Salin Artikel

Kisah Batik Toeli, Karya Penyandang Tuli yang Tembus Pasar AS Berkat Platform Digital

SOLO, KOMPAS.com- “Saya penyandang tuli,” kata Dian Prymadika dengan gerakan tangan, saat ditemui di workshop Batik Toeli, Laweyan, Solo, Jawa Tengah.

Dian salah satu karyawan sekaligus inisiator Batik Toeli. Anak muda berusia akhir 20-an ini memiliki banyak talenta. Dia bukan saja jago menggambar dan mendesain batik, Dian juga bisa membatik dengan canthing, mewarna, sampai nglorot alias menghilangkan malam pada kain batik.

“Saya belum bisa batik cap,” ujar Dian, lagi-lagi dengan bahasa isyarat.

Selain Dian, ada 3 penyandang tuli yang bekerja di perusahaan batik itu. Seperti Dian, ketiganya belajar secara otodidak. Dua di antaranya malah punya keahlian sebagai penjahit.

Maka, mereka berempat kini bersama-sama membesarkan Batik Toeli.

Perusahaan batik yang berdiri pada 2020, tepat saat pandemi melanda ini, menghasilkan berbagai produk batik tulis, seperti hiasan dinding seperti kaligrafi, tote bag, outer, kemeja pria, baju koko, hingga masker. Produknya dijual di kisaran harga Rp 5.000 sampai yang termahal Rp 250.000.

Sejak awal berdiri, Batik Toeli secara konsisten menggunakan platform digital untuk memasarkan produk-produknya. Selain memiliki akun di Facebook dan Instagram, Batik Toeli juga memperkenalkan produknya di beberapa marketplace, salah satunya Tokopedia.

Menurut Manajer Produksi Batik Toeli Muhammad Taufan Wicaksono, pemasaran digital dipilih karena dinilai bisa menjangkau pasar lebih luas. Apalagi, di masa pandemi dengan ruang gerak yang terbatas, masyarakat lebih senang berbelanja secara online.

Selain itu, dengan 4 karyawan yang seluruhnya tuli, sulit untuk melayani konsumen yang membeli langsung ke toko. Itu sebabnya, di workshop Batik Toeli hanya tersedia beberapa contoh produk. Sisanya, dijual secara online.

Strategi pemasaran Batik Toeli terbukti cukup berhasil. Masker karya para penyandang tuli itu terjual sampai Amerika Serikat. Pembeli di negeri Paman Sam itu melihat produk Batik Toeli lewat marketplace dan memesan 200 potong masker. Harganya berkisar antara Rp 20.000-Rp 50.000 per buah.

Diskusi dengan bahasa isyarat

Keberadaan Batik Toeli tak lepas dari peran Alpha Fabela Priyatmono, pemilik Batik Mahkota Laweyan Solo. Pria yang juga Koordinator Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan itu berdiskusi dengan Dian, yang bekerja di Batik Mahkota Laweyan sejak 2012.

“Dian berdiskusi dengan Pak Alpha, coba mendirikan batik yang isinya disabilitas tuna rungu, sama seperti Dian,” kisah Taufan.

Sejak awal, Alpha memang tertarik dengan kemampuan Dian. Anak muda itu mulai masuk industri batik setelah sang tetangga membawa hasil gambarnya di selembar kertas.

Nyatanya, Dian memang berbakat. Dengan cepat, dia menguasai berbagai proses membatik, mulai dari menggambar desain secara manual hingga berbagai proses lainnya sampai produk jadi.

Menurut Taufan, Alpha ingin mengembangkan potensi para penyandang tuli, sama seperti Dian. Gayung pun bersambut. Satu per satu, penyandang tuli diajak Dian untuk bergabung di Batik Toeli.

Kebetulan, mereka baru kehilangan pekerjaan di masa pandemi ini.

“Di sini kita sama-sama belajar. Teman-teman belajar produksi batik. Ada yang sudah mahir menjahit kami arahkan di bagian jahit,” ucap Taufan.

Proses diskusi di Batik Toeli dilakukan dengan bahasa isyarat. Menurut Dian, motif dan warna batik yang akan digarap didiskusikan dulu dengan Alpha dan rekan-rekannya yang lebih pengalaman membuat batik.

Menurut Taufan, produk-produk yang dihasilkan Batik Toeli awalnya memanfaatkan kain yang tak terpakai di Batik Mahkota Laweyan. Namun, produk-produk seperti busana muslim, masker, dan produk lainnya mulai mendapat tempat di hati masyarakat.

Bahkan, ada pihak yang berminat jadi reseller produk Batik Toeli.

Dalam sebulan, kata Taufan, paling tidak 50 masker dan totebag terjual. Omsetnya memang belum terlalu besar. Namun, menurut Taufan, semua orang yang berkarya di Batik Toeli tengah berproses dan belajar.

 

Perkuat digital

Ke depan, Taufan mengaku akan memperkuat pemasaran secara digital. Dia memulainya dengan memperbanyak stok produk sehingga jika ada pembeli yang berminat, barangnya tersedia dan bisa langsung dikirimkan.

Selain itu, foto produk yang ditampilkan dibuat semenarik mungkin. Dengan demikian, konsumen akan tertarik dan diharapkan memberikan ulasan positif pada toko digital Batik Toeli.

"Kami memang harus serius menggarap digital. Digarap lebih serius lagi," ucap Taufan.

Omzet naik

Direktur Bisnis dan Pemasaran Smesco Indonesia Wientor Rah Mada mengatakan, rata-rata UMKM yang melakukan digitalisasi sedari awal, kini di masa pandemi omzetnya naik hingga 200-300 persen.

Walaupun ada yang turun omzetnya namun UMKM tersebut tetap mampu bertahan.

"UMKM yang lakukan proses digitalisasi dari awal, omzetnya di beberapa produk tertentu justru naik, walaupun ada yang turun di pandemi tapi itu turunnya 20 persen-50 persen, yang pasti enggak ada yang mati," ujarnya dalam webinar UMKM Nasional, Sabtu (28/9/2021), seperti ditulis KOMPAS.com.

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) mencatat, hingga 21 Agustus 2021 sebanyak 15,3 juta UMKM sudah masuk ke platform digital. Realisasi itu melampaui target tahun ini yang direncanakan 13,7 UMKM masuk ke digital.

Adapun pemerintah menargetkan di 2030 sudah sebanyak 30 juta UMKM yang memasarkan produknya secara digital. Secara bertahap, target di 2022 sebanyak 19 juta UMKM dan 2023 sebanyak 24,5 juta UMKM.

"Sampai minggu ketiga Agustus 2021, itu sudah ada 15,3 juta UMKM dan 142 koperasi yang on board (masuk ke digital). Artinya masih banyak yang harus terdigitalisasi untuk mencapai target di 2030," ungkap Wientor Rah Mada.

 Menurutnya, Kemenkop UKM telah memetakan cara untuk mencapai target tersebut. Diantaranya dengan menjalin kerjasama dengan berbagai platform digital.

Selain itu melakukan pendataan seluruh UMKM di Indonesia. Wientor bilang, saat ini data yang pasti dimiliki pemerintah dan telah terkonfimasi sebanyak 15,3 juta UMKM. Saat ini masih ada 28 juta UMKM lagi yang masih dalam proses konfirmasi pendataan.

"Antisipasi kami nantinya akan ada 65 juta UMKM yang datanya akan tersimpan di Kemenkop UKM," imbuh dia.

Tak semata cari untung

Menurut Taufan, Batik Toeli tak semata cari untung. Dia justru mendorong para karyawan penyandang tuli membuka usaha sendiri. 

"Mereka boleh membuka usaha sendiri, di bidang apa saja yang disukai," ujar Taufan.

Bagi Taufan, para penyandang tuli memiliki sejumlah kelebihan. Karena terbiasa bekerja dalam hening, mereka lebih fokus saat bekerja. 

"Kalau karyawan biasanya kan mengobrol saat bekerja, mereka tidak. Sangat fokus dengan pekerjaannya dan cepat sekali belajar," ujar Taufan.

Kebebasan untuk menuangkan kreasi membuat Dian betah berkarya di Batik Toeli. Dia punya keinginan berkarya batik dan berkesenian untuk melestarikan budaya bangsa Indonesia.

https://regional.kompas.com/read/2021/10/25/224804478/kisah-batik-toeli-karya-penyandang-tuli-yang-tembus-pasar-as-berkat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke