Salin Artikel

Garam Gunung Krayan Jadi Alat Barter, Petani Minta Pemerintah Bantu Label Halal

NUNUKAN, KOMPAS.com - Garam gunung Krayan yang merupakan salah satu kekayaan alam dan keunikan wilayah perbatasan Republik Indonesia-Malaysia masih belum leluasa menembus pasar lokal.

Krayan masih menjadi daerah terisolir, meski pernah terbersit asa, dengan wacana dibukanya jalur darat Malinau-Krayan yang disebut sebagai kunci memutus keterisoliran.

Tokoh masyarakat Pa'Kebuan, Krayan, yang juga petani garam gunung, Simson, menyesalkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap potensi unik ini.

"Saya ke mana-mana selalu membawa garam Krayan agar dikenal banyak orang. Itu salah satu usaha memperkenalkan garam gunung yang tergolong unik,"ujarnya, Selasa (15/8/2023).

Dari support Kemendag, mereka membawa garam Krayan ke laboratorium.

Hasilnya, garam Krayan, mengandung 6,65 mg lodium, 0,67 persen kadar air, dan 94,1 persen kadar garam.

Selanjutnya, disarankan agar garam tersebut, dipasarkan dengan packaging menarik.

"Kami dapatkan lisensi dari Kementrian. Artinya, garam Krayan sudah layak jual. Tapi tetap saja, kondisi geografis Krayan membuat garam Krayan dijual ke Malaysia.

Jadi alat barter

Sejauh ini, masyarakat Krayan, masih mempraktekkan sistem barter, atau membayar barang dengan barang lainnya.

Tak terkecuali garam. Masyarakat sering membawa garam berpuluh kilogram ke Malaysia untuk ditukar dengan sembako ataupun material.

"Kalau seandainya garam kita dibeli secara cash, pasti warga sini sejahtera. Tapi ya begitu, jualnya hanya ke Malaysia, itupun seringnya barter,"katanya.

Pondok garam di Pa'Kebuan, memang dibangun untuk warga sekitar.

Siapa saja mau membuat garam dipersilakan, bahkan anak-anak kecil di Pa'kebuan sudah pandai membuat garam.

Garam gunung direbus selama 2 hari, lalu kotoran diendapkan.

Setelah itu, air asin yang sudah bersih disedot dan ditampung dalam bak. Untuk selanjutnya kembali direbus untuk mendapatkan garam berwarna putih bersih.

"Prosesnya tiga hari. Dan biasanya sekali dapat minimal 40 kilogram garam,"jelasnya.

Ketika sudah keluar dari kampung, harganya menjadi Rp 50.000 per kilogram.

"Kalau rutin buat garam, seminggu bisa dapat Rp 3,2 juta. Tapi kan biasanya dipakai barter. Dijual ke Tarakan, Malinau dan lainnya, orang bilang terlalu mahal,"keluhnya

Jadi bumbu favorit chef Bara

Simson menceritakan, saat ia memperkenalkan garam gunung ke Jakarta, tak sengaja bertemu dengan chef kondang di Indonesia, chef Bara.

Perkenalan tersebut menghasilkan buah indah di mana chef Bara menawarkan untuk ikut mempromosikan garam Krayan dan melakukan presentasi memasak menggunakan garam Krayan.

"Jadi saya sering chat sama chef Bara. Dia sering minta dikirim garam Krayan. Saya sering kirimkan itu ke Jakarta," tambahnya.

Tak sebatas itu, garam gunung Krayan juga sempat menjadi perhatian internasional.

Seperti dikatakan Simson, WWF pernah mengundang petani garam gunung Krayan, mempresentasekan pembuatan garam gunung di negara Brasil.

"Tapi teman saya yang wakilkan saya. Dia pandai bahasa Inggris, saya tidak,"kata Simson.

Menurut Simson, keinginan warga Krayan tidak muluk-muluk. Cukup membuka peluang pangsa pasar lokal, dan membantu sertifikasi halal bagi produk UMKM perbatasan tersebut.

"Selama ini masyarakat gerak sendiri. Tolonglah pemerintah bantu buatkan kami label halal di MUI. Supaya ada juga hasil bumi Krayan yang dikenal luas di luar sana,"kata Simson.

Ikuti terus liputan tim Ekspedisi Menjadi Indonesia, episode Kaltara Jantung Borneo dari Malinau menuju Krayan bersama rombongan Gubernur Kaltara Zainal Arifin Paliwang dengan mengklik tautan ini. Tim Kompas.com dalam liputan ini dibekali apparel dari Eiger.

https://regional.kompas.com/read/2023/08/17/135935778/garam-gunung-krayan-jadi-alat-barter-petani-minta-pemerintah-bantu-label

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke