Salin Artikel

Mengapa Mentawai Disebut Sebagai Bumi Sikerei?

KOMPAS.com - Kepulauan Mentawai merupakan nama salah satu Kabupaten yang terletak di Provinsi Sumatera Barat.

Kabupaten ini dibentuk berdasarkan UU RI Nomor 49 Tahun 1999 dan dinamai sesuai dengan nama asli geografisnya.

Kabupaten Kepulauan Mentawai terdiri dari 4 kelompok pulau utama yang berpenghuni yaitu Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara dan Pulau Pagai Selatan yang dihuni oleh mayoritas masyarakat suku Mentawai.

Namun ada satu keunikan yang dimiliki oleh Kabupaten Kepulauan Mentawai yaitu julukannya sebagai Bumi Sikerei.

Disematkannya sebutan Bumi Sikerei bagi Kabupaten Kepulauan Mentawai tak lepas dari keberadaan masyarakat suku Mentawai yang terkenal karena seni rajah tubuh atau tato.

Selain tradisi tato tradisional tersebut, masyarakat suku Mentawai juga mempercayai sosok yang dipanggil dengan sebutan Sikerei.

Apa Itu Sikerei?

Dilansir dari laman Kemendikbud, Sikerei adalah sebutan bagi orang dari suku Mentawai yang dipercayai memiliki kekuatan spiritual yang tinggi dan memiliki kedekatan dengan roh leluhur untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit.

Sikerei juga menjadi salah satu dari struktur kemasyarakatan dalam adat suku Mentawai yang memegang peranan penting, terutama yang berkaitan dengan tanggung jawab terhadap kesehatan masyarakat.

Mengenali Sikerei dapat dilakukan dengan melihat motif tato sibalubalu yang dirajah pada bagian pangkal lengan sebagai simbol penjaga kesehatan bagi masyarakat.

Dalam melakukan tugasnya, Sikerei melakukan pengobatan melalui mantra-mantra dalam ritual punen pabetai (pengobatan orang sakit).

Proses penyembuhan orang sakit biasanya dilakukan oleh sang Sikerei dengan memberikan ramuan obat dan dilanjutkan dengan tarian khusus atau disebut dengan Turuk.

Gerakan Turuk ini dipercaya menjadi tarian untuk melakukan pemanggilan arwah leluhur.

Sikerei juga mengobati melalui lagu yang dinyanyikan dengan tujuan meminta bantuan kekuatan kepada roh leluhur agar obat yang sedang diramu menjadi manjur.

Lagu-lagu yang biasa dinyanyikan Sikerei dalam pengobatan adalah urai ukui, urai tirik laggai dan urai tibbalet. Setelah ketiga jenis lagu selesai dinyanyikan maka ramuan obat sudah bisa dioleskan ke tubuh si sakit.

Maka tidak mengherankan jika seorang Sikerei dikenal sebagai sosok yang memiliki perilaku yang sangat baik dalam kehidupan.

Hal ini mengingat tugasnya sebagai mediator untuk menjaga kelancaran komunikasi antara masyarakat suku Mentawai dengan alam arwah para leluhur.

Semuanya tak lepas dari kebiasaan hidup masyarakat Suku Mentawai yang dikenal masih bergantung penuh pada alam dan jauh dari peradaban modern.

Sikerei adalah Orang Pilihan

Tidak semua orang dari suku Mentawai bisa menjadi Sikerei, namun hanya orang-orang pilihan saja.

Dilansir dari laman ksdae.menlhk.go.id, Penetapan Sikerei dilihat dari tiga cara, yaitu kemauan diri sendiri, perintah dari orang tua atau leluhur, dan karena sakit.

Bagi mereka yang menjadi Sikerei karena keinginan sendiri, maka orang tersebut cukup menjalankan aturan-aturan serta menghindari pantangan-pantangannya (kei-kei).

Adapun pantangan-pantangan (kei-kei) yang wajib dijauhi oleh seorang Sikerei antara lain tidak boleh bersetubuh bahkan dengan istri selama dalam proses Kerei, tidak boleh makan sembarang waktu (sesuai waktu ritual), serta tidak boleh memakan owa Mentawai (Bilou atau Simabilau) dan ikan panjang (belut).

Sementara bagi mereka yang ditunjuk oleh orang tua atau leluhur maka mereka juga wajib untuk menjadi Sikerei dan harus memenuhi syarat dan proses-prosesnya.

Begitu pula bagi yang disembuhkan penyakit oleh Sikerei, yang dalam keyakinan setempat adalah bentuk panggilan dari roh para leluhur untuk menjadi seorang Sikerei.

Masyarakat Suku Mentawai meyakini apabila hal tersebut tidak dijalankan dan dipatuhi, akan datang kutukan dan malapetaka yang menimpa orang tersebut.

Selain pantangan, untuk menjadi seorang Sikerei, seseorang harus melaksanakan upacara adat atau yang disebut dengan Lia.

Sebelum sampai kepada pelaksanaan upacara tersebut, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi.

Syaratnya tersebut antara lain, seorang calon Sikerei harus memiliki banyak ternak babi yang dipelihara, memiliki umur minimal 40 tahun, sanggup mematuhi aturan Kerei dan menjauhi pantangannya yakni kei-kei.

Setelah syarat-syarat tersebut terpenuhi, dilanjutkan proses yang disebut kerei yang diawali dengan Menyagu (mengolah sagu), Luluplup, Ulainok, Ugettek, Uogbug, dan diakhiri dengan pasigabah iba.

Dalam pelaksanaan tahapan-tahapan tersebut ada beberapa alat-alat yang digunakan, meliputi kabit, salipak dan bakluh, talatak, tetekuk, luat, singenyet, sibodhag, lai-lai, lekkau, sabot Kerei, sineibag dan ngalou.

Bumi Sikerei Butuh Sikerei Muda

Belakangan ini jumlah pertambahan Sikerei pada masyarakat Mentawai disebut kian berkurang.

Hal ini disebabkan beberapa hal, seperti kurangnya ketertarikan kaum muda yang sudah mengalami perkembangan zaman.

Kemudian faktor yang menyebabkan turunnya minat kaum muda menjadi Sikerei adalah sulitnya syarat yang harus dipenuhi dan adanya kebiasaan berpantang.

Tradisi berpantang bagi seorang Sikerei apabila dilanggar akan memiliki sanksi besar sehingga kerap ditakuti oleh kaum muda.

Tentunya hal ini menjadi tantangan bagi masyarakat adat di Mentawai, mengingat pentingnya Sikerei bagi masyarakat.

Sumber:
kebudayaan.kemdikbud.go.id  
warisanbudaya.kemdikbud.go.id  
ksdae.menlhk.go.id  

https://regional.kompas.com/read/2023/08/22/230517278/mengapa-mentawai-disebut-sebagai-bumi-sikerei

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke