Salin Artikel

Berulang Tahun Ke-112, Ini Seluk-beluk Kota Jayapura yang Menyimpan Memori Perang Dunia II

Kota Jayapura berdiri sejak 7 Maret 1910. Pada tanggal 7 Maret 2022, kota tersebut genap berusia 112 tahun.

Wilayah ini beberapa kali sempat berganti nama seperti Hollandia, Sukarnopura, Port Numbay, dan kini bernama Jayapura.

Dosen Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Cenderawasih, Ester Yabeyapdi mengungkapkan, ada sejumlah tempat yang memiliki sejarah ruang publik.

Tempat-tempat yang dimaksud di wilayah Jayapura adalah Bivak Hollandia, Taman Imbi, Koloofkamp, Pantai Base-G, Dok, Army Post Office (APO), Kloof KAMP, Werf, Pelabuhan Hollandia, Polimak, Ber en Dal (Argapura).

Kemudian, Metu Debi Kampung Laut yang meliputi, Kampung Tobati, Enggros, Kayu Pulau dan Kampung Kayu Batu, Hamadi, Kota Raja, Vim, Skouw, Nafri, Hollandia Binen, Kompleks Uncen, Motor Pool Padang Bulan dan Yoka.

"Deskripsi singkat keadaan Kota Hollandia (Kota Jayapura) merupakan implikasi dari kehadiran Pemerintah Kolonial Belanda dalam mewujudkan citranya dalam kota kolonial, Hollandia,” jelasnya pada Kompas.com melalui pesan tertulisnya, Selasa (08/03/2022).

Ester mengatakan, Kota Jayapura hari ini merupakan daerah yang mengalami bentukan ketika Perang Dunia II.

“Keadaan ini tidak banyak mengalami perubahan sampai Pemerintah Kolonial Belanda meninggalkan untuk kedua kali dan untuk selama-lamanya daerah ini pada tanggal l Mei 1963,” katanya.

Menurut Ester, Kota Hollandia merupakan kota yang muncul karena Perang Dunia II antara Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat dengan Jepang. Di balik perang tersebut muncul kota baru, Hollandia.

“Dalam bulan April tahun 1942, Jepang menduduki Hollandia. Daerah ini menjadi objek militer Jepang yang penting. Dengan demikian dibuatlah jalan-jalan, lapangan terbang dan berbagai sarana lain guna menunjang Jepang selama Perang Dunia II,” tuturnya.


Dosen Sejarah Universitas Cenderawasih ini membeberkan bahwa pada 1943 ketika tentara Jepang mulai mundur dari wilayah lautan teduh (Lautan Pasifik), daerah teluk Hollandia menjadi objek serangan-serangan dari kapal-kapal terbang Sekutu yang menyerang.

Mencapai puncaknya dengan usaha- usaha pendaratan dari tentara Sekutu.

“Sampai 22 April 1944 ketika tentara Sekutu berhasil menduduki Hollandia, daerah ini menjadi medan pertempuran. Waktu itu penduduk pribumi yang dalam masa pemboman dan pertempuran mengungsi ke daerah pedalaman, perlahan-lahan mulai kembali lagi,” beber Ester.

Pembangunan kota

Ester menjelaskan, usai Perang Dunia II, pemerintah Belanda mulai merencanakan dan melaksanakan pembangunan kota.

Dalam waktu yang singkat, wilayah yang dulu bernama Hollandia dan sekarang adalah Jayapura, meliputi sebagian besar dari daerah pantai barat dari Teluk Humboldt, mengalami perubahan.

Kampung-kampung laut yang yang hampir semuanya terletak di sebelah barat dari teluk, menjadi kampung-kampung dalam suatu kota besar, dan kehidupan masyarakat dari kampung- kampung telah dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat kota besar.

Ketika Belanda kembali berkuasa di Hollandia, setelah PD II hingga integrasi dan pasca-integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kota Jayapura mengalami perkembangan yang luar biasa.

Perkembangan kota ini ternyata merupakan daya tarik bagi penduduk di luarnya untuk berpindah ke sana dan mencari kesempatan kerja dalam meningkatkan taraf hidup yang dengan sendirinya menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara kota dan daerah kampung.

“Kini penduduk Kota Jayapura terdiri dari multietnis di mana penduduk kota sangat dipengaruhi oleh migrasi orang dari luar kota,” jelasnya.


Memori kolektif

Ester mengungkapkan, kini tempat-tempat di Kota Jayapura yang menyimpan sugudang memori kolektif, selain simbol identitas dari masyarakat pemilik tempat dan masa lalu tersebut, telah mengalami bentukan akibat migrasi dan modernisasi kota.

“Keberadaan berbagai etnis pendatang di Jayapura mempengaruhi sosial dan kehidupan budaya yang ditunjukkan oleh kekerabatan yang kuat ikatan dan tinggal berdekatan dengan kerabat dari suku yang sama,” ungkap dia.

Ester menyatakan, ada pemukiman dihuni oleh pendatang dari daerah tertentu.

Pemukiman penduduk asli Jayapura dihuni oleh suku Tobati, Enggros, Kayu Pulo, Kayu Batu, Nafri, dan Sko Say, Sko Mabo, dan Sko Yambe.

“Sampai saat ini, mereka masih melestarikan tradisi mereka pemukiman di tengah perkembangan Kota Jayapura,” tandasnya.

Ditentukan oleh pimpinan

Sosiolog Universitas Cenderawasih, Ave Lefaan mengungkapkan bahwa kehidupan multikultural atau multietnis bisa berkomunikasi dengan kelompok-kelompok masyarakat dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda.

Kondisi juga sangat ditentukan oleh institusi pimpinan yang ada.

“Misalnya Pak Wali Kota dan Wakil Wali Kota, sehingga pimpinan yang ada ini harus memiliki wawasan kepemimpinan tentang latar belakang primodialisme dari kelompok-kelompok yang hidup bersama,” ungkapnya.

Menurut Ave, di dalam sosiologi disebut dengan melting pot, merupakan sebuah wadah yang membuat masyarakat saling berkomunikasi secara eksternal maupun internal, sehingga proses-proses komunikasi yang terjadi dalam bentuk interaksi dapat berjalan dengan baik.

“Aturan-aturan atau institusi, kelembagaan-kelembagaan dan pranata-pranata harus ditegakkan, tanpa pranata maka interaksi atau komunikasi tidak akan berjalan secara bagus,” tuturnya.

Menurutnya, multukulturalisme di Kota Jayapura sangat tinggi, karena kondisi sangat plural.

Tapi sampai hari ini pergaulan dan interaksi sosial dapat berjalan dengan baik karena memang Wali Kota selalu memberikan imbauan dan komunikasi kepada masyarakat tentang bagaimana cara membangun kehidupan bermasyarakat di Jayapura.

Selain itu, aturan-aturan selalu diterapkan, sehingga masyarakat di Jayapura saat ini adalah masyarakat perkotaan yang kehidupannya sangat individual, tetapi unsur interaksi saling menghargai masih sangat tinggi di Kota Jayapura.

“Masyarakat kita saat ini tidak mengalami goncangan di dalam tatanan-tananan dengan kelompoknya sendiri, maupun dengan kelompok-kelompok yang lain,” ujarnya.

Dosen Pascasarjana Uncen ini mengakui bahwa beberapa pakar sosiologi telah berpendapat bahwa di dalam suatu organisasi masyarakat dengan latar belakang yang beranekaragam, mudah berkonflik.

Namun demikian, kata Ave, peranan pemimpinan bersama kelembagaan menjadi penting.

“Yang kita butuh kepatuhan dan kepatutan. Patuh dan patut artinya tunduk dan harus melaksanakan aturan yang ada, agar masyarakat hidup aman, nyaman dan damai bisa terwujud,” ujarnya.

Oleh sebab itu, Ave menyampaikan, sosialisasi atau komunikasi secara terus menerus, baik secara horizontal harus dilakukan oleh wadah-wadah pembinaan masyarakat menjadi penting untuk terus dilakukan dalam kehidupan masyarakat di daerah perkotaan.

“Kegiatan seperti pembinaan olahraga, arisan, pemutaran film dan kegiatan antara umat beragama serta lain-lain menjadi solusi dalam membuat masyarakat bisa melakukan solidaritas secara baik dalam kehidupan bersama,” ucapnya.

https://regional.kompas.com/read/2022/03/08/131036478/berulang-tahun-ke-112-ini-seluk-beluk-kota-jayapura-yang-menyimpan-memori

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke