Salin Artikel

Kasus Sengketa Lahan di Aru dan Upaya Banding Warga Adat Marafenfen

Putusan ini berbuntut penolakan dari warga yang tak terima hingga merusak kantor pengadilan.

Warga juga sempat menyegel secara adat atau disebut dengan istilah sasi sejumlah fasilitas umum seperti bandara dan pelabuhan hingga kantor bupati dan DPRD Aru, termasuk pengadilan.

Penyegelan ini dilakukan sebagai bentuk kekecewaan warga atas putusan hakim.

Kini, bandara dan pelabuhan telah kembali beroperasi, namun hingga Jumat (19/11/2021), kantor bupati dan DPRD Aru masih disegel.

Sengketa Lahan

Berdasarkan keterangan warga Desa Marefenfen, Oca Daelagoy, lahan yang disengketakan warga dengan TNI AL itu ada di Desa Marefenfen, Kecamatan Aru Selatan dengan luas 689 hektar.

"Itu diambil TNI AL pada 1991. Jadi dulu mereka datang langsung ukur patok dan merampas tanah itu," ujarnya.

Saat itu, TNI AL mendatangi desa dan membuat patok.

Beberapa waktu kemudian mereka datang dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan mengukur lahan.

TNI AL kemudian disebut memanipulasi dukungan warga untuk mengakui tanah tersebut milik TNI AL.

Bahkan dari keterangan kuasa hukum masyarakat adat Marafenfen, Semuel Waileruny, TNI AL memanipulasi dukungan 100 warga berupa kesepakatan pelepasan lahan.

Sementara pada dokumen yang digunakan itu tercantum warga yang sudah tidak berada di Aru dan sebagian lagi masih anak-anak.

Bantah Rampas

Pihak TNI AL membantah telah merampas tanah seluas 689 hektar milik warga adat Desa Marafenfen tersebut.

Danlantamal IX Ambon Brigjen TNI (Mar) Said Latuconsina menjelaskan bahwa tanah itu merupakan tanah negara yang sejak dulu sudah disertifikasi oleh negara, dalam hal ini TNI AL.

Menurut Said, persoalan lahan itu justru dipicu warga luar Desa Marafenfen. Sebab, selama ini hubungan TNI AL dengan warga desa justru terbilang baik.

"Ini yang mempermasalahkan (warga) Marafenfen yang mana, marga boleh sama, tapi mereka ini dari luar, bukan orang dari situ, orang-orang yang sudah tinggal di mana-mana lalu dimanfaatkan untuk menggugat tanah itu. Padahal, tanah itu kan sudah bersertifikat dan itu tanah negara,” ungkap dia.

Said mengatakan, pada saat pembuktian di lapangan, warga yang mengklaim tanah tersebut milik mereka juga tidak bisa membuktikan dan menunjukkan di mana batas-batas tanah yang diklaim tersebut.

Ia menuturkan bahwa pada 1991, TNI AL sudah berencana membuat sertifikat tanah tersebut hingga membahas dengan warga setempat.

Said juga membantah pihaknya memanipulasi dukungan masyarakat untuk mengakui status tanah tersebut milik TNI AL.

Tempuh Upaya Banding

Atas putusan tersebut, Semuel berencana mengajukan banding.

“Kita akan tempuh jalur banding untuk proses selanjutnya. Kita juga akan tempuh jalur lain seperti ke konas HAM dan lain-lain karena lokasi yang diambil AL itu sebagai lokasi berkebun lokasi berburu masyarakat,” ungkapnya.

Pihaknya juga akan melaporkan hakim PN Dobo ke Mahkamah Agung karena dianggap telah mengabaikan fakta-fakta persidangan.

Menurutnya, hakim tidak mempertimbangkan bukti dan keterangan saksi yang dihadirkan di pengadilan.

"Kita bisa saja proses pidana dan kita akan proses hakimnya ke Mahkamah Agung. Kita ambil langkah itu," ucapnya.

KOMPAS.com / (Penulis: Kontributor Ambon, Rahmat Rahman Patty | Editor: Phytag Kurniati, Robertus Belarminus)

https://regional.kompas.com/read/2021/11/21/080700378/kasus-sengketa-lahan-di-aru-dan-upaya-banding-warga-adat-marafenfen

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke