Salin Artikel

"Kami Ingin Ibadah Paskah di Gereja Sendiri"

Krisdian Saragih berkata, pihaknya sangat ingin beribadah di gereja sendiri ketimbang digabung ke gereja lain lantaran jaraknya sangat jauh dan berbeda tata cara ibadahnya.

Sebelumnya Bupati Purwakarta, Anne Ratna Mustika memutuskan menyegel bangunan gereja di Desa Cigelam itu karena tidak berizin dan untuk menghindari konflik di antara masyarakat.

Menanggapi persoalan ini, Kementerian Agama menyayangkan keputusan Bupati menyegal gereja GKPS apalagi menjelang perayaan Paskah.

Merujuk pada SKB 2 Menteri di pasal 14 ayat 3, pemerintah daerah seharusnya memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah jika persyaratan pendirian belum terpenuhi.

Ketua Majelis Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) di Purwakarta, Krisdian Saragih, gelisah tiap kali ditanya oleh jemaatnya soal di mana mereka akan beribadah memperingati Jumat Agung dan Paskah yang tinggal beberapa hari lagi.

Sebab hingga saat ini, belum ada jawaban dari pemerintah daerah apakah mereka tetap bisa menggunakan gereja yang telah disegel itu.

Kalau opsinya adalah menggabungkan jemaatnya ke gereja lain, dia mengaku agak keberatan lantaran jarak yang sangat jauh dan tata cara ibadahnya berbeda.

"Kekhawatiran [tidak bisa ibadah] pasti ada. Dari kemarin kami ditanya mau ibadah di mana? Kami tidak bisa menjawab," ujar Krisdian Saragih kepada BBC News Indonesia, Senin (3/4/2023).

Sejak 2010 mereka beribadah dengan menumpang di salah satu ruangan di RS Efarina Etaham yang kini telah diakuisisi RS Siloam.

Pasalnya salah pemilik RS Efarina Etaham adalah salah satu jemaatnya.

Sampai pada 2020 atau ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia dan adanya larangan berkerumun, mereka sudah tidak bisa lagi ibadah di sana.

Mereka lantas memutuskan mendirikan bangunan semi-permanen di tanah seluas 2.000 meter yang telah dibeli pada 2013 silam di Desa Cigelam, Kecamatan Babakancikao, Purwakarta.

Untuk pembangunan gereja, kata Krisdian Saragih, pihaknya mempekerjakan beberapa warga di sana.

Langkah itu ditempuh untuk menjalin komunikasi dengan warga sekitar.

Ibadah pertama di bangunan semi-permanen itu terlaksana pada November 2021. Warga sekitar juga dibolehkan berjualan di dekat gereja.

Setiap menjalankan ibadah Minggu, kata dia, jemaat juga tidak memasang pengeras suara agar tidak mengganggu.

"Kami juga bikin sarana olahraga supaya bisa menjalin kedekatan dengan warga di sana," ujarnya.

Hubungan jemaat dengan warga, ucapnya, cukup terjalin baik dan tidak pernah ada gangguan apapun.

Seorang di antara mereka disebut memotret serta merekam kegiatan ibadah.

"Terus salah satu dari orang itu bilang, 'stop ibadah, stop ibadah'".

"Terjadilah perdebatan alot dengan mereka. Sehingga kami berargumentasi dengan mereka. Kami katakan, 'melarang ibadah ada konsekuensi hukumnya'. Mereka lalu mundur dari tanah kami," tutur Krisnandi Saragih.

Usai keributan itu, pihak gereja melaporkan kejadian tersebut ke kepolisian setempat dan babinsa.

Kemudian pertemuan antara perwakilan gereja, polisi, babinsa dan perwakilan RW digelar. Di sana, lagi-lagi pihak gereja meminta agar pelaku yang menghentikan ibadah diproses hukum lantaran sudah melanggar hak asasi dalam beribadah. Tetapi permintaan itu tidak digubris.

Yang terjadi justru jemaat diminta mengurus izin pendirian gereja.

Soal proses administrasi pendirian rumah ibadah, sambung Krisdian, sebetulnya sudah mulai dilakukan pada tahun lalu. Tapi untuk mendapatkan dukungan warga berupa tandatangan sedikitnya 60 orang bukan perkara gampang.

"Kami harus membangun kedekatan dulu, kalau sudah dekat ada celah bisa mengurus izin, tapi tetap bisa ibadah selama itu."

Pada 26 Maret, ibadah jemaat GKPS kembali didatangi sekelompok orang berpakaian putih. Mereka minta gereja ditutup.

Sampai pada 1 April, Bupati Purwakarta, Anne Ratna Mustika benar-benar menyegel gereja itu dengan alasan belum terpenuhinya bukti persetujuan bangunan gedung dan sertifikat layak fungsi.

Dalam video yang beredar di media sosial, Bupati Anne berkata penyalahgunaan bangunan tak berizin untuk tempat ibadah itu melanggar Peraturan Bersama Menteri Agama dan Dalam Negeri nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 atau SKB 2 Menteri.

"Jadi yang kami segel adalah bangunan tidak berizin yang disalahgunakan. Bangunan itu melanggar izin pemerintah daerah dan melanggar Peraturan Bersama Menteri Agama dan Dalam Negeri nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006," imbuhnya di kelilingi diapit perangkat pemda dan sekelompok orang bersama polisi.

Bupati Anne juga mengeklaim penutupan tempat itu sudah hasil kesepakatan Rapat Koordinasi Pemkab Purwakarta, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah, Majelis Ulama Indonesia, Kantor Kementerian Agama, Forum Kerukunan Umat Beragama, Badan Kerjasama Gereja-gereja Purwakarta, dan perwakilan jemaat Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).

Akan tetapi klaim tersebut dibantah Krisdian Saragih. Ia bercerita penyegelan itu dilakukan tanpa ada pemberitahuan resmi kepada pemilik tanah dan bangunan serta tak dihadiri perwakilan gereja.

Itu mengapa GKPS, sambungnya, menolak keputusan tersebut dan berencana melayangkan somasi ke bupati.

"Tiba-tiba viral di media sosial bahwa gedung itu disegel."

Bupati Anne lalu menyarankan agar jemaat GKPS beribadah ke gereja lain semisal Gereja Isa Almasih.

Namun jemaat, menurut Krisdian, keberatan selain karena lokasinya jauh, tata cara ibadahnya juga berbeda.

Harapannya, mereka masih tetap dibolehkan merayakan ibadah Jumat Agung dan Paskah yang tinggal beberapa hari ini di gereja semi permanen itu.

Untuk diketahui, jumaah jemaat GKPS sekitar 60 orang.

"Kami harap bisa difasilitasi," ujarnya.

Menggabungkan atau memindahkan ibadah ke gereja lain, kata Halili, tidak semudah itu apalagi kalau berbeda secara tradisi.

"Ini mirip dengan kecenderungan masyarakat awam yang tidak punya pengetahuan. Apalagi ketika disampaikan bupati, sangat menyedihkan," ujar Halili Hasan.

Kalau Bupati Anne betul-betul berniat memfasilitasi jemaat GKPS maka semestinya membiarkan mereka beribadah di gereja milik mereka sembari memberi waktu kira-kira dua tahun untuk mengurus perizinannya.

Sebab bagaimanapun hak beribadah dijamin oleh konstitusi dan tidak boleh kalah atas dalih administrasi apalagi tekanan kelompok intoleran.

"Pengurusan perizinan itu kan domain administrasi dan tak boleh mengalahkan hak konstitusi warga negara."

Setara Institute mencatat, Kabupaten Purwakarta di bawah kepemimpinan Dedi Mulyadi termasuk wilayah yang "menjanjikan untuk jadi teladan toleransi" karena ia punya pandangan progresif.

Ia menilai apa yang dilakukan Bupati Anne merupakan bagian untuk mencari dukungan politik dari kelompok-kelompok intoleran jelang tahun politik.

Apa kata Kemenag?

Juru bicara Kementerian Agama, Anna Hasbie, menyayangkan keputusan Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika yang menyegal gereja GKPS apalagi menjelang perayaan Paskah.

Menurut dia, kalau merujuk pada SKB 2 Menteri di pasal 14 ayat 3, pemerintah daerah harusnya memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah jika persyaratan pendirian belum terpenuhi.

"Itu yang kadang-kadang kepala daerah lupa. Pemda bisa melihat pasal ini di SKB 2 Menteri dan melaksanakan amanat ini," imbuh Anne Hasbie kepada BBC News Indonesia.

"Kalau tidak boleh di gereja, ada tempat alternatif."

Menyangkut persoalan tersebut, Kemenag sudah mengirim Dirjen Bimbingan Masyarakat Kristen ke lokasi untuk bermediasi dengan berbagai pihak sejak 19 Maret lalu.

Dalam beberapa kali pertemuan, pihaknya meminta Pemda menyediakan tempat ibadah. Ia berharap jemaat GKPS tetap bisa merayakan Paskah di tempat lain kalaupun tidak boleh di gereja yang telah disegel tersebut.

https://regional.kompas.com/read/2023/04/04/151500278/-kami-ingin-ibadah-paskah-di-gereja-sendiri-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke