Salin Artikel

30 Biksu Jalani Ritual Buddha Jawa Kuno di Candi Borobudur

MAGELANG, KOMPAS.com - Puluhan Biksu dan Biksuni melakukan ritual pradaksina di Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat (26/5/2023). 

Pradaksina merupakan bentuk penghormatan kepada Guru Agung Buddha dengan memutari obyek suci Candi Borobudur sembari membaca paritta dan beranjali. 

Prosesi diikuti oleh 30 terdiri dari biksu, samanera (calon biksu), samaneri (calon biksuni), dan umat dari Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Sehari sebelumnya, Kamis (25/5/2023), mereka berjalan kaki dari Candi Mendut menuju Candi Pawon.

Anumahanayaka Sangha Agung Indonesia, Nyanasila Thera menjelaskan, perjalanan dari Candi Mendut, Candi Pawon dan berakhir dengan pradaksina di Candi Borobudur ini merupakan bagian dari upaya melestarikan tata cara beribadah umat Buddha Jawa Kuno.

"Kami sedang mempersiapkan ritus tata cara penghormatan atau ibadah di Candi Borobudur yang kami mulai dari Candi Mendut, Candi Pawon, transit Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) di Catra Jatidhammo Borobudur, dan berakhir di Candi Borobudur," jelas Nyanasila, usai prosesi, Jumat (26/5/2023). 

Tata cara yang disebut Dharmayatra Adi Buddha Puja ini sudah dilakukan oleh umat Buddha pada masa pembangunan Candi Borobudur. Adapun pradaksina sekaligus sebagai tanda penghormatan atas usia peresmian Candi Borobudur yang ke-1.199 tahun tepat pada 26 Mei 2023 

Nyanasila menuturkan tata cara tersebut baru pertama kali dilaksanakan di Candi Borobudur. Sebelum itu, Sangha Agung Indonesia melakukan penelitian, kajian hingga akhirnya merumuskan tata cara ibadah.

Riset juga melibatkan tokoh budayawan dan peneliti sejarah Candi Borobudur, Hudaya Kandahjaya. Hasil penelitian diketahui bahwa ternyata umat Buddha keturunan Empu Tantular di Bali masih melestarikan ritus Jawa Kuno tersebut. 

"Istilahnya kami lakukan uji layak, sesuai dengan ajaran yang ada di Candi Borobudur. Teks-teks yang kami dapatkan dari kajian-kajian dan penelitian Candi Borobudur," imbuhnya. 

Nyanasila berujar, Dharmayatra Adi Buddha Puja menggunakan konsep peribadatan yang dipadukan dengan budaya dan tradisi peribadatan masyarakat Jawa kuno. 

”Salah satu wujud pendekatan budaya itu adalah dengan adanya uborampe (sesajen). Ini adalah simbol aspirasi dari sebuah penghormatan terhadap yang kita luhurkan," terang Nyanasila.

Dalam tradisi Jawa, sesajen biasanya ditata dan disajikan di tempat ibadah. Namun, demi menjaga kebersihan Candi Borobudur, maka sesajen itu diletakkan dan diatur di bukit Jaten tidak jauh dari Candi Borobudur.

"Ini pola pendekatan budaya yang harus dilestarikan, tidak boleh lupa, karena itu cara berdoanya orang Jawa. Jawa banget. Kita coba lestarikan dan bangkitkan lagi yang memang ada di Candi Borobudur," tandasnya.

Dia berharap, tata cara dapat dipraktikkan setiap tahun di Candi Borobudur oleh lebih banyak umat Buddha secara meriah. Rencananya, Dharmayatra Adi Buddha Puja tahun 2024 akan diadakan secara nasional dalam jangka waktu yang lebih lama, namun puncaknya tetap di tanggal 26 Mei.

Salah satu pengurus di Pusdiklat Catra Jatidhammo, Hery mengatakan, Pusdiklat Catra Jatidhammo nantinya akan menjadi pusat pembelajaran dan pelatihan, terutama umat Buddha yang ingin beribadah di Candi Borobudur.

Dengan demikian, ke depan diharapkan umat Buddha mempraktikkan tata cara ibadah yang sama saat beribadah di Candi Borobudur.

"Sebelum ada rumusan tata cara ibadah ini, umat cenderung memakai tata cara peribadatan berbeda, sesuai yang biasa dilakukan di rumah doa masing-masing walaupun tujuan pemujaan dan penghormatannya sama," kata Hery.

https://regional.kompas.com/read/2023/05/26/171024978/30-biksu-jalani-ritual-buddha-jawa-kuno-di-candi-borobudur

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke