Salin Artikel

Marak Kasus Warga Menembok Akses Rumah Tetangga, Sosiolog: Harus Diatur Formal, Tak Cukup Mengeluh ke Pak Bayan

KOMPAS.com - Sejumlah kasus warga menembok akses rumah tetangganya marak terjadi di beberapa daerah.

Yang terbaru adalah kasus penembokan akses rumah Sutikah (53) oleh Sunarsih (63).

Keduanya merupakan warga Desa Mejobo, Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Meski bertetangga, keduanya tidak akur.

Perselisahan mereka semakin meruncing ketika Sutikah diduga menyumpahi mendiang suami Sunarsih.

Alhasil, Sunarsih menembok akses rumah Sutikah karena merasa kesal terhadap tetangganya tersebut.

Terkait maraknya fenomena warga menembok akses rumah tetangganya, sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono, menyampaikan pandangannya.

Menurut Drajat, agar kasus serupa tak terulang, yang dibutuhkan adalah aturan hukum formal.

“Sekarang itu, untuk menyelesaikan masalah ini, tidak cukup dengan mengeluh kepada kiai, pak bayan, atau lainnya. Harus diatur formal, terutama formal ketetanggaan,” ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Kamis (10/3/2022).

Aturan hukum itu bisa tertuang dalam sebuah tata kelola kebertetanggaan yang disebutnya sebagai neighborhood governance.

“Itu adalah tata kelola untuk menjaga kerukunan antartetangga agar tidak terjadi permasalahan,” ucapnya.

Tata kelola tersebut dapat diwujudkan dalam peraturan daerah.

Adapun pengusulnya bisa berasal dari institusi formal, seperti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun wali kota.


Sedangkan, dari segi informal, bisa melalui rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW). Di sisi ini, tata kelola itu bisa diwujudkan dalam pertemuan-pertemuan antarwarga.

“Ini juga menjadi peranan perguruan tinggi, bagaimana bisa mengisi gap dalam perubahan sosial ini,” ungkapnya.

Drajat menilai, neighborhood governance diperlukan dalam masyarakat lantaran kasus ini merupakan potret terjadinya perubahan sosial dari solidaritas mekanik ke organik.

Dalam solidaritas mekanik, hubungan antarindividu didasarkan pada emosi, pertemanan, dan juga kekeluagaan.

“Organik bergesernya menuju ke arah fungsionanal, ‘Kamu ada gunanya tidak?’ Ini tampaknya pergesaran ke arah organik, yang mana fungsi-fungsi dalam relasi bergeser,” terangnya.

Maka dari itu, dalam masyarakat solidaritas organik, perlu adanya hukum yang mengatur. Ia menerangkan, dalam solidaritas organik, sanksi itu pasti ada.

“Yang perlu diperhatikan adalah mekanisme tata kelolanya, bagaimana agar hal-hal seperti itu tidak menimbulkan ketidakberadaban untuk orang lain,” jelasnya.

"Ibu Sutikah dan Sunarsih sudah puluhan tahun hidup bertetangga dan sering cekcok. Keduanya tak bersuami lagi dan komunikasi kurang baik. Ibu Sunarsih pun meradang, tak tahan dengan kata-kata tak pantas Ibu Sutikah terakhir kali, 'Bojomu bosok nek neroko'," bebernya, Selasa (8/3/2022).

Akibat perselisihan itu, Sunarsih kemudian menembok akses rumah Sutikah.

Sunarsih membangun tembok sepanjang 10 meter dengan tinggi 2,3 meter. Jarak tembok dengan rumah Sutikah hanya sekitar 40 sentimeter.

"Praktis tak bisa keluar masuk rumah karena merupakan satu-satunya akses jalan. Tak ada akses jalan lain akibat tertutup rumah tetangga lainnya," sebutnya.

Kasus ini akhirnya menemui titik terang setelah Sunarsih mau menjebol tembok seukuran pintu rumah untuk akses Sutikah dan keluarganya.

"Hari ini kami bersama Danramil dan Kapolsek melakukan mediasi yang kedua dan Ibu Sunarsih sepakat lubang seukuran pintu yang semula hanya dibuka dua hari tidak ditutup kembali," sebut Aan, Rabu (9/3/2022).

Sumber: Kompas.com (Penulis: Kontributor Grobogan, Puthut Dwi Putranto Nugroho | Editor: Robertus Belarminus, Ardi Priyatno Utomo) 

https://regional.kompas.com/read/2022/03/11/140000578/marak-kasus-warga-menembok-akses-rumah-tetangga-sosiolog--harus-diatur

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke