Salin Artikel

Kades di NTT Tak Setuju Masa Jabatan 9 Tahun: Itu Namanya Rakus

"Sebagai kepala desa yang baru dipercaya satu tahun, saya sangat tidak setuju dengan bergulirnya usulan masa jabatan sembilan tahun," ujar Carlens, kepada Kompas.com, Senin (23/1/2023).

Selain itu, dia pun menyayangkan pendamping desa yang mulai diperalat partai politik untuk melakukan kampanye terbuka.

"Ini namanya rakus. Kenapa, karena kepala daerah dan presiden itu hanya lima tahun. Sementara Kades sudah diatur sendiri enam tahun. Jadi mau apa lagi untuk dinaikkan menjadi sembilan tahun," ujar Carlens.

Menurut Carlens, enam tahun jadi kepala desa saja, berisiko terjadi korupsi besar-besaran dan Nepotisme buka-bukaan. Keretakan hubungan sosial akibat pemilihan kepala desa malah makin menyengsarakan masyarakat.

Kehadiran dana desa, lanjut dia, sudah sangat cukup bagi seorang kepala desa untuk membangun desanya selama enam tahun. 

Dia mengatakan, sulit dibayangkan ketika terjadi sesuatu, lalu seorang kepala desa melepas jabatan di tahun pertama atau tahun kedua.

"Di mana sisa waktu delapan atau tujuh tahun berikutnya harus dijabat aparatur sipil negara dari pihak kecamatan," kata dia.

Sistem pengelolaan dana desa ditambah alokasi dana desa lanjut Carlens, sudah sangat cukup untuk dikelola demi kesejahteraan di desa.

Apalagi, kata dia, masih ada dana dari kabupaten, provinsi dan juga pemerintah pusat.

Dia menyebutkan, seandainya dalam proses pemilihan kepada desa itu terjadi hal di luar dugaan dan yang terpilih adalah orang yang tidak tepat, desa tersebut akan mengalami kemunduran dalam waktu yang sangat lama, yakni sembilan tahun.

"Sehingga menurut hemat saya, lima tahun ditambah satu tahun adalah waktu yang ideal untuk jabatan kepala desa," kata Carlens yang pernah menjadi Redaktur salah satu koran harian di NTT.

Menurut Carlens, yang perlu diubah adalah aturan tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa). Selama ini sebagian besar BUMDesa mati suri karena tidak jelas upah kepada pengurusnya.

Sehingga, dana-dana yang dikelola, justru habis untuk urusan operasional. Bahkan juga tidak dikembalikan oleh peminjam karena tidak ada jaminan atau aturan yang mengikat.

Masih menurut Carlens, banyak pembangunan di desa yang tidak bermanfaat atau tidak sesuai kebutuhan.

Misalnya, yang paling banyak dilakukan adalah pembelian tandon atau profiltank. Padahal belum ada jaringan air atau sumber air jaraknya berkilo-kilo meter.

"Ini ibarat, memberi meteran listrik di tempat yang belum ada jaringan listrik. Dan banyak lagi program-program yang sekadar menghabiskan uang," ungkapnya.

Selain itu, beberapa waktu belakangan ini hanyak pendamping desa yang seolah tidak malu lagi menjadi tim sukses partai politik (Parpol) tertentu.

"Mereka kampanye terbuka di media sosial. Baik parpol dan tokoh parpol. Ini membingungkan kami. Karena jangankan berpolitik, untuk menjadi penyelenggara pemilihan umum (Pemilu) tingkat desa dan kecamatan saja, mereka harus mundur dari pendamping desa. Harusnya ada etikanya," kata Carlens.

Sebelumnya diberitakan, ratusan kepala desa turun ke jalan melakukan demo untuk menagih janji masa jabatan diperpanjang menjadi 9 tahun.

Penagihan itu bukan tanpa alasan. Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (MPO Apdesi) Asri Anas menyebut perpanjangan masa jabatan itu merupakan godaan dari PDI Perjuangan dan PKB.

Godaan tersebut santer disampaikan dalam setahun terakhir. Padahal selama enam tahun terakhir, para kepala desa tidak serius mendiskusikan perpanjangan masa jabatan menjadi sembilan tahun.

https://regional.kompas.com/read/2023/01/23/190723178/kades-di-ntt-tak-setuju-masa-jabatan-9-tahun-itu-namanya-rakus

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke