Salin Artikel

Tane Olen, Tanah Larangan yang Dijaga Sebagai Penebus Dosa Hilangnya Tradisi Adat Dayak Oma Lung

MALINAU, KOMPAS.com - Suku Oma Lung, sub suku Dayak Kenyah, di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, memiliki sebuah hutan perawan, yang disebut sebagai Tane' Olen.

Dalam bahasa setempat, Tane' Olen berarti Tanah Larangan. Tidak ada satupun manusia yang boleh masuk ke Tane' Olen untuk menebang pohon, atau membunuh satwa di dalamnya.

"Tane' Olen adalah salah satu warisan nenek moyang yang harus kami pastikan keutuhannya. Jangan sedikit pun rusak oleh tangan manusia,"ujar Ketua Adat Oma Lung, Tong Lejau, ditemui Kompas.com, Minggu (13/8/2023).

Hukum adat ditegakkan dengan tegas tanpa pandang bulu, apakah yang menebang pohon di Tane Olen adalah suku mereka ataupun orang luar.

"Ada peraturan adatnya. Denda berlaku bagi penebang pohon di Tane Olen kami. Kalau yang melakukan orang luar, dendanya tentu jauh lebih besar,"ujarnya lagi.

Berkali kali tolak tawaran perusahaan

Tong Lejau menuturkan, Tane Olen, bukan sekedar warisan leluhur, melainkan lambang keutuhan dan keharmonisan mereka dengan alam.

Ia mengakui, tidak mudah menjaga Tane Olen. Bahkan beberapa perusahaan memiliki minat besar akan kandungan alam dan kayu kayu yang tumbuh di sana.

"Ada beberapa kali alat berat datang. Kami berdiri menahan alat berat masuk Tane Olen. Sepanjang masih ada napas saya ini, jangan pernah berharap bisa merusak Tane Olen kami,"tegasnya.

Pernah beberapa waktu silam, warga adat kecolongan. Ada sebuah perusahaan yang berniat membuka lahan dan sempat menebang 32 pohon kecil di Tane Olen.

Warga yang marah berombongan memprotes perusahaan dan meminta ganti rugi Rp 400 juta.
Sayangnya, pihak perusahaan kabur entah kemana setelah hanya membayar ganti rugi Rp 200 juta.

"Namanya tanah larangan, bahkan warga kami saja tidak boleh. Apalagi orang luar. Boleh ditebang untuk kebutuhan adat, bukan pribadi,"jelasnya.

Melihat potensi pelanggaran di Tane Olen, warga adat Oma Lung, akhirnya membuat aturan ketat.

Bagi mereka yang hendak menebang pohon di Tane Olen, harus izin Gubernur, dan mengantongi rekomendasi ketua adat. Itupun dibatasi dan dipilihkan pohonnya oleh warga adat.

"Sebenarnya kita mencari cara mustahilnya. Tane Olen, itu titipan moyang kami, tentu saja merusak Tane Olen, melanggar pantangan kami,"katanya.

Dihuni satwa endemik burung rangkong dan burung enggang

Di dalam Tane Olen, ada sejumlah satwa yang bisa dijumpai. Ada Bajing Kerdil, Musang Air, Landak Raya, Owa Kalawat, Rusa Sambar Kalimantan.

Bahkan beberapa burung juga ada, mulai pekakak emas, kuau raja, burung takur, rangkong sampai satwa endemik khas Kalimantan, burung enggang.

Keragaman hayati yang menyatu secara alami dengan alam yang lestari ini, kemudian menginisiasi warga adat, menjadikan Tane Olen sebagai destinasi wisata.

Warga bergantian menjaga, dan income dari kunjungan para turis, sebagian masuk dalam kas adat.

"Tapi jangan masuk terlalu jauh kedalaman hutan. Masih ada macan tutul di sana,"Tong Lejau mengingatkan.

Hampir setiap tahunnya, ada kunjungan turis asing. Dari Australia, Inggris dan Portugal.
Tiket masuk juga sangat murah, pengunjung hanya ditarik Rp 5000 perorang.

Warga adat juga menyiapkan sejumlah home stay dalam Tane Olen, tentunya bakal ada biaya tambahan, untuk menginap dan konsumsi.

"Bahan makanan boleh ambil daun daunan atau ikan di sungai. Tidak boleh berburu, dan jangan tinggalkan sampahnya di Tane Olen. Mereka hanya diperbolehkan di areal pinggiran hutan, tidak boleh masuk jauh dalam hutan, demi keamanan mereka sendiri,"kata Tong Lejau.

Layaknya hutan perawan, Tane Olen ditumbuhi banyak pohon raksasa, yang salah satunya adalah meranti kuning. Yang tercatat sebagai pohon nomor 7 paling besar di dunia.

Wasiat terakhir leluhur

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Tong Lejau, merasa berdosa akibat hilangnya tradisi rajah tubuh dan memanjangkan telinga.

Untuk menebus rasa bersalahnya, Tong Lejau, bersumpah akan menjaga keperawanan Tane Olen, dengan segala daya dan upayanya.

Ia menegaskan tidak akan goyah dengan banyaknya tawaran perusahaan atau pengusaha yang bermimpi bisa mendulang kekayaan Tane Olen.

"Biar bagaimana, Tane Olen adalah pesan terakhir nenek moyang yang wajib kami jaga,"katanya.

Tong Lejau, sempat menunduk dan menerawang saat mencoba melafalkan bunyi wasiat leluhur Oma Lung.

Ada suatu masa, di mana banyak kesulitan terjadi, sampai orang kota akan menjarah makanan demi bertahan hidup.

Dan peristiwa itu akan terjadi berkali kali, sampai si kaya tidak lagi mempedulikan yang miskin.

Tane Olen, akan menjamin kebutuhan warga adat Oma Lung, selama ia tetap lestari, tak terjamah oleh keserakahan manusia.

"Itu pernah terjadi pada zaman Covid-19. Banyak orang kaya memborong isi toko, tidak perduli sama kehidupan si miskin. Kami percaya wasiat leluhur, makanya Tane Olen, akan terus menjadi tanah terlarang,'tegasnya.

Liputan di Malinau dan Krayan, akan menjadi serial cerita di Kompas.com yang akan melakukan peliputan sampai HUT ke-78 RI di dataran tinggi Krayan.

Ikuti dan simak terus perjalanan Tim Kompas bersama Robertus Belarminus, Fikri Hidayat, Gitano Prayogo, Nissi Elizabeth, Lina Sujud, Yulvani Setiadi, dan Ahmad Dzulviqor.

https://regional.kompas.com/read/2023/08/13/153751478/tane-olen-tanah-larangan-yang-dijaga-sebagai-penebus-dosa-hilangnya-tradisi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke