Salin Artikel

Cerita Perempuan dari Kota Lama Semarang...

Tak sedikit orang yang datang memasuki bangunan tua bersejarah itu. Berpakaian rapi, sebagian bersanggul dan berkebaya.

Sebagian lainnya tampak memakai baju batik dan pernak-pernik layaknya pribumi Jawa.

Dengan gembira, penabuh gamelan mengajak seluruh isi ruangan menyanyikan lagu "Suwe Ora Jamu". Tak disangka, seluruh penabuh gamelan itu ialah para perempuan.

Mereka tergabung dalam Komunitas Diajeng Semarang (KDS). Pada 21 hingga 24 April 2022 ini, KDS menggelar serangkaian kegiatan dalam memperingati hari tokoh Emansipasi Wanita di Indonesia, Raden Ajeng Kartini.

Founder KDS, Maya Dewi mengatakan, adanya kegiatan KDS Kartinian merupakan salah satu cara untuk nguri-uri budaya, sekaligus menginspirasi masyarakat.

Hal itu dibuktikan dengan peluncuran buku "Sentini (The Jamu Stories)" oleh Diana N, salah satu anggota KDS.

Dalam buku tersebut, Maya menambahkan, bercerita tentang perempuan yang bertahan hidup di Ibu Kota Jakarta, dengan berjualan jamu dan selalu berkebaya.

"Kebetulan Diana N. itu nama pena saya. Cerita di buku saya, ingin menyampaikan bahwa perempuan itu bersemangat dari yang tidak tahu menjadi tahu. Itulah semangat pembelajar Kartini ," tutur Maya kepada Kompas.com, Kamis (21/4/2022).

Sedangkan berkebaya, merupakan salah satu cerminan dari masyarakat Jawa yang saat ini masih dilestarikan KDS, selaku komunitas pelestari busana adat di Kota Semarang.

Maya mengaku bahwa tidak mudah untuk menyelesaikan satu buku fiksi karyanya. Tekad dan semangat Maya terlahir dari tokoh inspirasinya, Pramoedya Ananta Toer.

Sesuai dengan pepatah Pram, "Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan sejarah". Dengan itu, maka Maya menulis.

"Menulis itu proses yang tidak mudah. Namun dengan saya menulis, boleh jadi dapat menginspirasi masyarakat. Kemudian mereka juga ikut menulis. Itu yang jadi meaningfull bagi saya," ujar Maya.

Lebih jelas Maya mengatakan, dirinya ingin mendobrak stigma negatif tentang perempuan berkebaya yang kerap dipandang sebelah mata.

"Padahal perempuan berkebaya juga punya kemampuan, kepandaian, keberanian, dan value yang perlu diapresiasi," kata Maya.

Hal itu ditunjukkan dengan berbagai penampilan dari Komunitas Diajeng Semarang.

Menari dan berkebaya

Selain meluncurkan buku, Komunitas Diajeng Semarang juga menampilkan sejumlah tari, pameran, dan fashion show.

Salah satu tari yang dibawakan KDS adalah Tari Denok Semarangan. Tak hanya golongan tua, penari KDS juga berasal dari anak-anak muda.

Heni Nur Laila, mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Daerah Universitas PGRI Semarang, yang merupakan salah satu penari muda di KDS.

Sejak 2019, dirinya bergabung di komunitas budaya ini untuk belajar juga berkontribusi dalam seni tari.

Menurut dia, tidaklah sulit untuk melestarikan budaya Indonesia. Dengan menyalurkan bakat dan minat, budaya akan tetap lestari.

"Berbudaya itu tidak perlu berpikir terlalu keras. Yang penting suka dan enjoy," tutur Heni.

Disamping itu, perempuan yang hobi memakai jarik dan batik ini juga mengungkapkan, tutur bahasa juga merupakan budaya.

Sehingga, sangat penting ditanamkan dan diajarkan ke masyarakat.

"Apalagi kita masyarakat Jawa, harus belajar juha bertutur dengan bahasa Jawa kepada sesama," pungkas dia.

https://regional.kompas.com/read/2022/04/22/005003178/cerita-perempuan-dari-kota-lama-semarang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke