Salin Artikel

Menepis Stigma Negatif Gagal Mengasuh Anak, Begini Kisah Para Orangtua Balita Stunting di Semarang

Lana Muthia Thaher dan Azizah mejadi pengasuh yang merawat belasan anak itu sejak awal daycare dibuka pada Februari lalu. Sebanyak tiga anak telah dinyatakan sembuh dari stunting setelah diasuh di sana selama sebulan.

Keduanya memahami, bila para orangtua balita stunting seringkali berasal dari warga miskin yang memang tak mampu mencukupi kebutuhan makanan bergizi bagi anaknya.

Sebagian lainnya berasal dari orangtua pekerja keras yang tak mampu merawat anaknya dengan intens. Sehingga meski mampu menyukupi makanan bergizi, mereka tidak sempat mengasuhnya karena ditinggal bekerja.

“Di Manyaran ada 30 anak stunting, tapi yang dititipkan di sini hanya dua anak,” ungkap Lana kepada Kompas.com, Senin (3/4/2023).

Di samping kuota penitipan anak terbatas, masih banyak orangtua yang merasa tidak perlu uluran tangan dari Pemkot Semarang untuk memperbaiki gizi anaknya yang stunting.

“Ada sebagian orangtua yang enggak mau dibantu karena merasa anaknya biasa aja. Mereka takut dan minder dengan orang sekitar kalau mengakui anaknya stunting, karena ia seakan disalahkan atas kondisi anaknya,” katanya.

Stigma negatif mengenai anggapan anak stunting yang kurang gizi kerap kali memojokkan sang ibu. Seolah-olah ibu telah gagal dalam mengasuh anak.

Pandangan tersebutlah yang justru tidak membawa kebaikan apapun bagi sang anak. Menurut Lana, mestinya masyarakat sekitar turut membantu dan mendukung para orangtua untuk memperbaiki gizi anak-anak stunting.

“Ada juga yang memang belum tahu layanan daycare Rumah Pelita ini karena memang masih baru,” lanjut Lana.

Dengan berbagai program, daycare tersebut lebih banyak memberikan asupan makanan dan minuman bergizi ketimbang kegiatan bermain. Kemudian istirahat atau kebutuhan tidur anak yang cukup.

Dengan itulah kandungan gizi dari makanan yang dikonsumsi terserap ke tubuh. Pihaknya berharap pelayanan gratis dari pemkot itu dapat dirasakan semua anak stunting di Semarang hingga tercapai nol stunting.

“Iya kita harapannya setiap bulan sudah ada yang lulus (sembuh) biar bulan berikutnya bisa gentian dengan anak-anak stunting lainnya di Semarang. Karena di luar Manyaran masih ada banyak lho,” ungkapnya.

Kompas.com berhasil mewawancarai salah satu orangtua balita stunting di sana yang bernama Ulfa (28). Sehari-hari ibu dari lima anak itu bekerja sebagai perosok bersama suaminya.

Sebelum menemukan daycare Rumah Pelita, biasanya Ulfa membawa dua anaknya yang berusia 4 tahun dan 1,7 tahun bekerja mencari rosok.

“Dua-duanya ikut ke daerah deket PN. Biasanya jam tujuh berangkat kerja sampai sore," jelasnya.

Kemudian saat pemeriksaan di posyandu, Ulfa mendapati kedua putranya mengalami stunting. Perempuan itu awalnya tak mengerti kondisi yang terjadi pada anaknya.

Posyandu lalu menjelaskan kepada Ulfa, dan memintanya untuk menitipkan kedua anaknya ke daycare Rumah Pelita yang sengaja diberikan untuk membantu anak-anak stunting.

“Biar di daycare aja katanya karena ada dokternya dan gizinya terpenuhi,” ungkap Ulfa.

Mengetahui layanan gratis dari pemerintah, ia justru senang dan merasa terbantu. Pasalnya ia merasa kasihan pada anaknya, tapi ia tak memiliki pilihan lain selain mengajaknya ke tempat rosok.

“Kalau ikut itu bukan hanya kotor, tapi lebih banyak main. Jadi mereka kurang tidur sepertinya, soalnya kalau makan itu gampang,” terangnya.

Dirinya sangat berterima kasih atas program tersebut. Ia merasa anaknya kini lebih ceria, bersih, dan sehat, ketimbang saat ikut bekerja dengannya.

Tidak seperti dirinya yang hanya lulusan SD, Ulfa harap kelak anaknya bisa bersekolah sampai kuliah tanpa merasa tertinggal dengan teman seusianya.

Sementara itu, Kompas.com mewawancarai Zahra (32), yang juga menitipkan anaknya di Rumah Pelita. Lain dengan Ulfa, Zahra bekerja sebagai guru seni tari sejak pagi hingga siang di TK dan SD.

Secara ekonomi, Zahra mampu memenuhi segala kebutuhan gizi anak satu-satunya. Namun karena terlalu sering mengikuti mobilitas tinggi sang ibu, kini anaknya justru tidak terawat dengan baik dan kurang tidur.

“Kalau siang dititipin mertua, tap kan namanya orang tua (mertua) kalau ngasuh yang penting anak anteng, walaupun main gadget terus,” katanya.

Zahra sempat kaget saat mendengar anaknya tergolong stunting saat pemeriksaan kesehatan. Ia pun langsung menggelontorkan berbagai asupan dan suplemen untuk anaknya tercinta.

“Udah dikasi vitamin, susu, tapi tetep enggak naik TB dan BB-nya, karena makannya susah dan anaknya aktif banget,” lanjut Zahra.

Atas arahan posyandu, ia pun turut menitipkan putrinya di Rumah Pelita. Ia tak mempedulikan pandangan orang lain terhadapnya dan fokus kepada anaknya.

“Ya saya merasa terbantu di sini lebih ada yang memperhatikan tumbuh kembangnya. Daripada kurang tidur atau main hape terus di rumah eyang,” terangnya.

Anaknya yang berusia 2 tahun 10 bulan itu disebut telah mengalami perkembangan TB dan BB, meski belum lama masuk di Rumah Pelita.

“Insya Allah nanti lanjut saya titipkan ke daycare biasa setelah dari sini. Tapi ini masih survey mana yang bagus tenaga pengajar dan pengasuhnya,” tandasnya.

Pengasuh Rumah Pelita, Lana menjelaskan, setelah balita dinyatakan sembuh atau lulus dari status stunting, makan orangtua akan mendapat pembekalan parenting supaya pengasuhan yang ideal tetap bisa dilanjutkan di rumah.

https://regional.kompas.com/read/2023/04/04/150103078/menepis-stigma-negatif-gagal-mengasuh-anak-begini-kisah-para-orangtua

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke