Chintya.

Chintya mengatakan, adanya skripsi juga memberatkan mahasiswa angkatan 2019 sepertinya yang telah merasakan perubahan kurikulum secara berkala.

"Jadi, untuk apa dong kurikulum dan cara belajar kita ini diubah-ubah terus, tapi pada akhirnya skripsi jadi satu-satunya yang menentukan kelulusan," ucap dia.

Meski demikian, Chintya juga memiliki pandangan dari sisi kontra terhadap kebijakan tersebut. Dirinya menyebut, bagi orang yang memiliki ketertarikan di bidang kepenlelitian, skripsi menjadi satu hal yang penting.

Lantaran, mereka akan lebih banyak membaca, menelaah, dan mencetuskan masalah dalam bidang kepenelitian.

"Ini lebih mengarah ke orangnya sih passionnya ke arah mana, tidak bisa disamaratakan semua. Karena kita tau semua orang punya passionnya masing-masing," ucap dia.

Dengan demikian, Chintya menyebut, kebijakan tidak wajibnya skripsi memang perlu diterapkan. Dengan catatan, disesuaikan menurut passion dan kemampuan yang dimiliki masing-masing mahasiswa.

"Misal hanya ditentukan dengan penilaian skripsi, itu juga tidak bisa. Karena balik lagi, ternyata masing-masing dari kita tidak semua passion loh untuk ngerjain skripsi. Jadi kebijakan ini harus bisa dipilih," pungkas dia.

https://regional.kompas.com/read/2023/09/01/093940378/skripsi-tak-lagi-wajib-mahasiswa-di-kampus-semarang-bersuara

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke