Salin Artikel

Dalam Nota Pembelaan, Terdakwa Kasus Korupsi RSUP Sitanala Minta Dibebaskan

SERANG, KOMPAS.com - Terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan jasa cleaning service (CS) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sitanala, Kota Tangerang NA meminta majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Serang untuk dibebaskan.

Selain itu, terdakwa melalui penasehat hukumnya Dwi Heru Nugroho juga meminta pejabat pembuat komitmen (PPK) pada proyek pengadaan jasa kebersihan agar dimintai pertanggungjawabannya dihadapan hukum.

"Kerugian negara yang timbul atas pekerjaan pengadaan jasa cleaning service maka yang bertanggungjawab adalah PPK, PPHP (pejabat penerima hasil pekerjaan) dan penyedia. Terdakwa sama sekali tidak ada dalam tahapan tersebut," kata Dwi saat membacakan pledoi atau nota pembelaannya dihadapan hakim. Kamis (14/10/2021).

Menurut Dwi, kasus dugaan korupsi yang merugikan negara sebesar Rp 655 juta itu tidak lepas dari peran PPK dan PPHP.

Dwi juga menilai bahwa kliennya tidak terlibat dalam kontrak pekerjaan pengadaan jasa kebersihan pada tahun anggaran 2018.

Disampaikan bahwa proses awal pelaksanaan kontrak, penilaian sampai dengan tahap serah terima pekerjaan tidak ada kaitannya dengan terdakwa NA.

"Terdakwa sama sekali tidak pernah terlibat dalam tahapan pasca kontrak mulai dari pembuatan kontrak sampai dengan pelaksanaan," ujar Dwi Heru.

Dikatakan Dwi, keputusan untuk memenangkan PT PBA dalam proses lelang cepat  merupakan keputusan bersama, bukan hanya terdakwa.

Untuk itu, Dwi beranggapan bahwa terdakwa NA tidak terlibat dalam kasus tersebut dan meminta kepada majelis hakim yang diketuai Slamet Widodo untuk membebaskan kliennya.

"Menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan," ucapnya.


Pada sidang sebelumnya, jaksa menuntut dua terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan jasa CS di RSUP dr Sitanala, Kota Tangerang dengan hukuman penjara selama 15 bulan.

Kedua terdakwa yakni NA selaku Anggota Unit Layanan Pengadaan (ULP) di RS tersebut dan YY selaku pengusaha jasa kontraktor.

Keduanya juga dihukum untuk membayar denda sebesar Rp 50 juta subsider tiga bulan penjara.

Dalam dakwaan, perkara bermula dari terdakwa NA sebagai anggota ULP RSUD Dr. Sitanala yang tidak melakukan penilaian kualifikasi, baik melalui prakualifikasi maupun pascakualifikasi.

Selain itu, NA dinilai tidak melakukan evaluasi administrasi, teknis dan harga atas penawaran harga dari tergugat YY untuk pengadaan kegiatan CS di RSUP Dr. Sitanala Tangerang Tahun Anggaran 2018.

Pada saat pengajuan, ada 120 karyawan yang namanya tercatat sebagai CS di perusahaan jasa kontraktor YY.

Namun, nama pekerja tersebut berbeda dengan yang ada di RS Dr Sitanala.

Kemudian, gaji yang diberikan kepada tenaga kerja di RS Dr Sitanala juga tidak sesuai dengan nilai kontrak.

Mereka hanya menerima upah Rp 1.900.000 atau turun Rp 700.000-Rp 900.000 dari nilai kontrak.

Keduanya dianggap sudah bersekongkol untuk mengatur pemenang lelang.

Dengan demikian, kegiatan tersebut bermanfaat bagi YY sebagai pengusaha jasa kontraktor dan menimbulkan kerugian finansial sebesar Rp 655 juta.

Kerugian tersebut berasal dari honorarium, tunjangan hari raya (THR) serta iuran BPJS Ketenagakerjaan, jaminan pensiun, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan tenaga kesehatan BPJS tidak dibayarkan.

Sementara NA, tidak menikmati uang hasil korupsi, tetapi berhasil memenangkan lelang.

https://regional.kompas.com/read/2021/10/14/222909778/dalam-nota-pembelaan-terdakwa-kasus-korupsi-rsup-sitanala-minta-dibebaskan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke