Salin Artikel

Tradisi Sasi, Kearifan Lokal untuk Menjaga Kelestarian Sumber Daya Alam Maluku

KOMPAS.com - Kepulauan Maluku dikenal dengan panorama yang indah serta hasil sumber daya alam yang melimpah.

Tak heran jika Kepulauan Maluku mendapat julukan The Spicy Island karena tanah Maluku merupakan menjadi daerah penghasil berbagai rempah-rempah.

Hasil bumi berupa rempah-rempah inilah yang membawa Maluku ke dalam rantai perdagangan di nusantara maupun antarbangsa sejak dulu kala.

Tak hanya di daratan, Kepulauan Maluku juga memiliki sumber daya laut yang melimpah, terutama di sektor perikanan.

Tak hanya melimpah, namun sumber daya alam di Maluku juga terus terjaga dengan baik berkat kearifan lokalnya yaitu tradisi sasi.

Apa itu tradisi sasi?

Dilansir dari laman Kemendikbud, istilah sasi sendiri berasal dari Bahasa Wamala.

Tradisi sasi adalah sebuah hukum adat yang melarang masyarakat untuk mengambil hasil alam di darat maupun di laut dalam jangka waktu tertentu.

Pelanggaran terhadap sasi dapat dijatuhi hukuman seperti dipermalukan di depan umum, kerja untuk negeri, atau denda uang.

Dilansir dari laman bobo.grid.id, tradisi sasi dilakukan karena dua prinsip.

Prinsip pertama adalah hasil alam tidak boleh disentuh atau dimanfaatkan ketika belum layak digunakan, dan yang kedua adalah demi memberikan kepuasan dari hasil usaha sendiri.

Jenis Tradisi Sasi

Terdapat dua jenis sasi yaiku sasi negeri dan sasi gereja atau sasi masjid

Sasi negeri dipegang oleh tuan tanah, raja, maweng, dan kewang untuk mengawasi pelaksanaan sasi.

Kewang adalah lembaga adat yang dikuasakan sebagai pengelola sumberdaya alam dan ekonomi masyarakat, sekaligus sebagai pengawas pelaksanaan aturan-aturan atau disiplin adat dalam masyarakat.

Sementara sasi gereja atau sasi masjid memiliki nilai keagamaan di dalamnya.

Beberapa daerah yang masih melaksanakan tradisi sasi adalah Pulau Haruku dan Pulau Saparua.

Proses Tradisi Sasi

Proses tradisi atau hukum adat ini diawali oleh prosesi tutup sasi dan diakhiri dengan buka sasi.

Prosesi sasi akan dilakukan di pusat sasi disebut batu kewang dipimpin oleh kewang desa bersangkutan.

Di lokasi tersebut akan dibacakan siriwei (ucapan tekat) oleh kapitan, memberikan nasehat dan disebarluaskan oleh marinyo (pembantu Raja yang bertugas menyampaikan berita kepada seluruh masyarakat) dengan menggunakan tabaos.

Larangan itu dinyatakan dengan matakao sebagai simbol kepemilikan.

Secara adat, pelaksanaan sasi ditentukan oleh hasil Rapat Dewan Adat (Saniri) yang wajib dilaksanakan Kepala Kewang (Latukeang, Kewano).

Kewang yang bertugas di darat disebut Kewang Darat dan yang bertugas di laut disebut Kewang Laut.

Dalam menjalankan tugas mereka dibantu oleh sekel masing-masing untuk lingkungan darat dan laut, serta 40 kewang yang lain.

Kewang dipilih oleh Malesi, Pela, Denia, Waelo, Luhukay, Tuhepory Sela, Maujet Tung, Toyanate Latu.

Kegiatan sasi diawali dengan proses tutup sasi, yaitu masa berlakunya larangan.

Pada waktu yang telah ditentukan kepala kewang (petugas keamanan desa) dan para pembantunya menanam tanda-tanda sasi di sekeliling perbatasan desa di darat dan di laut

Tanda-tanda sasi adalah potongan-potongan kayu bakar atau bambu yang dibungkus menggunakan anyaman daun kelapa mirip ketupat.

Sasi biasanya berlangsung dalam jangka waktu sekitar 3 sampai dengan 6 bulan .

Sepanjang sasi berlaku, kewang dan pembantu-pembantunya akan memeriksa dengan meniup kulit bea (siput) besar serta meneriakan kata “Sill eee!” yang sama artinya dengan “sasi!”

Teriakan itu disambut warga dengan meneriakkan “Seke eee!”, berarti “semoga menjadi kuat!”.

Upacara yang sama dengan acara buka sasi, dilakukan pada malam hari karena pada waktu malam arwah leluhur akan berkumpul di baileu.

Kesaksian leluhur dianggap penting untuk melegitimasi pelaksanaan sasi.

Kemudian, setelah waktu sasi terpenuhi maka secara adat akan dilakukan ritual buka sasi.

Wilayah Sasi

Seiring berjalannya waktu, terdapat pergeseran nilai dari tradisi sasi salah satunya dalam penentuan wilayah.

Dilansir dari laman Antara, terdapat wilayah sasi permanen di mana tidak seorangpun di luar masyarakat adat boleh menyentuhnya.

Wilayah ini juga dikenal sebagai “hak ulayat laut” yaitu wilayah komunal adat untuk melindungi sumber daya alam yang ada di dalamya.

Selain itu ada juga wilayah yang boleh dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat adat.

Sumber:
petabudaya.belajar.kemdikbud.go.id 
ambon.antaranews.com 
bobo.grid.id 

https://regional.kompas.com/read/2022/08/15/194055378/tradisi-sasi-kearifan-lokal-untuk-menjaga-kelestarian-sumber-daya-alam

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke