Salin Artikel

Legenda Sungai Kapuas dan Kisah Naga Buaya Sang Anak Raja

Salah satu penumpang, Yopi Pranata (28) dinyatakan hilang dalam kejadian tersebut. Sebelum dinyatakan hilang, Yopi sempat menyelamatkan para santri lainnya.

Sungai Kapuas berada di Kalimantan Barat dengan panjang aliran mencapai 1.143 kilometer yang menjadikan Sungai Kapuas sebagai sungai terpanjang di Indonesia.

Sumber air atau hulu dari Sungai Kapuas berasal dari Pegunungan Muller, Kabupaten Putussibau yang kemudian mengalir melewati Kabupaten Sintang, Sekadau, Sanggau, dan berakhir di Selat Karimata tepatnya di sekitar Kota Pontianak.

Dahulu Sungai Kapuas dijadikan sebagai jalur transportasi yang sangat penting terutama di Kalimantan Barat.

Pada masa pemerintahan Belanda, Sungai Kapuas menjadi tempat yang paling strategis dan mereka kuasai. Sebab Sungai Kapuas menjadi tempat terjadinya transaksi barang dagang, pengiriman supply dan lain sebagainya yang ada di wilayah Kalimantan Barat.

Pada masa penjajahan, sungai ini ikut berperan dalam perjuangan bangsa Indonesia. Tahun 1963, Sungai Kapuas dijadikan sebagai jalur mobilisasi pasukan dari Pontianak menuju ke sepanjang perbatasan dengan menggunakan perahu motor.

Legenda Naga dan Buaya anak Sang Raja

Dikutip dari Kemdikbud.go.id, Entis Nur Mujingsing menulis cerita yang berjudul Penunggu Sungai Kapuas.

Cerita ini berkisah tentang seorang baginda raja yang berasal dari Kerajaan Kahayan Hilir, Pulau Mintin.

Raja Kahayan Hilir memiliki dua orang putra kembar bernama Naga dan Buaya. Ia berharap kedua anaknya dapat meneruskan takhta kerajaan dan melindungi rakyat.

Namun, sifat mereka yang bertolak belakang memmbuat Sang Raja ragu untuk memilih salah satu di antaranya.

Suatu hari Sang Raja memutuskan untuk meninggalkan istana dan menyepi di suatu tempat yang jauh. Dia pun menyerahkan kerajaan kepada kedua putranya.

Naga yang memiliki watak jahat, menyalahgunakan kekuasaannya dan berbuat semena-mena. Buaya yang mengetahui hal ini lantas menegur Naga. Keduanya pun berperang.

Peperangan yang dilakukan keduanya akhirnya diketahui baginda raja. Sang Raja pun marah dan mengutuk keduanya menjadi naga serta buaya yang sebenarnya.

Setelah berubah wujud menjadi hewan, Naga dan Buaya pergi dari kerajaan dan tinggal di Sungai Kapuas sepanjang hidupnya. Keduanya hingga kini dipercaya menjadi penunggu Sungai Kapuas.

Pemukiman awal di Sungai Kapuas

Dikutip dari jurnal Pemukiman Awal Sungai Kapuas yang ditulis Yuver Kusnoto dan Yulita Dewi Purmintasari, Program Studi Pendidikan Sejarah, IKIP PGRI Pontianak menyebutkan tidak ada sumber yang memadai untuk menggambarkan bentuk pemukiman awal masyarakat tradisional Kalimantan Barat yang mendiami pinggiran Sungai Kapuas.

Disebutkan, aliran Sungai Kapuas memiliki anak sungai yang befungsi sebagai penghubung pemukiman dengan daerah penghasil komoditas pertanian dan barang perdagangan lainnya.

Pola sungai seperti ini menarik bagi masyarakat awal di tepi Sungai Kapus untuk membentuk pola pemukiman mengelompok dan memanjang mengikuti aliran Sungai Kapuas.

Pemukiman awal dibuah bangunan sederhana kecil dari bahan yang tak tahan lama seperti kayi, kulit kayu dan bambu. Untuk menyesuaikan pasang surutnya air, maka rumah dibuat bertiang.

Sementara satu-satunya penghubung antar rumah dibuat pangkalan yang sederhana. Biasanya satu rumah akan ditinggali delapan keluarga yang sangat sederhana.

Suku dayak ngaju merupakan penduduk asli kKabupaten kapuas. Suku ini terdiri dari dua sub suku : Suku oloh kapuas-kahayan dan oloh otdanum.

Menurut penuturan pusaka”Tetek Tatum", nenek moyang suku Dayak Ngaju awalnya bermukim sekitar pegunungan schwazener di sentra Kalimantan.

Lalu Dayak Ngaju bermukim menyebar disepanjang tepi Sungai Kapuas dan Sungai Kahayan.

Pada abad ke-16 dalam naskah Negarakertagama yang ditulis oleh pujangga Empu Prapaca dari Majapahit pada tahun 1365 M, menyebutkan adanya pemukiman di kawasan tersebut.

Kemudian dalam naskah hikayat Banjar, berita Tionghoa pada masa dinasti Ming (1368-1644) dan piagam-piagam perjanjian antara Sultan Banjarmasin dengan pemerintah Belanda pada Abad ke-19 memuat berita adanya pemukiman sepanjang Sungai Kapuas dan Sungai Kahayan yang disebut pemukiman Lewu Juking.

Lewu Juking merupakan sebuah pemukiman berumah panjang yang terletak di muara Sungai Kapuas Murung (bagian barat delta pulau petak yang bermuara ke laut jawa) sekitar 10 km dari arah pesisir Laut Jawa yang dipimpin oleh kepala suku bernama Raden Labih.

Penduduk Lewu Juking dan penduduk sekitarnya sering diserang oleh rombongan bajak laut, namun berhasil dipukul mundur oleh penduduk Lewu Juking.

Karena merasa tak aman, pada tahun 1800 banyak penduduk pindahmencari tempat yang jauh lebih aman dari gangguan bajak laut.

Akibat perpindahan penduduk Lewu Juking dan sekitarnya, maka sepanjang arah sungai kapuas dan sungai kapuas murung bermunculan pemukiman-pemukiman baru.

Seperti di Sungai Kapuas Murung muncul pemukiman Palingkau yang dimpimpin oleh Dambung Tuan, pemukiman Sungai Handiwung dipimpin oleh Dambung Dayu, pemukiman Sungai Apui (seberang Palingkau) dipimpin oleh Raden Labih yang kemudian diganti oleh putranya Tamanggung Ambu.

Sedangkan di tepi Sungai Kapuas terdapat pemukiman baru, seperti Sungai Basarang dipimpin oleh Panglima Tengko, Sungai Bapalas oleh Panglima Uyek dan Sungai Kanamit dipimpin oleh petinggi Sutil.

Pada bagian hili kawasan tersebut masih berupa rawa pasang surut yang tidak mungkin menghasilkan rempah-rempat sebagai komoditi perdagangan.

Kawasan kapuas-Kahayan bersama penduduknya masih terisolasi sekian lama dari hubungan dengan dunia luar.

Lalu pada bulan Februari 1860, dalam rangka mengawasi lalu lintas perairan di kawasan kapuas, pihak Belanda membangun sebuah fort (benteng) di ujung Murung dekat muara Sungai Kapuas, tepatnya di sekitar rumah jabatan Bupati kapuas sekarang.

Bersama dengan adanya benteng ditempat tersebut, lahirlah nama “Kuala Kpuas” yang diambil dari sebutan penduduk setempat yang mengacu pada bahasa dayak Ngaju “Tumbang kapuas”.

Seiring dengan berjalannya waktu, ditempatkanlah seorang pejabat belanda sebagai Gezaghebber (pemangku kuasa) yang dirangkap oleh komandan benteng.

Sehingga kawasan Kapuas-Kahayan tidak lagi berada di bawah pengawasan pemangku kuasa yang bekedudukan di Marabahan.

Disamping itu ditunjuklah pejabat Tamanggung Nicodemos Ambu sebagai kepala Distrik (Districtshoold).

Sementara itu perkampungan di seberang, yakni di Kampung Hampalung menjadi tempat kediaman kepala distrik yang ada di sekitar Sei Pasah.

Pada tahun 1861, berangsur-angsur kawasan tersebut berubah dari pemukiman rumah Adat Betang perkampungan menjadi perumahan biasa.

Lalu bertambah lagi stasi zending di Barimba pada tahun 1968, disusul munculnya perkampungan orang cina di antara Kampung Hampatung dan Barimba.

Hingga Hari Jad Kota Kapuas pada tanggal 21 maret 1806 berdasarkan atas berdirinya Betang Sei Pasah sebagai pemukiman adat tertua di lingkunga kawasan Kuala Kapuas.

https://regional.kompas.com/read/2022/10/29/084000078/legenda-sungai-kapuas-dan-kisah-naga-buaya-sang-anak-raja

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke