Salin Artikel

Meski Berat, Mahriyeh Rela Jasad Suaminya Terkubur Material Erupsi Semeru untuk Selamanya

BLITAR, KOMPAS.com - Mahriyeh akhirnya merelakan jasad suaminya, Miran, terkubur material awan panas Gunung Semeru. Dia mengaku ikhlas jika pada akhirnya jasad suaminya itu tak ditemukan.

Nenek berusia 70 tahun itu menganggap apa yang menimpa suaminya sebagai garis takdir.

"Bagaimana lagi. Tapi anak saya yang masih di kampung sudah bisa menggelar selamatan untuk almarhum (Miran)," kata Mahriyeh saat ditemui Kompas.com di Desa Gogodeso, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, Jumat (17/12/2021).

Sudah dua pekan proses pencarian korban hilang awan panas Gunung Semeru dilakukan. Namun, tim belum berhasil menemukan keberadaan Miran.

Hal itu yang membuat Mahriyeh harus menerima kenyataan bahwa Miran, pria berusia 80 tahun, yang telah menemani hidupnya lebih dari setengah abad itu terkubur material vulkanik di ladang padi miliknya.

Mahriyeh yang selamat dari bencana itu kini sedang mengungsi di rumah kerabatnya yang ada di Desa Gogodeso, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar. Sudah hampir dua pekan Mahriyeh dan 19 anak cucu serta kerabatnya berada di desa yang terletak di pinggir Sungai Brantas, Kabupaten Blitar itu.

"Nanti kalau bisa, pengin selamatan di sini juga untuk Mbah Miran," kata Mahriyeh yang merupakan warga Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang.

Usai berbincang sebentar, Mahriyeh lantas merebahkan tubuhnya yang kurus ke kasur lantai di ruang tengah rumah milik kerabatnya itu.

Ni'ah (57), anak pertama pasangan Mahriyeh-Miran, mengatakan, ibunya baru saja mendapatkan suntikan obat dari petugas medis puskesmas setempat.

"Emak memang sudah kurang sehat sejak sebelum Semeru meletus. Dia batuk dan sesak napas, tapi ini enggak sembuh-sembuh. Mungkin karena ketambahan beban pikiran," ujar Ni'ah.

Dikatakan Ni'ah, ibunya itu kini berharap bisa menggelar tradisi selamatan untuk mendoakan almarhum Miran.

"Mungkin di sini. Atau mungkin nanti setelah kami bisa pulang ke kampung kami di Lumajang, Emak ingin bikin selamatan untuk Bapak," katanya.


Sementara itu, Wagiman (60), suami Ni'ah, mengatakan bahwa hari ini, Jumat, merupakan hari terakhir masa perpanjangan pencarian korban erupsi Gunung Semeru oleh para relawan dan tim SAR.

"Kemarin banjir, jadi pencarian hari terakhir ditunda hari ini," kata Wagiman yang mengaku terus mendapatkan kabar perkembangan dari tetangganya yang bertahan di pengungsian.

Wagiman menyebutkan, sangat kecil kemungkinan jasad mertuanya itu dapat ditemukan. Sebab, ladang padi tempat Miran terakhir kali berada kini telah tertimbun oleh material awan panas Semeru setinggi puluhan meter.

"Letak ladang itu di pinggir aliran lahar Curah Kobokan. Di belakang ladang ada tebing. Letak ladang rendah, jadi kira-kira tertimbun pasir hingga 50 meter tebalnya," jelasnya.

Menjaga padi dari serbuan monyet

Pada Sabtu (4/12/2021) pagi sebelum kejadian bencana awan panas Semeru, Mahriyeh masih mengantarkan bekal makan untuk Miran yang sudah dua hari menjaga tanaman padinya dari serbuan kawanan monyet.

Ladang padi itu letaknya cukup jauh dari rumah mereka. Bagi Miran yang sudah tak dapat berjalan normal karena usia, butuh waktu satu jam untuk tiba di ladang yang lokasinya berimpitan dengan aliran lahar Gunung Semeru.

Biasanya, Miran tidak sendirian menjaga tanaman padi yang tinggal menunggu beberapa hari lagi untuk dipanen. Mahriyeh biasanya menemani Miran menginap di gubuk bambu yang ada di lahan padinya. Apalagi, pasangan kakek nenek itu memang ke mana pun selalu berdua.

Namun, beberapa hari sebelum ada awan panas, penyakit batuk dan sesak napas Mahriyeh kambuh sehingga tidak menemani Miran menginap.

Lalu, ketika mengirimkan bekal makan untuk suaminya, Mahriyeh meminta Miran untuk pulang karena adanya peringatan bahaya banjir lahar dingin akibat curah hujan di lereng Semeru yang tinggi.

"Tapi, bapak tidak mau pulang. Katanya biarkan saja kena banjir. Bukan hanya Emak, saya juga ikut membujuk Bapak untuk pulang saja," kenang Wagiman.

Menurut Wagiman, hasil panen padi dari lahan itu sebenarnya tidak seberapa. Namun, Miran dan Mahriyeh selalu menjaganya supaya tidak merepotkan anak mereka.


Ketika bencana itu datang, Mahriyeh hanya bisa menangis di pengungsian karena tahu Miran tidak akan selamat. Mahriyeh bahkan menyesal tidak dapat menemani Miran di ladang.

Dua malam tinggal di pengungsian di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Mahriyeh lalu dibawa mengungsi ke rumah keluarganya di Blitar.

Meski sempat menolak lantaran belum mendapatkan kabar tentang Miran, Mahriyeh akhirnya ikut ke Blitar karena tidak mungkin menolak ajakan anak-cucunya.

Kini, setelah dua pekan tinggal di rumah Trisna Syafii, kerabatnya di Desa Gogodeso, Mahriyeh mulai merindukan kampung halamannya. Dia ingin melihat apa yang masih bisa diselamatkan dari rumahnya, termasuk barang-barang milik Miran.

https://regional.kompas.com/read/2021/12/17/143431378/meski-berat-mahriyeh-rela-jasad-suaminya-terkubur-material-erupsi-semeru

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke