Salin Artikel

Melihat Pembuatan Batu Bata di Blora yang Telah Digeluti Sukiban dan Istri Lebih dari 20 Tahun

BLORA, KOMPAS.com - Sebuah rumah tanpa dinding yang hanya beratapkan genteng menjadi tempat bagi Sukiban (60) dan istrinya untuk membuat batu bata dari tanah liat di Desa Temurejo, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

Pasangan suami istri (pasutri) itu telah berprofesi sebagai perajin batu bata merah sejak 23 tahun yang lalu, atau tepatnya pada tahun 2000.

"Semenjak anak kedua saya masuk TK (taman kanak-kanak)," ucap Sukiban, saat ditemui Kompas.com, di lokasi, pada Senin (5/6/2023).

Sambil melakukan kegiatannya membuat batu bata, Sukiban yang asli warga Desa Temurejo itu menjelaskan awal mulanya banting stir dari penjahit menjadi perajin batu bata.

Pernah jadi penjahit di Jakarta

Dirinya mengaku pernah menjadi tukang jahit di sebuah pabrik konveksi di Jakarta, yang kemudian bertemu dengan Uliyah (58) istrinya, yang sama-sama pernah bekerja di pabrik tersebut.

Namun, karena menjadi tukang jahit di Jakarta semakin susah, ia dan keluarganya kemudian memilih untuk pulang kampung ke Blora.

"Kalau saya asli sini, sedangkan istri asli Betawi," kata dia.

Uliyah sendiri sebelumnya berasal dari Kebon Jeruk, Jakarta Barat dan memilih untuk tinggal bersama suaminya di Blora, Jawa Tengah. 

Obrolan dan logat Betawi masih sangat kentara saat mengobrol dengannya.

Sebelum memantapkan diri terjun menjadi perajin batu bata, Sukiban sempat melihat cara membuat batu bata.

"Awalnya ya lihat-lihat dulu, kemudian praktek. Tadinya saya tukang jahit di Jakarta, setelah di sana agak susah jahitan ya akhirnya saya pulang kampung, yang penting bisa untuk kehidupan sehari-hari," terang dia.

Pasutri dengan tiga anak tersebut dengan terampil membuat dan mencetak batu bata merah yang kemudian disusun rapi berderet dan bertumpuk.

Tanpa ragu, Sukiban juga menjelaskan cara pembuatan batu bata merah yang biasa dilakukannya.

"Pertama ya dicangkul dulu (tanahnya), disiram air, diinjak-injak, kemudian digulung besar-besar itu, terus diangkat (masuk ke dalam), kemudian digulung kecil-kecil, kemudian dicetak," ujar dia.

Tak berhenti di situ, batu bata yang telah dicetak, kemudian disusun rapi berderet dengan jarak yang telah disesuaikan agar cepat kering.

"Setelah dicetak, dikojori atau dikeringkan, prosesnya sekitar tiga mingguan. Kemudian ditata dan dua bulan kemudian baru dibakar," kata dia.

Makanya, pada saat pembuatan batu bata, juga terdapat sekam padi yang digunakan sebagai bahan bakar untuk membakar batu bata.

Dalam sehari, pasutri tersebut mampu mencetak sekitar 350 batu bata.

Pencetakan tersebut belum termasuk pembakaran sampai batu bata tersebut siap untuk dijual.

"Kalau saya dua bulan prosesnya (membuat batu bata), karena tenaga sudah tua," terang dia.

Penghasilan tak menentu

Dengan berprofesi sebagai perajin batu bata, pasutri tersebut mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang pendidikan menengah atas.

"Dengan menjadi perajin batu bata bisa menyekolahkan anak, minimal SLTA, ada tiga anak perempuan, yang terakhir masih duduk di bangku SMP," ujar dia.

Sementara untuk harga batu bata yang dijual, Sukiban mematok harga Rp 400.000 untuk penjualan 1.000 batu bata.

Sedangkan untuk penghasilan yang didapatkannya, Sukiban mengaku pendapatannya tidak menentu.

"Lakunya enggak tentu, kadang-kadang kalau lagi rame 3 sampai 4 hari bisa langsung habis, sebelum ada herbel. Setelah ada herbel ya bulanan baru bisa habis," ujar dia.

https://regional.kompas.com/read/2023/06/05/141300778/melihat-pembuatan-batu-bata-di-blora-yang-telah-digeluti-sukiban-dan-istri

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke