Salin Artikel

Cerita Bohito, Minuman Tradisional di Tepi Danau Limboto yang Menghangatkan Pemancing

Tidak berapa lama mereka menemukan jalan aspal yang kanan kirinya terdapat nipah lebat, mereka singgah ke warung semipermanen milik Mirnawati Otoluwa (39), perempuan asal Pohuwayama (Paguyaman), Kabupaten Boalemo yang menyewa tempat di Kelurahan Hutuo Kecamatan Limboto, sudah 3 tahun ia di sini.

“Mereka membeli bohito 2 botol,” kata Mirnawati Otoluwa setelah para pemancing berlalu, Minggu (13/11/2022).

Bohito adalah minuman tradisional yang terbuat dari nira segar pohon enau. Bohito yang terlihat putih keruh ini menjadi andalan pendapatan sehari-harinya. Ia hanya menjual, setiap pagi ada yang mengantarkan ke warungnya.

Hari ini ada 34 botol bohito yang berjejer di warungnya, minuman ini diisi dalam bekas botol plastik air minum dalam kemasan ukuran 600 ml. Sebotolnya ia jual Rp 5.000.

“Paling banyak yang membeli adalah nelayan yang memancing di danau, kadang-kadang orang yang mampir dari perjalanan jauh,” ujar Mirnawati.

Warung Mirnawati tepat berada di jalur trans Sulawesi, mobil-mobil antarprovinsi lalu lalang di depannya, berbagai kendaraan mulai dari mobil truk, bak terbuka, penumpang, hingga pemotor.

Di ruas jalan ini tidak hanya Mirnawati yang menyuguhkan bohito segar. Ada 3 warung yang memajang bohito ini di warungnya, yang membedakan Mirnawati dengan yang lain adalah ia hanya menjual bohito, sementara yang lain ditambahkan jual ikan air tawar segar.

Ruas jalan ini sebenarnya masih bagian dari danau, di sekitarnya masih banyak ditumbuhi nipah yang lebat, kanan kiri jalan adalah sawah atau lahan yang dibiarkan menjadi rawa.

Di ruas jalan ini juga aspalnya selalu rusak berlubang, menandakan dasarnya yang masih berasa lumpur tak mampu menahan beban. Beberapa tahun terakhir ini jalan aspal sudah diganti dengan beton cor tebal, tidak ada lagi lubang menganga.

Beberapa rumah di sisi jalan sudah lama ditinggalkan pemiliknya, jika hujan air meluap dan merendamnya berhari-hari. Bahkan tumpukan pasir di karung yang dijadikan penahan luapan air tak mampu membendung kekuatan alam ini, hanyut bersama kayu penopangnya.

Di ruas jalan ini adalah tempat yang sangat nyaman, uap air berlimpah jenuh, meski orang menyebut Negeri Gorontalo memiliki 2 matahari karena terkenal memiliki hawa yang panas. Namun tidak di sini. Angin yang bertiup di danau selalu membawa udara lembab, ditambah kanan kiri jalan dinaungi pepohonan.

Setiap hari pada pagi sebelum jam 09.00 Wita, Anton Igirisa yang 40 tahun terakhir jadi warga Desa Ulatapo B Kecamatan Talaga Biru mengantar bohito di warung Mirnawati, ia membawa beberapa jeriken besar dan kecil dalam gendongan kayu yang dimuat di motornya.

Jeriken-jeriken yang dibawanya ini setara 150 botol ukuran 600 ml. Sambil bercanda dengan tukang gali pasir di samping warung Mirnawati, Anton Igirisa menurunkan jualannya.

“Sejak kecil saat kelas 4 atau 5 sekolah dasar saya sudah membawa-bawa bohito di sekitar Pasar Bulila, dulu pakai sepeda ontel,” ujar Anton Igirisa.

Ia menghitung lama bekerja mengantarkan bohito, ia mendapatkan angka 30 tahun. Sejak sekolah SMP ia sudah melakoni pekerjaan ini, awalnya hanya membantu orang tua.

Namun makin lama ia pun memilih sebagai pekerjaan sehari-hari, di sini ia mendapatkan rezeki untuk keluarganya.

Pagi-pagi di rumahnya, ia sudah mendapatkan setoran bohito dari 5 orang tetangganya. Mereka juga petani yang memelihara pohon aren di kebunnya, setiap hari batifar atau menampung nira aren tetes demi tetes di jeriken yang digantung di batang. Tetesan nira segar ini menjadi tambatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Di Gorontalo, batifar ini banyak dilakoni petani, terutama yang berbatasan dengan hutan. Selain dijual dalam bentuk minuman segar, nira aren juga banyak diolah menjadi gula merah, bahkan ada juga yang mengolah melalui proses penyulingan menjadi minuman keras cap tikus.

Tidak banyak yang menenggak cap tikus di daerah ini, sehingga nira segar ini lebih banyak diolah menjadi gula merah. Hanya sedikit orang yang menyajikannya sebagai minuman segar bohito.

“Saya membeli bohito dari petani dengan harga Rp150 per botol minuman air kemasan ukuran sedang,” kata Anton Igirisa.

Anton paham jualan bohito segar saat ini tidak selancar dulu, saat ini ia memasok untuk 8 warung setiap harinya. Dulu ia melayani sampai 20 warung.

“Saya bisa membawa 300 botol bohito setiap harinya, laku semua. Sekarang sudah menurun drastis,” ungkap Anton Igirisa.

Sambil mengenang masa kejayaannya mengantarkan bohito segar, Anton bercerita dulu bohito ini menjadi kegemaran orang Gorontalo di era tahun 1990-an. Ia dapat melayani banyak orang melalui warung-warung kecil yang dikunjungi setiap hari.

Cita rasa bohito yang khas memberi kenikmatan tersendiri bagi warag desa. Air nira ini dikumpulkan petani dengan kesabaran, setiap hari mereka merawat pohon aren, membersihkan dari gulma dan menjaga dari kekeringan.

Di setiap pohon terdapat bambu untuk memanjat, petani memanjat turun naik setiap hari untuk mengambil nira segar dan memastikan pohon aren memberi tetesan rezeki.

Jarak Ulapato B dan tetangga-tetangga desa sekitarnya tidak jauh, Anton dengan lincah dapat mengantarkan bohito sebelum matahari meninggi. Kesegaran bohito menjadi jaminan untuk para tetangganya.

“Jangan sampai menginap melewati malam, bohito akan semakin asam, menjadi cuka,” ujar Karim pekerja penggali pasir yang tengah menikmati sebotol bohito di warung Mirnawati menimpali obrolan Anton.

Semakin sedikitnya jumlah penikmat bohito dari tahun ke tahun tidak menjadikan Anton pesimistis dengan mata pencariannya. Ia yakin Tuhan telah mengatur rezekinya, yang ia lakukan setiap hari adalah melayani dengan baik warung-warung tradisional yang menjual bohito segar ini.

“Orang sering beranggapan kalau minum bohito mabuk, kalau kebanyakan pasti berak-berak. Kalau yang memabukkan itu kalau minum cap udu,” ujar Karim terkekeh.

Cap udu yang dimaksud adalah cap tikus, udu dalam Bahasa Gorontalo berarti tikus. Cap tikus ini adalah minuman keras hasil penyulingan bohito. Pada kualitas baik, cap tikus bisa menyala saat disulut korek api.

Akibat salah memahami bohito ini banyak orang kemudian latah ikut mengharamkan minuman ini. Padahal jelas perberbedaan bohito dan cap tikus ini.

“Sejak dulu kami hanya menjual bohito, tidak pernah membuat cap tikus,” ujar Anton Igirisa.

Anton menceritakan para penikmat bohito langganannya kebanyakan generasi tua Gorontalo, bahkan banyak dari mereka yang sudah meninggal dunia. Sementara anak-anak muda sekarang lebih senang dengan sajian minuman kekinian yang dicampur boba, yang berbahan tapioka dengan campuran gula.

“Para penyuka bohito satu persatu sudah meninggal, mereka yang paling setia dengan minuman tradisional ini,” tutur Anton Igirisa.

Masalah pemasaran bohito ini tidak hanya ditinggal konsumen setia yang satu persatu pergi meninggal dunia, Anton juga sadar para petani nira ini juga semakin sedikit. Mereka yang batifar jumlahnya tidak sebanyak dulu.

“Sekarang tinggal 3 orang penjual bohito dan memuatkan untuk diedarkan ke warung, dulu di desanya lebih dari 10 orang,” tutur Anton.

Tidak banyak petani nira saat ini. Hal ini juga yang mempengaruhi semakin sedikitnya orang yang memasok bohito ke warung-warung. Anton mengaku mendapat pasokan bohito dari 5 orang petani.

Berkurangnya petani bohito ini juga menjadi tantangan tersendiri, petani yang bertahan juga sudah berumur lanjut. Mereka mewarisi pekerjaaan ini dari orang tua atau keluarga, dilakukan secara turun temurun.

Kaum muda di desanya tidak lagi tertarik dengan pekerjaan batifar, di samping pohon aren semakin berkurang jumlahnya.

Kebutuhan ruang untuk perumahan atau lainnya bagi warga juga membuat pohon aren semakin berkurang di Desa Ulapato B.

Daerah ini adalah daerah antara yang menghubungkan dua ibu kota, Kota Gorontalo sebagai ibu kota Provinsi Gorontalo dan Limboto sebagai ibu Kota Kabupaten Gorontalo.

Pembangunan perumahan, gudang, atau lainnya terus tumbuh di wilayah ini. Perubahan ini yang membuat petani bohito semakin berkurang.

Sebagai minuman tradisional, bohito seakan hanya menjadi kenangan kaum tua, bahkan minuman ini tidak memiliki tempat di warung-warung besar, apalagi daerah ibu kota kabupaten.

Bohito tetaplah bohito meskipun zaman telah berubah, minuman masa lalu ini tetap ada di warung-warung pitate (anyaman bambu) di tepi desa, seperti di Hutuo yang berada di tepi Danau Limboto.

Di tengah negara yang gencar mempromosikan keunikan setiap jengkal Nusantara melalui berbagai kegiatan kepariwisataan dan kebudayaan, bohito memiliki peluang untuk tampil sebagai warisan masa lalu yang tidak hanya mengusir rasa dahaga dan menghangatkan tubuh pemancing ikan danau.

Bohito dapat menjadi sajian istimewa melalui proses pengolahan yang lebih baik, dan disajikan pada meja-meja utama para pembesar negeri sebagai alternatif minuman nusantara yang menyegarkan.

Mirnawati Otoluwa, Anton Igirisa, atau warga Gorontalo lainnya mungkin belum tahu di tepi Danau Limboto ini tengah disiapkan ajang kepariwisataan nasional, Festival Pesona Danau Limboto (FPDL), sebuah festival yang masuk dalam Kharisma Event Nasional (KEN).

Dari panggung festival ini bisa disajikan bohito segar, agar semua warga kembali mengenali sajian minuman khas Nusantara yang pernah Berjaya di masa lalu. Dari suguhan di acara ini berharap ke depan para petani kembali batifar, memuliakan tanaman aren untuk pelestarian tradisi dan ekosistem.

https://regional.kompas.com/read/2022/11/14/205346078/cerita-bohito-minuman-tradisional-di-tepi-danau-limboto-yang-menghangatkan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke