Salin Artikel

Mengawal Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Padahal lebih dari tiga puluh tahun lalu di tempat itu Saranah ditelajangi, dipukuli, dan lehernya diikat tali. Hingga kini ia masih ingat kekerasan, bahkan nama-nama tentara yang menyiksanya.

Ada juga Kamariah yang ibunya telah wafat, namun sebagai keluarga korban nasibnya sama dengan Saranah.

Saranah dan Kamariah adalah sebagian dari 27 korban pelanggaran hak asasi manusia berat Rumoh Geudong yang hingga kini belum mendapat kepastian akan haknya sebagai korban (Kompas, 3/7/23).

Rumoh Geudong di Desa Bili Glumpang Tiga Pidie, Aceh, memang menjadi saksi dimulainya pelaksanaan penghormatan HAM dan upaya penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Butir Nawacita yang sudah dikumandangkang hampir sepuluh tahun lalu itu akhirnya diwujudkan pemerintahan Joko Widodo melalui program Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.

Presiden Jokowi menegaskan bahwa realisasi pemulihan hak korban dalam 12 peristiwa pelanggaran HAM berat merupakan tanda komitmen bersama untuk mencegah hal serupa terulang pada masa datang (Kompas, 30/6/23).

Alejandro Baer dan Natan Sznaider dalam bukunya Memory and Forgetting in the Post-Holocaust Era (2017) memaparkan lebih dalam konsep Never Again (mencegah terulang lagi).

Konsep ini menekankan tiga hal penting, yaitu mengingat kekejaman (remember atrocity), memuliakan korban (honor the victims) dan belajar untuk masa depan (learn for the future).

Dalam konteks program pemerintahan Joko Widodo, maka mengingat pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu dapat menjadi upaya untuk memahami dan menghormati korban serta mencegah terulangnya pelanggaran serupa pada masa depan.

Pendekatan yang inklusif dan pluralistik harus diterapkan dalam mengingat masa lalu yang penuh dengan konflik dan pelanggaran.

Ini termasuk mengakui dan menghargai berbagai kelompok yang menjadi korban, serta mempertimbangkan berbagai perspektif yang ada dalam proses rekonsiliasi dan memori kolektif.

Menilai Pro-kontra pembongkaran Rumoh Geudong sebagai wacana positif di masyarakat, misalnya, adalah praktik mempertimbangkan beragam perspektif tersebut.

Hal serupa dapat terjadi juga pada peristiwa pelanggaran HAM berat lainnya seperti kerusuhan Mei 1998, peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998, dan peristiwa Trisakti dan Semanggi II 1998-1999.

Tak hanya itu, masyarakat dapat disadarkan bahwa pengalaman dan ingatan kolektif mereka dapat memengaruhi pemahaman dan persepsi individu dalam kelompok tersebut. Inilah yang disebut anamnesis kolektif.

Anamnesis merujuk pada proses mengingat kembali atau memulihkan ingatan, biasanya terkait dengan pengalaman individu.

Namun, dalam konteks kolektif, anamnesis mengacu pada pengalaman yang dibagikan oleh anggota suatu kelompok atau masyarakat yang diwariskan melalui tradisi, narasi, mitos, atau budaya.

Dalam beberapa kasus, anamnesis kolektif dapat membentuk dasar untuk pembentukan memori kolektif.

Ketika anggota kelompok secara aktif terlibat dalam memori bersama dan berbagi pengalaman secara sosial, memori kolektif dapat terbentuk melalui interaksi sosial dan pemrosesan bersama.

Dalam hal ini, memori kolektif merupakan hasil dari proses kolektif yang melibatkan pengingatan dan interpretasi bersama.

Saranah dan Kamariah adalah representasi penyintas dan keluarga penyintas dari 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.

Masih banyak Saranah dan Kamariah lain yang jumlahnya ratusan orang, bahkan mungkin ribuan orang menanti pelaksanaan program Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.

Masa pemerintahan yang hanya tinggal satu tahun lebih ini sepertinya sulit menuntaskan seluruh 12 peristiwa pelanggaran HAM berat itu.

Keberlangsungan program ini pascarezim Joko Widodo memang samar. Para bakal calon presiden yang digadangkan media, hingga opini ini ditulis, belum ada satu orang pun yang memberi tanggapan.

Oleh sebab itu, peran masyarakat sipil (dan media) penting dalam mengupayakan mengingat bersama (memori kolektif dan anamnesis kolektif) serta menyuarakan hak-hak korban serta mendorong proses rekonsiliasi yang inklusif dan adil.

Saranah dan Kamariah pun terhindar untuk kedua kalinya menjadi korban karena gagal mendapatkan hak-haknya sebagai penyintas dan keluarga penyintas.

Mengawal pelaksanaan program program Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu serta memastikan adanya transparansi dalam mengungkap kebenaran, mengadili pelaku, dan memberikan keadilan bagi korban mungkin menjadi poin terpenting saat ini.

https://regional.kompas.com/read/2023/07/13/11591211/mengawal-penyelesaian-non-yudisial-pelanggaran-ham-berat-masa-lalu

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke