Salin Artikel

Bertaruh Nyawa Demi Berburu Harta Karun di Gelapnya Dasar Sungai Musi

PALEMBANG, KOMPAS.com - Wajah Hamid (58) nampak serius sembari memegang selang kompresor bewarna oranye dari atas atap kapal yang sedang berada di tengah Sungai Musi, Kawasan Pulau Kemaro, Palembang, Sumatera Selatan.

Terik matahari di siang hari tak membuatnya turun ke dalam dek kapal untuk berteduh dari sengatan panas yang menembus kulit.

Tak ada jaket, apalagi payung. Hamid hanya mengguling di atas atap kapal menggunakan selembar baju lengan pendek yang lusuh bewarna biru pemberian dari yayasan.

Hampir dua jam lamanya Hamid berada di atas kapal. Mendadak ia menujuk ke ujung kapal memberitahukan kepada kru kapal lainnya agar segera bersiap.

“Naik dari depan,” kata Hamid.

Seketika, gelembung udara keluar dari dalam air sungai musi diiringi dengan munculnya seorang pria menggunakan masker selam.

Tangan kiri pria tersebut lalu memberikan satu besi berbentuk mata tombak bewarna hitam yang masih berselimut pasir. 

Pria ini diketahui adalah putra Hamid bernama Budiman (30).

Ia sudah berada di kedalaman 17 meter Sungai Musi selama dua jam untuk mencari harta karun yang mereka sebut adalah peninggalan Kerajaan Sriwijaya.

Dari kantong Budiman, ia kembali merogoh dan mengeluarkan pecahan keramik bewarna putih.

Dari hasil menyelam itu, Budiman mendapatkan delapan keramik putih berbentuk mangkuk yang sudah pecah serta satu tombak.

“Dari bentuk dan ukirannya, ini keramik dari jaman Dinasti Sung, Dinasti Ming Yuan dan Dinasti Vet generasi ke lima,” sebut Hamid, menjelaskan keramik hasil temuan dari anaknya itu.

Hamid sudah hampir khatam semua nama jenis temuan yang ia cari di Sungai Musi selama ini.

Sebab, ia sudah menjadi penyelam sejak tahun 1990 dan memburu harta karun yang ada di kedalaman 35 meter dari dataran tanah Palembang.

Selama itu, Hamid membawa anaknya Budiman dan enam orang lainnya untuk menyelam.

Dalam satu kru kapal, ada yang bertugas menjaga mesin sedot pasir, serta mengayak pasir dari kedalaman sungai yang dibawa ke atas permukaan.

Sementara, untuk penyelam sendiri disiapkan dua orang yang bekerja secara bergantian.

Kru paling penting sendiri berada di posisi mesin kompresor dan pemegang selang.

Sebab, udara dari mesin kompresor yang biasa digunakan untuk memompa ban mobil ataupun motor, sangat berguna bagi penyelam untuk bertahan di bawah dasar sungai.

Selama berada di dalam air, penyelam akan memberikan kode kepada pemegang selang.

Satu kali tarikan penyelam meminta agar mesin kompresor udaranya dibesarkan, dua kali tarikan agar mesin kompresor udara dikecilkan dan tiga kali tarikan penyelam minta agar dirinya ditarik ke atas.

Bisa dibilang, selama proses pencarian harta karun berlangsung, nyawa penyelam berada di tangan pemegang selang kompresor.

“Jadi memang harus fokus mengetahui kode yang diberikan oleh penyelam,” kata Hamid.

Metode menyelam menggunakan mesin kompresor menurut Hamid sudah termasuk modern.

Sebab, saat ia menjadi penyelam, Hamid hanya bermodalkan bambu yang ditancapkan ke dalam sungai.

Bambu itu nantinya akan ia gunakan sebagai pegangan masuk ke dalam dasar sungai tanpa dibantu oksigen maupun mesin kompresor.

“Kalau dulu hanya (tahan) beberapa menit. Setelah tahun 2000 baru menggunakan mesin kompresor sebagai oksigen dan bisa tahan menyelam satu jam,” ujar dia.

Hamid dulunya adalah penyelam pencari besi tua dan kayu yang ada di dasar Sungai Musi.

Lambat laun para penyelam yang lain banyak menemukan gerabah, keramik, koin, serta emas berbentuk berbentuk cincin.

Hasil penjualan yang menggiurkan membuat para penyelam ini beralih profesi menjadi pemburu harta karun.

“Di tahun 2006 mulai ketemu emas, keramik. Itu dijual ke pengepul harga untuk keramik waktu itu hanya ditukar dengan pakaian, namun seiring waktu keramik itu ternyata bisa jadi uang,” ujar dia.

Satu keramik utuh yang ditemukan Hamid, setidaknya dijual dengan harga Rp 1 juta tergantung bentuk dan ukuran. Sementara, untuk emas dihargai Rp 400.000 per gram. 

Budiman tak memiliki alat profesional dalam menyelam.

Ia hanya menggunakan masker selam yang dibeli bekas serta pemberat menggunakan rantai berukuran besar yang digunakan layaknya tas.

Sebelum masuk ke dalam dasar sungai, Budiman harus memiliki fisik yang sehat.

Bahkan, untuk menjaga kondisi tubuh tetap hangat saat berada di dasar sungai, Budiman hanya memakai minyak urut.

“Di bawah sangat dingin jadi harus pakai minyak ini,” kata Budiman.

Selama menyelam, Budiman tak dapat melihat. Kondisi air sungai yang keruh membuat jarak pandang menjadi gelap.

Ia pun hanya meraba-raba menggunakan tangan kiri yang sudah berlapiskan sarung tangan bangunan warna putih.

Sarung tangan itu digunakan agar kulitnya tak tergores bila tak sengaja menyentuh pecahan keramik ataupun beling dari dasar sungai.

Tak jarang, terkadang kakinya tertusuk pecahan beling maupun besi karena tak menggunakan alas kaki saat menyelam.

“Kalau yang dipegang rasanya menarik baru dimasukkan ke kantong celana, jadi hanya pakai insting saja merab-raba karena di bawah sangat gelap,” ujar dia.

Sekali menyelam, Budiman sanggup berada di dalam air selama dua jam dengan bantuan mesin kompresor sebagai oksigen.

Ia pun juga harus melihat kondisi arus sungai sebelum menyelam.

Bila arus sungai deras, Budiman harus menunda pencarian harta karun.

“Kadang juga tidak dapat apa-apa,” ujar dia.

Selain menyelam ke dalam dasar sungai, Budiman pun membawa selang mesin penyedot pasir.

Pasir hasil sedotan itu nanti akan ditarik ke permukaan dan akan disaring oleh dua orang kru kapal yang lainnya.

Di hari itu, kru kapal yang dipimpin Hamid mendapatkan potongan kepala patung berukuran kecil.

Selain itu, beberapa pecahan keramik dan manik-manik juga didapatkan dari bawah dasar sungai.

“Kalau hari ini alhamdulilah lumayan, tapi kalau untung belum,” tambah Hamid.

Kapal yang digunakan Hamid untuk mencari harta karun tersebut merupakan milik Wisnu (35) yang juga sebagai penyelam dan pengepul harta penemuan di kawasan Sungai Musi.

Wisnu memiliki dua unit kapal yang sudah disiapkan untuk mencari harta karun.

Hanya saja, saat ini cuma satu kapal yang beroperasi karena ia kekurangan kru.

“Sistemnya kami bagi hasil, bila dalam satu kapal ada lima orang maka akan dihitung 6 karena itu termasuk kapal. Hasilnya nanti dibagi rata,” kata Wisnu.

Sebagai pengepul, Wisnu juga banyak mengoleksi barang antik.


Di antaranya adalah cincin emas yang diduga dari zaman peninggalan Sriwijaya sampai dengan ujung tombak.

Tak hanya itu, manik-manik langka juga ia koleksi yang ditemukan dari dasar Sungai Musi untuk dijadikan kalung dan gelang.

“Kalau ini belum dijual tunggu harga yang pas,” kata Wisnu menjukkan satu mangkuk berisi cincin emas hasil temuannya.

Dalam dasar Sungai Musi, para penyelam tak hanya mendapatkan perhiasan maupun serbuk emas.

Beberapa kali arca berbentuk patung juga sempat ditemukan.

Namun, arca dan patung itu sering kali langsung cepat dibeli karena memiliki nilai sejarah yang tinggi.

“Kalau lagi untung ya untung, kalau tidak ya tetap bagi rata hasil temuannya,” ujar dia.

Untuk membuat kapal ternyata harus mengeluarkan uang yang cukup besar.

Satu kapal setidaknya merogoh kocek sebesar RP 40 juta, mulai dari membeli kapal, mesin penyedot pasir dan kompresor serta satu mesin penyedot air.

“Sekali menyelam butuh modal Rp 300.000 untuk membeli solar dan uang makan kru kapal,” ujar dia.

https://regional.kompas.com/read/2021/10/30/162109278/bertaruh-nyawa-demi-berburu-harta-karun-di-gelapnya-dasar-sungai-musi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke