Salin Artikel

2.714 Anak di Perbatasan Indonesia-Malaysia Alami Stunting

Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit pada Dinas Kesehatan Nunukan, Sabaruddin mengatakan, dari 13.367 anak yang dilakukan pengukuran di perbatasan Indonesia – Malaysia, terdapat balita pendek dan sangat pendek sebanyak 2.714 anak, atau sebesar 20,3%.

"Pekerjaan Rumah kita, adalah menurunkan angka stunting dengan lebih 2.000 anak ini. Terlebih target nasional membatasi jumlah kasus stunting tidak boleh melebihi 14 persen. Tentunya ini akan membuat kita bekerja lebih keras,’’ ujarnya, Selasa (14/6/2022).

Tak sekadar memenuhi target nasional, pencegahan stunting juga menjadi kewajiban Pemerintah Daerah. Pasalnya, stunting menjadi hal berbahaya bagi anak sebagai generasi penerus bangsa.

Dia menjelaskan stunting akan mengganggu proses tumbuh kembang anak. Dalam hal ini baik pertumbuhan tubuh maupun otak, akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama.

Stunting memiliki dampak jangka pendek berupa gangguan perkembangan otak dan kecerdasan. Selain itu juga gangguan pada pertumbuhan fisik dan metabolisme.

‘’Anak yang mengalami stunting dan tidak segera ditangani, maka akan mengalami penurunan kemampuan kognitif otak. Kekebalan tubuhnya melemah dan berisiko terkena penyakit metabolisme dan penyakit pembuluh darah,’’ ujarnya lagi.

Sabaruddin menjelaskan, pemerintah daerah terus mengupayakan penurunan stunting dengan berpedoman pada 8 Aksi Konvergensi Percepatan Penurunan Stunting Terintegrasi.

Di antaranya analisis situasi, rencana kegiatan, rembuk stunting, peraturan bupati/wali kota kewenangan desa, pembinaan kader pembangunan masyarakat, manajemen data, pengukuran, publikasi stunting, dan review kinerja tahunan.

Saat ini, Pemkab Nunukan sudah melakukan program pengawasan dan pendampingan ibu hamil, sekaligus pendataan keluarga dengan anak berpotensi stunting.

‘’Kita ada intenvensi spesifik dan intervensi sensitive. Dinas Kesehatan mengambil peranan 30 persen sampai selesai pemantauan 1.000 hari kehidupan. Lalu Dinas lain, misalnya Dinas Sosial, akan melanjutkan peran sesuai tugas pokok dan fungsinya,’’jelasnya.

Selain itu, pemerintah juga mencoba mencegah tradisi pernikahan dini yang kerap terjadi di Nunukan. Menurut Sabar, tradisi pernikahan dini perlu menjadi peringatan.

Meskipun secara agama diperbolehkan, tapi dari sisi kesehatan, perempuan yang masih berusia remaja belumlah matang secara psikologis.

"Usia remaja merupakan usia pertumbuhan dan masih membutuhkan gizi maksimal hingga usia 21 tahun. Organ reproduksi mereka juga belum terlalu kuat. Di mana organ rahim belum terbentuk matang dan sempurna," ungkapnya.

Apalagi anak usia remaja masih membutuhkan gizi yang maksimal. Jika harus mengandung maka akan berebut gizi dengan bayinya.

’Secara teori kesehatan, tubuh ibu akan berebut gizi dengan bayi yang dikandungnya. Kondisi ini bisa memicu lahirnya bayi stunting. Jadi kita berupaya melakukan pencegahan dari hulu sampai hilir,’’ jelasnya.

https://regional.kompas.com/read/2022/06/14/195536678/2714-anak-di-perbatasan-indonesia-malaysia-alami-stunting

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke