Salin Artikel

Pemprov Dorong Kesadaran Transisi Energi di Jateng Lewat Desa Mandiri Energi Sekaligus Pengembangan EBT oleh PLN dan Pertamina

SEMARANG, KOMPAS.com - Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah (Jateng) mendorong kesadaran transisi energi terbarukan di Jateng lewat program desa mandiri energi (DME).

Akan tetapi, hal itu perlu diimbangi dengan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) oleh perusahaan BUMN Seperti Petamina dan Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Kepala Bidang EBT ESDM Jateng, Eni Lestari menilai peran masyarakat penting untuk menggaungkan semangat transisi energi.

Khususnya lewat program DME. Tanpa pergerakan masyarakat, program itu tak bisa berjalan.

“Bagi saya, masyarakat dulu yang digarap. Itu yang penting. Jadi, tingkat literasi masyarakat terhadap energi terbarukan itu kudu terus digelontor, jangan sampai berhenti,” tutur Eni, kepada Kompas.com, pada Sabtu (8/7/2023).

Dengan menggencarkan kemandirian energi di desa, nantinya masyarakat tidak kaget bila suatu hari bahan bakar fosil, minyak, ataupun elpiji menjadi langka.

Sebab, saat ini, bahan bakar minyak (bbm) masih mudah didapatkan.

Sedangkan penggunaan biogas di desa harus terus diisi oleh limbah organik seperti kotoran ternak dan diorganisir agar tetap berfungsi menghasilkan gas pengganti elpiji.

Sehingga perlu kesadaran untuk saling mengingatkan.

“Tantangannya, kalau dibiarkan begitu saja beli elpiji yang aksesnya masih gampang, lha nanti kalau elpijinya sudah susah, mahal, karena migas memang tanggal sedikit, sekarang sebagian besar sudah impor kan, kalau suatu saat keuangan negara sudah tidak kuat, kan harus cari altenatif,” ungkap dia.

Oleh karena itu, pihaknya menilai DME sangat menarik untuk dikembangkan karena setiap desa punya potensi.

Di Jateng terdapat potensi, tenaga surya, biogas, pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH), dan gas rawa.

Saat ini, terdapat total 2.369 DME yang tersebar di seluruh kabupaten di Jateng.

Terbagi menjadi 25 DME kategori mapan, 158 DME kategori berkembang, dan 2.186 DME kategori inisiatif.

Tiga kabupaten dengan infrastruktur EBT terbesar di Jateng yaitu Semarang, Boyolali, dan Karanganyar. Sebagian besar memanfaatkan biogas dan PLTMH.

Kategori DME itu berdasarkan assessment yang pihaknya lakukan secara cepat.

Cabang dinas ESDM di wilayah masing-masing, mengecek dan menilai infrastruktur DME seperti biogas, mikro hidro, dan lainnya.

“Asesmen itu meliputi, infrastruktur dan sumber dana, pengelolaan atau kelembagaan, inovasi, dan pemanfaatan,” tutur dia.

Mulai dari sumber pendaan yang digunakan untuk membangaun infrastruktur.

Di antara tiga pilihan, pemerintah, bantuan pihak lain atau swasta, dan swakelola atau swadaya. Dana swadaya memiliki poin paling tinggi.

“Poin kedua tentang pengelolaannya, kelembagaanya itu dinilai juga. Apakah ada kelembagaan, pertemuan rutin yang membahas tentang EBT itu. Ada juga berapa persen pengguna EBT di situ, kami klasifikasi juga,” lanjut dia.

Poin ketiga tentang inovasi EBT yang dilakukan di masing-masing desa. Selanjutnya, dari segi pemanfaatannya, seperti untuk kegiatan ekonomi desa dan lainnya.


Bila memenuhi 4 kriteria tersebut, skor 60 persen termasuk kategori inisiatif. Skor 61-70 persen kategori berkembang, dan 71-100 itu kategori mapan.

“Dari hasilnya, pengkategoriannya itu kami buatkan SK kepala dinas ESDM, itu sebenarnya juga keberanian Pemprov Jateng membuat parameter DME,” kata dia.

Pihaknya mengungkapkan tantangan lainnya untuk transisi energi di Jateng.

Yakni institusi ESDM di kabupaten/kota dianggap tidak penting untuk berdiri sendiri.

Ada yang bergabung dengan Dinas Pekerjaan Umum, Perdagangan, Dinas Lingkungan Hidup (DLH).

“Itu masing-masing semangatnya untuk EBT kan tidak sama, tingkat kesadarannya belum sama otomatis pengembangan EBT-nya berbeda,” kata dia.

Sehingga, kewenangan di kabupaten itu kecil. Misalnya, izin pemanfaatan langsung panas bumi di wilayah jarang sekali menjadi perhatian.

“Ternyata literasi EBT untuk tingkatan satuan paling bawah itu belum. Cabang dinas ada, tapi untuk menyentuh kesadaran, 'oh iya harus EBT ya sekarang, ternyata ini ramah lingkungan ya, ini menyumbang emisi ya', belum sampai situ,” imbuh dia.

Oleh karena itu, pihaknya terus mengupayakan sosialisasi hingga lapisan terbawah masyarakat.

Mulai dari persoalan pemanasan global, kebijakan EBT, sampai pentingnya transisi energi.

Lebih lanjut, yang tak kalah penting perlu mendorong perusahaan BUMN seperti Pertamina dan PLN untuk mengambil peran besar dalam transisi energi.

“Kalau DME efeknya (pada emisi karbon) tidak banyak, kalau mau banyak kita mestinya mengandalkan BUMN itu yang pengembangan pembangkitnya gede. Termasuk Pertamina dengan bio kilangnya yang ada EBT-nya,” kata dia.

Sebab, kontribusi DME dalam penurunan emisi karbon tak sebanding dengan dua perusahaan besar BUMN tersebut.

Keduanya memegang kendali besar dalam penyediaan listrik yang masih menggunakan batu bara dan juga BBM.

“Pasokan listrik kita kan surplus, jadi dengan adanya pembangkit EBT dan PLTS Atap, bisa izin, tapi pertimbangannya bagi PLN lebih ketat,” ujar dia.

Ia menyebutkan masih terdapat 40 persen sisa pasokan listrik. Sehingga tidak akan dibiarkan hilang begitu saja dan harus digunakan.

“Tugas terbesar di Pertamina dan PLN sebenarnya. Kalau pemerintah daerah ya pembiayaan yang tidak terlalu besar,” imbuh dia.

Upayanya mendorong EBT di Jateng termasuk memasang PLTS Atap sejak 2019. Kini sudah terpasang di 33 gedung pemprov dengan kapasitas 1.393 Kwp.

Pihaknya menambahkan di luar DME, potensi panas bumi perlu didorong.

Terlebih mengingat potensi listriknya cukup besar, karena kapasitasnya bisa mencapai ratusan megawatt. Di Jateng terdapat Dieng, Guci, Ungaran, Lawu.

https://regional.kompas.com/read/2023/07/09/115355278/pemprov-dorong-kesadaran-transisi-energi-di-jateng-lewat-desa-mandiri

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke