Salin Artikel

Kisah Warga Banyuroto 17 Tahun Manfaatkan Kotoran Ternak Jadi Biogas, Hemat Jutaan Rupiah Gantikan Gas Elpiji

MAGELANG, KOMPAS.com - Marwoto (62) merupakan warga Banyuroto, Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang telah memanfaatkan kotoran ternaknya menjadi biogas selama 17 tahun terakhir.

Biogas tersebut mampu menggantikan penggunaan kompor kayu atau pun elpiji.

Bahkan, berkat menggunakan biogas, Marwoto tak pernah merasakan ketergantungan terhadap penggunaan elpiji.

Kompas.com berkesempatan mengunjungi langsung rumah warga Banyuroto.

Desa itu terletak di lereng Merbabu, tepatnya Jalan Ketep-Kopeng KM 3. Sederet kebun strawberi dan lahan sayur mengelilingi jalanan desa itu.

Setibanya di lokasi pada pukul 11.00 WIB, langit masih diselimuti kabut pegunungan. Sesekali matahari menyingsingkan wajahnya menyapa kami.

Belum lama ini, desa tersebut menyabet penghargaan Desa Mandiri Energi (DME) Kategori Mapan.

Tak hanya itu, Desa Banyuroto juga menyandang gelar Desa Program Iklim (Proklim) Kategori Lestari. Peringkat tertinggi di bidangnya.

Dari total KK satu desa 1.488 KK, sebanyak 28 KK yang telah aktif memanfaatkan kotoran ternak menjadi biogas di rumahnya.

Marwoto merupakan salah satu warga yang memulai praktik baik tersebut sampai hari ini.

Petani yang juga peternak itu awalnya mengetahui inovasi pemanfaatan kotoran dari kelompok tani yang dia ikuti, Poktan Karya Makmur.

“Awalnya dulu saya ikut di balai desa ada Program Prima Tani. Kemudian Prima Tani mengajukan untuk ada biogas,” kata Marwoto, saat ditemui di rumahnya di RT 009 RW 009, pada Selasa (4/7/2023).

Dia menceritakan, sekitar tahun 2006 silam, warga setempat masih banyak menggunakan kayu bakar untuk menyalakan kompor.

Sehingga, keberadaan kayu terus berkurang karena digunakan memenuhi kebutuhan warga.

Sebagian berpindah menggunakan elpiji subsidi. Bersamaan dengan itu muncul inisiatif untuk memanfaatkan kotoran ternak menjadi biogas.

Sebab, di desa itu terdapat sekitar 1.000 sapi yang diternak warga.

“Tertarik mencoba karena ada pengiritan elpiji, terus limbah juga bisa dimanfaatkan lagi jadi kompos. Karena sebelumnya belum dimanfaatkan,” kata Marwoto.

Lelaki kelahiran 1961 itu mengajak Kompas.com menilik proses pengolahan kotoran sapi menjadi biogas. Di rumah bagian belakang, terdapat kandang sapi.

Ia memiliki tiga sapi ternak yang setiap harinya menghasilkan belasan kilogram kotoran padat dan cair.


Kandang itu sengaja didesain miring agar kotoran mudah mengalir ke bawah dan masuk lubang pengolahan biodigester.

Biodigesters merupakan alat yang digunakan untuk mengolah limbah organik seperti kotoran sapi menjadi biogas.

Alat itu mengaduk kotoran yang masuk dalam lubang untuk mengekstraksi gas metan di dalamnya.

Menariknya, biodigester itu terpasang di ruang tengah rumah Marwoto. Alat sepanjang 4 meter itu ditutup dengan papan kayu dan plastik.

Tanpa ada rasa khawatir, ia memasang tikar dan kasur di bagian paling luar.

Setelah gas dari kotoran diekstraksi, hasilnya biogas dapat diubah menjadi api dan digunakan sebagai pengganti kompor elpiji atau kompor kayu.

“Sebelum pakai biogas, dulu belum ada elpiji. Jadi pakai kayu. Jadi kalau kekurangan pakai kayu, kalau sudah cukup ya enggak perlu. Utamanya pakai biogas ini,” kata dia.

Ia merasa beruntung karena dahulu terpilih menerima bantuan biodigester.

Dia mengatakan, program DME yang memanfaatkan kotoran ini sangat tepat dengan kondisi desanya yang mayoritas bekerja sebagai peternak dan petani.

“Karena manfaatnya kan double. Jadi gas, dan sisa kotorannya jadi kompos padat dan cair. Jadi enggak perlu beli kompos, karena di sini kan kami petani. Sudah satu tahun tanaman cabai dipupuk pakai kotoran, setiap minggu panen terus ini. Seperempat hektar dipupuki sendiri,” ujar dia.

Selama belasan tahun menggunakan, pihaknya tidak merasakan kendala atau kerusakan pada alat biodigester. Hanya kompornya saja yang perlu peremajaan.

“Kok saya belum mengalami kesulitan ya. Biasa saja. Alat biodigesternya enggak ada kerusakan, paling cuma kompornya saja,” terang dia.

Berkat keberhasilannya, rumah Marwoto kerap menjadi objek studi banding. Pada akhir pekan ini ia bahkan menerima kunjungan mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi sekaligus.


Desa mandiri energi

Kepala Desa Banyuroto, Yanto menceritakan perjalanan desanya sejak 2006 hingga sekarang dapat menyabet prestadi sebagai Desa Mandiri Energi Kategori Mapan dan Kampung Program Iklim (Proklim) Kategori Lestari.

“Kami jadi DME sejak 2021, dulu peringkat masih 4, lalu pada 2023 masuk DME Kategori Mapan (tertinggi). Kalau desa proklim pada 2019 masuk kategori utama, kemudian pada 2022 naik level jadi kategori lestari,” kata Yanto.

Awalnya pada 2006 Kelompok Tani Karya Makmur berencana membuat laboratorium agribisnis.

Inisiatif penggunaan biogas itu muncul lantaran warga desa terus mengambil kayu bakar untuk menyalakan kompor setiap hari.

Mereka mengkhawatiran kondisi hutan dan pepohonan di sekitarnya. Lalu memulai pemasangan sejumlah biodigester di beberapa rumah warga.

“Di sini banyak potensi ternak, ada sekitar 1.000, selama ini cuma dipakai sebagai pupuk kendang. Padahal, kalau diolah jadi biogas, bisa jadi pengganti kayu bakar, kayu di hutan pun terjaga,” ungkap Yanto.

Dia mengatakan, warga yang kebanyakan memiliki hewan ternak itu sangat tertarik dengan instalasi biodigester untuk mengolah kotoran ternak menghasilkan biogas.

Namun, lantaran biaya yang relatif mahal, mereka mengurungkan niatnya.

“Sebenarnya masyarakat tertarik, tapi terkendala pembiayaan alat paling kecil itu sekitar Rp 10 juta-Rp 15 juta, jadi masih dikesampingkan,” tutur dia.

Padahal, dari segi ekonomi, menurutnya setiap KK dapat mengirit pemakaian sekitar empat tabung elpiji atau setara dengan Rp 100.000 bila memanfaatkan biogas.

Di samping itu, pemanfaatan kotoran ternak sebagai biogas itu juga menjadi bentuk tanggung jawab warga setempat lantaran telah menyebabkan timbulan gas metan dari kegiatan peternakan.

Sehingga program itu dinilai tepat bagi masyarakat untuk andil memperlambat pemanasan global dan terjadinya krisis iklim.

“Saat ini, ada tiga jenis instalasi biodigester. Paling kecil berukuran 4 m3 dapat dipakai meski hanya punya satu sapi, lalu sedang berukuran 9 m3 paling tidak 3-4 ekor sapi, dan paling besar 20 m3 butuh kotoran lebih dari 5 sapi,” ujar dia.

Sampai sekarang pihaknya telah memasang 18 unit yang tersebar di rumah warga di enam dusun.


Yakni Banyuroto, Garon, Grintingan, Kenayan, Sobleman dan Suwanting. Paling banyak menggunakan biodigester.

“Tahun ini kita menambah 17 unit biodigester untuk dipasang. Di awal masa jabatan (Kades) saya menargetkan bisa melakukan instalasi 100 unit hingga 2026, tapi kemarin anggaran sempat terkendala Covid-19,” tutur dia.

Sementara pembiayaan instalasi disubsidi dari dana desa, bantuan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng, dan Yayasan Rumah Negeri dari pihak swasta.

“Kami sangat beruntung, kemarin saat ikut event Desa Mandiri Energi bertemu dengan Yayasan Tumah Negeri. Akhirnya mereka mau membantu mensubsidi kami untuk instalasi di rumah warga,” kata Kades yang menjabat dari 2007 itu.

Kadus Dusun Garon, Yudi (40) merasakan bantuan instalasi biodigester itu pada 1,5 tahun lalu.

Ia mendapat bantuan Yayasan Rumah Negeri sebanyak Rp 3 juta, dana desa Rp 5 juta dan swadaya atau biaya pribadi Rp 2 juta.

Yudi memanfaatkan lahan seluas 2x4 meter di belakang kendang sapi untuk memasang biodigester.

Sehingga alat dipasang di luar rumah. Kemudian hasil olahan gas disalurkan melalui pipa sepanjang kurang lebih 50 meter.

Dengan memasang alat berukuran terkecil, dapat Yudi gunakan untuk menyalakan dua unit kompor di rumahnya.

Ia harap, warga lainnya juga dapat merasakan manfaat serupa dan menerima subsidi sepertinya.

https://regional.kompas.com/read/2023/07/07/212336378/kisah-warga-banyuroto-17-tahun-manfaatkan-kotoran-ternak-jadi-biogas-hemat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke