Salin Artikel

UU Keistimewaan, Pintu Masuk Klaim Tanah oleh Keraton Yogyakarta (2)

Tulisan ini merupakan bagian ketiga (terakhir) dari seri tulisan hasil peliputan Kompas.com yang tergabung dalam Tim Kolaborasi Liputan Agraria bersama Tirto.id, Jaring, Suara.com, dan Project Multatuli

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti FKMA Kus Sri Antoro menyesalkan program sertifikasi ulang menjadikan tanah desa di DIY milik kasultanan dan kadipaten.

Dia menilai, program ini bagian dari upaya pengambilan untung melalui penguasaan dan pemilikan tanah oleh kasultanan dan kadipaten.

“Inti dari keistimewaan DIY sesungguhnya adalah upaya kasultanan dan kadipaten mengambil laba melalui penguasaan dan pemilikan tanah. UU Keistimewaan hanya mengatur kasultanan yang dulu tidak bisa memiliki tanah jadi bisa memiliki tanah. Tapi cara mereka seharusnya ikut UUPA,” papar Kus saat diwawancarai secara daring, Rabu (27/1/2021).

Salah satu kerugian yang dialami desa atas kepemilikan tanah oleh kasultanan dan kadipaten, menurut Kus, desa tidak lagi punya kontrol penuh atas tanah itu.

Berbeda ketika tanah desa menjadi milik desa, pemdes bisa maksimal menggunakan tanah itu untuk kesejahteraan masyarakat.

“Negara saat ini tidak bisa menyelamatkan tanah desa dan tanah negara sendiri. BPN sebagai wakil pemerintah pusat di DIY lebih melayani keraton daripada kepentingan publik. Jadi bukan hanya pembiaran, tapi pemerintah juga memfasilitasi,” ujar Kus.

Dia meyakini tujuan sertifikasi ulang tidak hanya sebatas memastikan tanah desa dengan asal usul hak anggaduh merupakan milik kasultanan atau kadipaten.

Dia khawatir, sewa tanah desa tidak lagi masuk ke pemerintah desa, tapi ke kasultanan atau kadipaten. Mengingat yang bisa menarik sewa adalah pemilik tanah, bukan pengelola tanah.

“Dulu tanah desa dalam penguasaan penuh desa. Jika ada PT (perusahaan) masuk desa bikin pabrik, desa bisa menarik pendapatan dari sewa tanah. Kalau nanti bagaimana? Karena desa bukan pemilik atau penguasa tanah desa secara mutlak,” jelas dia.

Belum lagi, jika perjanjian sewa tanah desa dengan pihak ketiga nanti diatur klausul, bahwa bangunan yang berdiri akan beralih menjadi milik pemilik tanah setelah jangka waktu tertentu.


Menurut Kus, kasultanan dan kadipaten tentu akan sangat untung apabila hal itu terjadi.

“Untuk perspektif investasi saja, sudah tidak menguntungkan untuk pemdes, termasuk masyarakat,” jelas Kus.

Kus menduga, sertifikasi ulang tanah desa semakin menguatkan kesan keinginan kasultanan maupun kadipaten memonopoli tanah-tanah di DIY.

Selama ini, prosedur penggunaan tanah desa sendiri sudah harus mendapatkan izin dari kasultanan atau kadipaten.

Dengan begitu, kerabat kasultanan atau kadipaten disinyalir akan lebih mudah memperoleh izin saat ingin memanfaatkan tanah desa di DIY untuk keuntungan pribadi atau golongan.

“Intinya kontrol atas tanah-tanah itu (tanah desa) tidak lagi di pemerintah (desa), tapi di swasta (kasultanan dan kadipaten),” pendapat Kus.

Terkait izin dari kasultanan atau kadipaten, Pergub Pemanfaatan Tanah Desa telah mengaturnya sebagai kekancingan tanah desa.

Dalam Pasal 7 ayat 3 disebutkan, pemanfaatan tanah desa oleh pemerintah desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan izin tertulis dari kasultanan atau kadipaten.

Kemudian ayat (4), izin tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan dalam bentuk Serat Kekancingan sebagai Hak Anggaduh.

Menurut Staf Tepas Panitikismo Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Suryo Satriyanto, tanah desa tidak pernah mendapat kekancingan, tetapi sebatas izin gubernur.

“Tidak (ada kekancingan). Tanah desa dengan izin gubernur. Jadi pegangan penyewa adalah izin gubernur. Untuk keluar izin gubernur perlu rekomendasi dari kasultanan,” kata Suryo saat ditemui di Pasar Kebon Empring, Piyungan, Bantul, Selasa (24/5/2021).

Sementara Pasal 64 ayat (1) disebutkan, bahwa dalam hal Serat Kekancingan sebagai Hak Anggaduh dan sertifikasi tanah desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 11 belum diterbitkan, izin penggunaan tanah desa ditetapkan oleh gubernur.

Tidak menutup kemungkinan kekancingan akan diterbitkan kelak.

“Kekancingan hanya diberikan perorangan yang menempati SG atau PAG. Kalau rekomendasi kekancingan untuk penyewa tanah desa setahu saya belum pernah,” kata Kasie Pengendalian Pertanahan Dispertaru DIY Ajie Mardana, Jumat (28/5/2021).


Namun, dari pengalaman mengurus rekomendasi kekancingan untuk pengguna SG atau PAG, Ajie mengetahui ada uang pisungsung atau retribusi yang harus dibayar pengguna kepada keraton setelah mendapat serat kekancingan.

Penentuan nominal retribusi tersebut menjadi kewenangan pihak keraton.

“Tidak ada pagunya. Saya enggak paham hitungannya,” kata Ajie.

Terkait ada tidaknya nominal pembayaran dari sewa tanah desa oleh pihak ketiga yang masuk kepada kasultanan maupun kadipaten, menurut Kepala Dinas Dispertaru DIY Krido Suprayitno, pergub tersebut belum mengaturnya.

“Memang untuk saat ini dari pihak kasultanan tidak mengatur itu ya (persenan sewa). Walau sebenarnya itu berhak, tapi tidak diatur,” jelas Krido yang telah ditunjuk Gubernur DIY sebagai ketua tim verifikasi untuk melakukan penatausahaan tanah kasultanan atau kadipaten berdasarkan Juknis Nomor 4/Juknis-HK.02.01/2019 buatan Menteri ATR.


Sementara itu, anggota Tim Asistensi Rancangan UU Keistimewaan yang juga anggota Tim Hukum Keraton Yogyakarta, Achiel Suyanto, menilai keliru jika ada pihak yang menganggap UU Keistimewaan dibuat salah satunya agar keraton bisa mengambil kembali tanah yang sudah dimanfaatkan masyarakat, termasuk tanah desa.

Menurut dia, UU Keistimewaan hanya mengarahkan untuk penertiban administrasi tanah milik kasultanan dan kadipaten.

“Begini ya, itu persepsi yang keliru, kalau keraton akan mengambil kembali tanah-tanah. Keraton hanya menata berdasarkan UU Keistimewaan, menertibkan administrasinya,” ujar dia saat diwawancara secara daring, Jumat (3/9/2021).

Meskipun telah disertifikasi menjadi milik kasultanan atau kadipaten, tanah desa tetap bisa dikelola atau dimanfaatkan oleh desa seperti sedia kala

“Pemanfaatan atau penggunaan tanah desa (setelah disertifikatkan menjadi milik kasultanan atau kadipaten) masih digunakan oleh desa. Enggak ada masalah. Cuma desa enggak boleh menjual, tidak boleh meminjamkan kalau tidak ada izin keraton. Kan begitu bahasanya,” papar dia.

Namun, dia membenarkan, UU Keistimewaan sebenarnya tidak pernah mengatur soal penatausahaan tanah desa. Tapi, lanjut Achiel, tanah desa di DIY tidak bisa dilepaskan dari sejarah pertanahan keraton.

Di mana, pertanahan menjadi salah satu kewenangan dalam urusan keistimewaan yang diatur dalam UU Keistimewaan. Penatausahaan tanah desa kemudian diatur dalam Perdais Pertanahan.

“Jangan seolah-olah tanah desa itu punya desa, belum tentu. Wong asalnya desa di DIY dulu juga dari keraton kok. Zaman dulu kasultanan memberikan tanah untuk dikelola desa. Jangan bilang ‘loh ini kan sekarang ada UU Desa’. Iya, desa diatur dalam UU Desa, tapi masalah pertanahan itu bagian dari UU Keistimewaan,” pendapat Achiel.

Dia mengakui, setelah disertifikasi dengan status di atas tanah milik kasultanan dan kadipaten, pemanfaatan tanah desa otomatis akan semakin terkontrol. Kontrol yang dia maksud adalah dari kasultanan dan kadipaten.

“Zaman dulu kan seenaknya. Kadang kalau itu tanah desa, lurah bisa seenaknya menyewakan 30 tahun. Dia (lurah) padahal jabatannya terbatas, tapi kemudian menyewakan ke pihak ketiga selama 30 tahun, bahkan 50 tahun. Itu sudah enggak benar. Nah sekarang ditata, diatur,” ungkap dia.

Saat ini, setiap kali tanah desa mau dikerjasamakan dengan pihak ketiga, maksimal hanya boleh disewa 10 tahun. Setiap 10 tahun sekali perjanjian harus diperpanjang.

“Kan begitu, jadi dikontrol. Kalau dulu kan enggak. Nah ini gunanya tertib administrasi, tertib pertanahannya di DIY,” ujar dia.

Sementara pihak Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/BPN Pusat juga menjadikan UU Keistimewaan sebagai patokan sertifikasi ulang tanah desa di DIY menjadi milik kasultanan atau kadipaten.

Apalagi berdasarkan UU Keistimewaan pula, kasultanan dan kadipaten telah dinyatakan sebagai badan hukum yang merupakan subjek hak yang diakui oleh negara.

“Kami memberlakukan aturan yang ditetapkan UU Keistimewaan. Tanah kasultanan dan kadipaten buat kami di pemerintah pusat tidak harus diperdebatkan,” kata Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (PHPT) Kementerian ATR/BPN, Suyus Windayana saat dikonfirmasi secara daring, Senin (5/7/2021).

Kepala Dispertaru DIY Krido Suprayitno mengklaim bahwa manfaat yang diperoleh masyarakat dari program penyesuaian status hak pakai di atas tanah kasultanan atau tanah kadipaten sangat besar.

Menurut dia, masyarakat mendapat manfaat berupa kejelasan pengelolaan tanah desa oleh pemdes dan ada kepastian terhadap alas hak kepemilikan tanah desa bahwa tanah tersebut adalah milik tanah kasultanan atau kadipaten.

https://regional.kompas.com/read/2021/09/22/223000878/uu-keistimewaan-pintu-masuk-klaim-tanah-oleh-keraton-yogyakarta-2

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke