Salin Artikel

Melihat Wajah "Indonesia" di Konawe Selatan

TULISAN itu ditulis di atas kertas folio putih dan ditempel di dinding ruang kelas di SD Negeri 4 Kieaea, Kecamatan Palangga, tidak jauh dari Andoolo, Ibu Kota Kabupaten Konawe Selatan di Sulawesi Tenggara.

Siswa-siswi di sekolah yang begitu sederhana karena kondisi bangunannya mulai melapuk, begitu bersemangat untuk bersekolah.

Kondisi pandemi selama dua tahun terakhir yang tidak memungkinkan belajar di kelas, menjadi pengalaman yang membekas di benak para pelajar.

Walaupun memiliki akreditasi C karena para pengajarnya tidak berkesempatan menempuh pendidikan lanjutan, sekolah yang berdiri sejak tahun 1984 itu menjadi sekolah rujukan dari keluarga petani yang mendiami sebagian besar wilayah Kecamatan Palangga.

Berprofesi sebagai petani memiliki risiko besar karena tingkat penghasilan yang tidak menentu, tergantung hasil panen dan kondisi cuaca.

Belum lagi pupuk bersubsidi begitu sulit didapat di Konawe Selatan serta kondisi infrastruktur jalannya masih banyak yang rusak menyebabkan kehidupan petani masih belum beranjak dari kata “sejahtera”.

Selain kemampuan daya beli masyarakat Konawe Selatan yang masih rendah, kondisi ini tidak terlepas dari tendensi meningkatnya jumlah penduduk miskin.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Konawe Selatan sepanjang 2018 hingga 2020, jumlah penduduk miskin semakin bertambah.

Jika ditambah pengaruh pandemi dan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) beberapa waktu yang lalu, saya yakin angka kemiskinan semakin meningkat.

Dengan jumlah penduduk miskin yang terus bertambah dari 33.730 jiwa tahun 2018, lalu 33.890 (2019) dan menjadi 34.220 (2020), menjadikan angka kemiskinan di Konawe Selatan menduduki urutan tertinggi dari 17 kabupaten dan kota yang ada di Sulawesi Tenggara. Jumlah penduduk Konawe Selatan hanya 308.524 jiwa (data BPS Konawe Selatan, 2020).

Dari data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021, Konawe Selatan memiliki prevalensi stunting 28,3 persen dan menduduki urutan 94 dari seluruh kabupaten/kota di tanah air yang memiliki angka stunting tertinggi.

Prevalensi stunting 28,3 persen memiliki arti bahwa dari 100 anak yang ada di Konawe Selatan terdapat 28 anak dikategorikan stunting.

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah 5 tahun akibat kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.

Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan hingga masa awal setelah bayi lahir. Kondisi stunting baru terlihat setelah bayi berusia 2 tahun.

Di manakah Konawe Selatan berada?

Mendengar nama Kabupaten Konawe Selatan lalu kota Andoolo apalagi Palangga dan Kieaea, tentu begitu asing di telinga walau saya tergolong tipe “penjelajah” ke berbagai pelosok tanah air.

Bisa jadi karena memang saya “kurang jauh pikniknya”, tetapi bisa jadi karena “kelalaian” kepala daerahnya yang tidak mengenalkan Konawe Selatan ke blantika nasional.

Dari interaksi saya selama ini dengan berbagai kepala daerah level kabupaten seperti Bupati Ngawi Onny Anwar, Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestadiany dan Bupati Trenggalek Mohammad Nur Arifin di Jawa Timur; Bupati Landak Karolin Margret Natsha, Bupati Sanggau Paulos Hadi dan Bupati Bengkayang Sebastianus Darwis serta Bupati Kapuas Hulu Fransiscus Dian di Kalimantan Barat; Bupati Tapanuli Tengah Ahmad Sibarani di Sumatera Utara atau Bupati Kotabaru Sayed Jafar Allaydrus di Kalimantan Selatan, saya begitu menaruh harapan dan optimis akan kemajuan daerah.

Mereka yang saya sebut ini, begitu intens melakukan gebrakan-gebrakan di daerahnya sehingga berdampak pada kemajuan daerah serta kesejahteraan warganya.

Sementara untuk Konawe Selatan saya begitu alpa mendengar kemajuan yang didapat kabupaten ini.

Dengan potensinya yang besar, baik dari sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, pertambangan dan pariwisata seharusnya Konawe Selatan bisa lebih dihela kemajuannya.

Konawe Selatan yang memiliki luas 5.779,47 menjadi kabupaten “baru” hasil pemekaran dari Konawe induk 19 tahun silam.

Menjadi tujuan ideal saat pemekaran, tentunya Konawe Selatan ingin lebih maju, berkembang dan membawa kemakmuran bagi warganya. Namun kenyataan di lapangan dan yang dirasakan warga, jauh panggang dari apinya.

Seperti gambaran “umum” daerah-daerah yang dimekarkan di tanah air, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Konawe Selatan lebih banyak dihabiskan untuk gaji pegawai dan pengeluaran rutin belaka.

Dari pengalaman bersama para kepala daerah “muda” yang saya sebut di atas dan menjadi sahabat diskusi saya, memimpin kabupaten tidak ubahnya mengendalikan sebuah perusahaan.

Mindset berpikir sahabat-sahabat saya di atas cukup sederhana, yakni bagaimana arah pembangunan ditujukan untuk pemberdayaan warga, mengoptimalkan peran aparatur sipil negara, menaikkan PAD denga memperhatikan potensi daerah serta membuka “koneksi” dengan pihak swasta.

Dari Trenggalek Meroket yang digagas Bupati Trenggalek Gus Ipin saya bisa mencerna, warga bisa diajak bergerak maju jika diberi contoh nyata oleh para pemimpin lokal dan tokoh masyarakat.

Pengembangan koperasi simpan pinjam di Trenggalek begitu mendapat dukungan warga karena warga merasakan manfaatnya.

Dari Tapanuli Tengah, saya menaruh harapan yang besar akan kegigihan Bupati Ahmad Sibarani yang begitu besar minatnya untuk pengembangan pariwisata.

Bagi Ahmad Sibarani, pengembangan pariwisata dengan melibatkan peran serta warga sangat efektif untuk menumbuhkan perekonomian warga dan menambah PAD.

Dari Landak, saya begitu kagum dengan kegigihan Karolin Margret Natasha yang peduli dengan pengembangan sektor pertanian untuk menekan angka kemiskinan di daerahnya.

Ibu kota Landak yang berada di Kota Ngabang dikukuhkan Karolin sebagai episentrum kemajuan ekonomi di kabupatennya. Saya melihat Ngabang pada 2017 dengan Ngabang di 2021 begitu kontras berbeda.

Sementara dari Kotabaru, pulau yang terpisah dari daratan Pulau Kalimantan di bagian selatan saya menyimak keterisolasian daerah tidak membuat kabupaten ini stagnan.

Justru sektor pariwisata dan pertambangan terus dihela untuk mendukung kemajuan daerah yang dikenal dengan Gunung Bamega-nya itu.

Ngawi pun tidak kalah “kerennya” ketika Onny Anwar mulai membesut daerahnya. Kabupaten Ngawi yang bertumpu dari sektor pertanian karena memang menjadi salah satu lumbung padi di Jawa Timur, tidak melupakan juga pengembangan sektor pariwisatanya. Kemajuan Ngawi menjadi salah satu kabupaten ikonik di Jawa Timur.

Sementara untuk Banyuwangi, tidak ada kalimat lain yang bisa terucap untuk kekaguman dari aneka terobosan inovatif yang dilakukan Bupati Ipuk yang melanjutkan estafet kepemimpinan dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas.

Banyuwangi adalah “jagoan” dari semua kabupaten karena kecerdasasan pemimpin dan aparaturnya.

Memenangi kontestasi pemilihan kepala daerah sebenarnya cukup mudah. Memikat partai politik agar sudi memberikan rekomendasi.

Menjalin koalisi dengan partai-partai lain jika kecukupan suara masih kurang agar bisa memenuhi syarat pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).

Jika memilih jalur independen, begitu sulit di awal konsolidasi dan begitu mudah dipermainkan ketika terpilih, saya lebih memilih jalur partai untuk maju di kontestasi pemilihan kepala daerah.

Usai resmi menggenggam calon pasangan kepala daerah dari KPUD, tinggalah kampanye yang cerdas dan cerdik untuk bisa memikat pilihan warga.

Mempercayakan kepada tim sukses yang benar-benar bisa memoles “kekurangan” dan “mengeluarkan” potensi dari calon kepala daerah.

Andaikan garis tangan memang berpihak, terpilihlah kepala daerah dengan emblem “gagah” yang tersemat di dada.

Justru yang tersulit adalah saat diberi amanah dari rakyat untuk menjadi “kepala daerah”. Dari sahabat-sahabat saya yang “terjeblos” kasus-kasus rasuah, selain karena faktor ketamakkan pribadi juga tidak terlepas dari “peluang” yang dibuka para anak buahnya di birokrasi.

Belum lagi dari pihak eksternal yang melihat adanya celah yang bisa “dimainkan” untuk mengeruk keuntungan dengan memanfaatkan sisi lemah birokrasi.

Birokrasi akan berjalan efektif, efisen dan tepat sasaran sesuai rencana pembangunan jangka panjang yang berkesinambungan bisa berjalan jika dipimpin oleh seorang “leader” yang bisa menjadi panutan anak buahnya.

Jangan berharap bisa maju, walau telah memiliki kantor pemerintahan kabupaten yang modern jika kepala daerahnya jarang berada di kantor.

Akibatnya anak buahnya hanya bertahan dari hari Senin hingga Kamis, itu pun dengan kerja yang minimal.

Saya terkesan dengan kiprah HM. Radhan Algindo NA anak muda Jakarta yang mau “turun gunung” untuk kembali ke daerah asalnya yang bernama Konawe Selatan.

Bersama anggota timnya, dia sisir anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu agar bisa mendapat akses beasiswa. Baginya, kemiskinan keluarga tidak boleh menghambat anak-anak mendapat pendidikan.

Berkat jaringan akses yang dimiliki Radhan Algindo, kini ratusan anak mulai dari tingkat dasar hingga menengah atas serta pelajar yang akan melanjutkan kuliah bisa mendapat bantuan beasiswa.

Saya begitu yakin, kemajuan daerah bisa dirintis dengan penyemaian benih-benih intelektualitas di kalangan anak mudanya.

Rantai kemiskinan akan terputus jika keluarga-keluarga miskin bisa terangkat kehidupannya. Pemberdayaan menjadi kata “kunci” melalui generasi mudanya yang melek pengetahuan.

Dari merekalah, suatu saat nanti Konawe Selatan akan bertansformasi menjadi daerah yang hebat. Sebagai daerah yang menjadi tujuan transmigrasi, Konawe Selatan adalah wajah Indonesia yang sebenarnya. Beragam suku tinggal dan menetap di Konawe Selatan.

“Pendidikan telah dimulai sejak janin dalam kandungan ibunya. Rahim seorang ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Rahim ibu adalah perpustakaan bagi anak-anaknya. Pendidikanlah yang bisa mengubah harkat kehidupan.” – Tina Nur Alam, anggota Komisi X DPR-RI.

https://regional.kompas.com/read/2022/10/12/05450011/melihat-wajah-indonesia-di-konawe-selatan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke