Salin Artikel

Trauma dan Takut Tidur di Pengungsian, 20 Warga Terdampak Letusan Semeru Pilih Mengungsi hingga ke Blitar

Mereka memilih tinggal sementara di rumah saudara di Kabupaten Blitar, Jawa Timur.

Warga asal Dusun Curahkobokan dan Kajarkuning, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang itu merasa tidak tahan tinggal di pengungsian.

Mereka masih mengalami trauma mendalam lantaran letusan Gunung Semeru pada Sabtu (4/12/2021) lalu.

Dijemput menggunakan dua mobil, 20 warga Lumajang itu tiba di Desa Gogodeso, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar pada Senin (6/12/2021) petang.

"Kami masih trauma dan tidak dapat tidur di pengungsian. Kebetulan adik saya meminta kami ke Blitar saja untuk tinggal sementara di rumah," ujar Slamet Santoso (33), warga Kajarkuning, saat ditemui Kompas.com, Selasa (7/12/2021).

Menurut Slamet, kebutuhan makan dan minum di tempat pengungsian di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro cukup berlimpah.

Namun, ujar Slamet, selama dua malam tinggal di pengungsian, mereka tidak dapat tidur.

Ketakutan akan terjadinya letusan susulan atau banjir lahar selalu membayangi.

"Lokasi pengungsian masih berada di area bahaya. Ketika terjadi banjir lahar, dinding bangunan di lokasi pengungsian sampai bergetar. Banyak dari kami berhamburan lari ketakutan," tutur Slamet.

20 puluh orang itu berasal dari 7 kepala keluarga (KK).

Sebanyak dua KK merupakan warga Dusun Curahkobokan, salah satu dusun terdekat dari puncak Semeru.

Sementara Dusun Kajarkuning berada persis di bawahnya.

Meski berbeda dusun, mereka masih memiliki hubungan kekerabatan.

Slamet mengatakan, mereka memutuskan tinggal sementara di rumah saudara di Blitar karena belum berpikir untuk sekadar melihat  kondisi rumah mereka pascaerupsi.

Trauma pada situasi hari pertama terjadinya letusan Gunung Semeru, kata dia, begitu kuat menghantui mereka terutama para perempuan dan anak-anak.

"Sekarang kami cukup tenang berada jauh dari dusun kami. Tadi malam kami dapat tidur lumayan pulas," ujarnya.

Hal serupa disampaikan Lailatul Jannah (22) dan suaminya Rudi Slamet (24) yang mengungsi bersama satu anak mereka.

Menurut Laila, kebanyakan warga Dusun Kajarkuning dan Curahkobokan sudah tidak ingin kembali lagi ke rumah mereka.

"Tahun lalu pada bulan Desember juga terjadi erupsi Semeru, tapi memang tidak separah ini," ujar Laila.

Slamet yang sehari-hari bekerja sebagai kuli penambangan pasir di sungai aliran lahar Semeru itu tiba di Blitar bersama istrinya, Sumaiyah, dan kedua anaknya.

Trisna Syafii, adik dari Slamet yang merupakan pemilik rumah mengatakan, sementara ini 20 orang itu tidur di dua rumah, rumahnya dan rumah mertuanya, di Desa Gogodeso.

"Ya tidur seadanya di ruang tamu, di ruang dalam, juga di kamar-kamar. Alhamdulillah mereka tenang di sini," ujar Trisna.

Menurutnya, pihak Pemerintah Desa Gogodeso pun sudah datang untuk mendata warga pengungsi itu dan akan menyediakan kebutuhan makan mereka selama satu pekan ke depan.

"Pak Kades sudah sampaikan tadi, paling tidak selama satu minggu ke depan beras dan lauk pauk akan disediakan dari Kantor Desa," ujarnya.

Menurut Trisna, Pemerintah Desa Gogodeso juga sudah meminta bantuan tempat tidur bagi warga pengungsi itu. 

https://regional.kompas.com/read/2021/12/07/145008578/trauma-dan-takut-tidur-di-pengungsian-20-warga-terdampak-letusan-semeru

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke