Salin Artikel

Kematian Mengintai Burung yang Bermigrasi Lintas Benua, Apa Sebabnya?

GORONTALO, KOMPAS.com – Sejumlah burung yang tengah melakukan perjalanan panjang migrasinya ditemukan mati di sejumah lokasi.

Diduga kematian burung-burung ini akibat kelelahan selama terbang jauh dari tempatnya berbiak di bumi bagian utara ke wilayah selatan yang suhunya lebih hangat.

“Saya pernah menemukan bangkai gagang bayam timur (Himantopus leucocephalus) tergeletak di Danau Limboto, masih utuh, tidak ada tanda-tanda pemangsaan,” kata Danny Rogi pengamat burung dari Gorontalo, Rabu  (28/9/2022).

Kematian burung-burung yang saat bermigrasi juga terdapat di daerah lain.

Di Yogya, Asman Adi Purwanto, Executive Director Perkumpulan BISA Indonesia menceritakan penemuan burung yang kelelahan dan akhirnya tidak tertolong, mati.

Di awal musim migrasi burung ini Asman sudah bertemu beberapa kasus burung pantai migran yang kelelahan di Sungai Progo.

“Pada 3 September kami melakukan pengamatan dengan keluarga dan anggota paguyuban pengamat burung Yogya, kami menemukan 1 ekor trinil pembalik batu atau Ruddy Turnstone (Arenaria interpres) yang kondisinya sudah parah, terdorong ombak kondisi bulu sudah lecek,” ujar Asman Adi Purwanto.

Burung lemah ini pertama kali ditemukan oleh anaknya Asman Adi Purwanto. Mereka kemudian memberi pertolongan dengan memberi minuman, membawanya ke rumah seorang pengamat burung Yogya, namun dalam proses pertolongan ini sang burung pengembara ini malah menemui ajalnya.

Dari kasus kematian trinil pembalik batu ini kemudian muncul inisiasi Bersama Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada untuk mencoba diteliti lebih dalam untuk mengetahui apakah ada perubahan pada organ penyebab kematian.

“Dari penampakan awal kotoran (feces) burung ini berwarna hijau, ini berarti kurang nutrisi, kemungkinan sudah beberapa hari tidak makan,” ujar Asman Adi Purwanto.

Dua pekan kemudian, pada 17 September Asman kembali melakukan pengamatan dan menemukan kasus yang mirip, bedanya ini menimpa seekor kedidi merah atau red knot (Calidris canutus).

Burung ini ditemukan tiba-tiba jatuh dan tidak berdaya terseret ombak pantai, saat ini para pengamat burung ini tengah bersiap pulang.

“Tiba-tiba anak saya berteriak melihat burung kedidi merah. Kami segera menolong dan tidak jadi pulang, kami beri minum dan kami evakuasi ke rumah teman untuk dirawat, namun sayang burung ini akhirnya tidak tertolong,” tutur Asman Adi Purwanto.

Pada 23 September juga ditemukan seekor kedidi leher merah atau Red-necked Stint (Calidris ruficollis) ditemukan pada pagi hari. Awalnya burung ini diketahui masih mampu terbang namun hanya jarak pendek. Kemungkinan ia kelelahan atau menderita sesuatu, burung ini kemudian dipinggirkan di tempat teduh dengan harapan bisa beristirahat sejenak dan mengurangi risiko bertemu predator, namun nasib burung ini tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, mati.

“Bangkainya kami temukan keesokan harinya,” ujar Asman.

Menurut Asman, kasus kematian burung-burung bermigrasi di Sungai Progo ini juga ada namun tidak tercatat karena belum banyak pengamat burung.

Tahun ini para pengamat intensif melakukan pemantauan burung-burung pengembara di lokasi yang sama, temuan-temuan di lapangan termasuk menjumpai burung yang kelelahan dan akhir mati terdata dengan baik, para pengamat mencatat dan mendokumentasikan secara baik.

“Di awal musim (migrasi) ini sudah ada sekitar 4 kasus dan semuanya mati. Sudah coba dievakuasi tapi tidak tertolong,” ujar Asman.

Migrasi burung merupakan fenomana alam tahunan yang selalu menarik untuk disaksikan dan dipelajari.

Berbagai jenis burung akan melakukan perjalanan panjang pada akhir musim gugur atau awal musim dingin di bumi belahan utara.

Mereka menghindari cuaca dingin yang dapat membekukan di tempatnya berbiak, burung-burung secara berkelompok bertahap melakukan perjalanan ke arah selatan yang iklimnya lebih hangat.

Proses migrasi ini menempuh perjalanan panjang melintasi batas negara, samudera, pegunungan.

Dalam proses ini banyak tantangan dan rintangan yang ditemukan burung-burung ini, cuaca ekstrem, badai, hujan lebat, panah terik matahari, polusi, predator, perburuan hingga perubahan habitat mereka.

Sepanjang pengembaraannya mereka menyinggahi banyak tempat untuk makan dan beristirahat, di setiap lokasi yang didatangi tidak hanya menawarkan makanan semata, mereka juga harus waspada untuk menghindari pemangsaan oleh predator, perburuan oleh manusia, bahkan racun akibat penggunaan pestisida atau pupuk kimia yang berlebihan dan dalam jangka waktu yang lama.

Perjalanan panjang burung-burung ini adalah perjuangan untuk bertahan hidup, menghindari musim dingin di tempatnya berbiak, juga harus mampu selamat dalam perjalanan panjang yang melelahkan dan berbahaya.

Temuan burung mati oleh Asman Adi Purwanto ini menjadi bukti bahwa upaya mereka bermigrasi tidak selalu mulus dan selamat, kematian mengintai di sepanjang jalur terbang asia timur Australasia (East Asian-Australasian Flyway) yang melintasi wilayah 22 negara, meskipun setiap kematian burung ini perlu penelitian mendalam untuk mengetahui secara spesifik.

Pada awal musim migrasi ini, sebuah siklon tropis Noru telah menghadang.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) membuat analisis pada 25 September 2022 yang menunjukkan posisinya berada di Laut Filipina pada koordinat 15 Lintang Utara, 123,6 Bujur Timur atau sekitar 1310 kilometer sebelah utara Tahuna.

Siklon ini bergerak ke arah barat dengan kecepatan 12 knots atau 22 km/jam menjauhi wilayah Indonesia.

Siklon tropis Noru memiliki keluatan mencapai 95 knots atau 175 km/jam, dengan tekanan sebesar 940 hecto Pascal (hPa) atau milibar (mb).

Dalam 24 jam kemudian posisi sudah beraad di Laut Filipina dengan koordinat 16,1 lintang utara 119 bujur timur atau sekitar 1590 kilometer sebelah utara barat laut Tahuna dengan arah gerak ke barat dengan kekuatan 75 knots atau 140 kilometer/jam yang membawa tekanan udara yang mencapai 965 hPa.

Dampak munculnya siklon tropis Noru ini menyebabkan kondisi maritim bergelombang tinggi antara 1,25-2,5 meter di perairan Kepulauan Talaud, perairan Kepulauan Sangihe, Laut Maluku bagian utara, perairan utara dan barat Halmahera, Samudera pasifik utara Papua Barat, Laut Sulawesi, Laut Natuna Utara.

Bahkan gelombang yang lebih tinggi lagi hingga mencapai 2,5-4 meter terjadi di wilayah  Samudera Pasifik utara Halmahera.

“Kalau dilihat dari cara burung migrasi dengan memanfaatkan arus angin, siklon tropis Noru bisa menjadi berpengaruh terhadap migrasi burung,” kata Supandi Nikolas, forcaster on duty Stasiun Meteorologi BMKG Gorontalo.

Supandi Nikola menjelaskan, jika ada ada gangguan cuaca seperti siklon tropis, pola anginnya akan berubah, sehingga rute perjalanan migrasi burung juga ikut berubah.

Rintangan cuaca ini biasanya sulit untuk ditembus, sehingga rute terbangnya akan berubah untuk mengurangi risiko, akibatnya burung bisa menempuh perjalanan yang lebih panjang dan risiko yang dihadapi juga berbeda.

Terbang panjang ini pasti akan menguras energi, mengurangi daya tahan, hingga ada individu tau beberapa individu yang tidak mampu melanjutkan perjalanan.

Memprihatinkan

Catatan pengamat burung dari Perkumpulan Biodiversitas Gorontalo (Biota) menunjukkan pada tahun 2015 saat banyak kebakaran hutan terjadi di Indonesia, sekumpulan gagang bayam timur yang berkunjung di Danau Limboto ditemukan dalam kondisi kaki yang terluka, membengkak, bengkok, hingga hampir putus.

Burung ini mencari makan dan beristirahat dengan kondisi yang memprihatinkan, kondisi seperti ini juga rentang pemangsaan oleh predator.

Penemuan burung yang tidak bisa terbang ini merupakan kasus miopati, yaitu kelumpuhan akibat gangguan otot dalam tubuh dengan gejala lemah dan nyeri otot atau terkadang tidak menimbulkan gejala.

Jika terkena miopati ini burung hanya terkulai lemah di tanah tidak bisa berdiri meskipun sayap masih kuat berkepak.

“Kaki lumpuh sesaat. Meski sayap normal, namun dia gak bisa cari makan atau tumpuan kaki buat terbang,” ujar Iwan Febrianto yang dikenal sebagai Iwan Londo, seorang peneliti burung pantai.

Happy Ferdiansyah seorang dokter hewan menjelaskan kasus miopati pada burung bisa terjadi di otot bagian mana yang mengalaminya. Jika otot kaki burung tidak bisa jalan dan tidak bisa melakukan "jump start" untuk terbang.

“Ini yang paling sering dijumpai di lapangan,” kata Happy Ferdiansyah.

Jika miopati ini mengenai otot sayap, burung pasti tidak bisa terbang namun masih bisa berjalan, sayapnya akan menggantung turun.

“Tapi burung yang mengalami drop wing tidak selalu sama dengan miopati ya, karena bisa juga penyebab lain,” ujar Happy Ferdiansyah.

Kondisi miopati pada burung bisa saja terjadi pada keduanya, sayap dan kaki, namun kasus ini jarang terjadi.

Namun kematian burung bermigrasi ini tidak semata-mata akibat miopati. Ada banyak penyebab kematian burung-burung bermigrasi ini selain faktor umur.

Happy Ferdiansyah menjelaskan kematian burung ini bisa disebabkan oleh penyakit, faktor cuaca seperti saat terjadi badai, angin kuat, keracunan, nutrisi, dan lainnya.

“Untuk mengetahuinya sebaiknya dilakukan nekropsi dengan mengambil sampelnya,” kata Happy Ferdiansyah.

Nekropsi adalah proses membedah bangkai hewan untuk mengetahui adanya gangguan atau kelainan pada anatomi tubuh. Bisa dikatakan nekropsi merupakan investigasi medis terhadap bangkai satwa.

Tindakan medis ini membutuhkan kerjasama berbagai pihak dari pelaku di lapangan dan petugas nekropsi yang berpengalaman.

Happy menambahkan, dari sisi medis jika kasusnya adalah miopati akibat temperatur yang tinggi maka perlakuannya boleh didinginkan.

Ia menyarankan jika tujuannya hanya untuk mendinginkan suhu burung, lebih baik mengompresnya dengan air dingin. Ia tidak menyarankan mengguyur dengan air es karena ditakutkan saat disiram airnya nembus ke celah bulu.

Sebagai pencegahan kematian awal, Iwan Londo memberikan tips sederhana. Ia menyarankan untuk memberikan cairan infus atau coca cola untuk diminumkan kepada burung yang kelelahan.

“Kalau burung pantai biasanya pakai cairan infus, dan itu sering kami pakai saat project Avian Influenza, karena pasti ada kasus seperti ini. Cairan bisa diberikan melalui tempat minum atau diminumkan dari alat suntikan,” ucap Iwan Londo.

Menangani kasus burung yang mengalami kelelahan harus hati-hati dan membutuhkan waktu yang Panjang.

Iwan Londo memulihkan kondisi ini membutuhkan waktu minimal sepekan agar bisa merilis burung kembali ke alam.

Bahkan saat berada di lapangan untuk riset, Iwan Londo tidak hanya membawa cairan ini, juga menyiapkan bekal asupan makanan dengan menggiling udang hingga lembut.

“Udang kami haluskan, kami masukkan dalam alat suntik tanpa jarum, lalu kami beri makan dengan cara menyuntikkan ke mulut burung, harus hati-hati,” tutur Iwan Londo.

Perlakukan dan penanganan miopati burung pantai ini pernah dilakukan oleh sejumlah peneliti di Australia, mereka melakukan riset pemulihan sejumlah burung akibat miopati yang dinilai sukses di barat laut benua ini.

Periset Danny Rogers, Phil Battley, Jan Sparrow, Anita Koolhaas, dan Chris Hassell telah berhasil merehabilitasi  miopati pada burung kedidi besar atau great knot (Calidris tenuirostris), kedidi merah atau red knot (Calidris canutus), biru laut ekor blorok atau Bar-tailed Godwit (Limosa lapponica), dan kedidi leher merah atau Red-necked Stint (Calidris ruficollis).

Mereka menjelaskan sebelum melakukan perjalanan panjangnya burung akan menggemukkan badan sebagai cadangan energi dalam migrasi tahunan mereka.

Seekor kedidi besar sebelum bermigrasi beratnya sekitar 140 gram, dan di masa menjelang keberangkatan bisa bertambah sampai 240-260 gram.

Berat kedidi merah sebelum migrasi sekitar 110 gram dan massa keberangkatan migrasi sekitar 160 gram.

Temperatur yang tinggi dan kegemukan disebut berperan dalam memicu kasus kram otot burung. Proses rehabilitasi burung-burung ini memakan waktu hingga 14 hari, waktu yang sepadan dengan kondisi kritis yang dialami dan menunggu regenerasi jaringan tubuh pulih kembali.

Perlakuan memberi pakan pasien burung pengidap miopati ini memberi gambaran bagaimana seharusnya ini dilakukan jika mendapatkan burung dengan gejala yang sama di tempat lain.

Karena burung-burung ini tidak makan sendiri, maka peneliti ini menyuapi pakan kucing yang direndam air dengan tangan, bahkan mendorong dengan cotton bud ke arah kerongkongan jika kesulitan, demikian juga dengan pemberian air minum atau dengan larutan garam yang diteteskan dengan pipet.

Kisah sukses pertolongan ini memberi semangat bagi para peneliti dan pengamat burung yang bermigrasi, terutama burung-burung pantai. 

https://regional.kompas.com/read/2022/09/30/172249978/kematian-mengintai-burung-yang-bermigrasi-lintas-benua-apa-sebabnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke