Salin Artikel

"Merariq Kodeq", Penyimpangan dari Sebuah Tradisi...

LOMBOK, KOMPAS.com - Merariq merupakan salah satu tradisi suku Sasak di Lombok yang memperbolehkan seorang laki-laki membawa lari perempuan untuk dinikahi.

Sayangnya, seiring berjalannya waktu, tradisi merariq ini kerap disalahgunakan segelintir orang untuk menikah dengan pasangan di bawah umur.

Banyak kasus merariq menjadi dalih adat untuk menikahi pasangan di bawah umur. Peristiwa ini biasa dikenal dengan istilah merariq kodeq.

Salah satu kasus terjadi pada Dende (bukan nama sebenarnya, red). Gadis 13 tahun itu terpaksa menerima pinangan dari remaja di desanya berinisial UD (17).

Hidup Dende memang susah. Ia yang tengah duduk di bangku kelas 3 SMP itu hanya tinggal bersama neneknya yang berusia 80 tahun. Mereka tidak mempunyai penghasilan tetap.

Kehidupan Dende dan neneknya hanya disokong oleh kiriman uang kedua orangtuanya yang bekerja menjadi tenaga kerja di luar negeri. Itu pun kadang dikirim, kadang tidak.

Sepanjang pemikiran Dende, perkawinan adalah kunci untuk melepaskan diri dari belenggu kemiskinan.

"Jalan satu-satunya menikah, tak ada pilihan," kata Dende tertunduk, sambil membuat beberapa gelas kopi pahit untuk tamunya, pertengahan Agustus 2021 lalu.

Dende hidup di tengah kawasan hutan kemasyarakatan (HKM) Seteling, Desa Adik Berik, Lombok Tengah.

Dia menumpang di rumah mertua. Dende dan UD suaminya menikah di usia yang sangat belia.

Dende yang masih duduk di kelas 3 SMP putus sekolah setelah merariq dengan UD (17), yang pendidikannya juga terhenti setelah ayahandanya meninggal dunia.

Dende kini hidup sebagai ibu rumah tangga sejak mereka menikah 10 Oktober 2020 lalu.

Suaminya UD, bekerja di ladang cae, memberikan pupuk, menyiram, menjaga dari hama babi hutan.

Ladang itu sendiri bukan miliknya, melainkan bagian dari kawasan hutan kemasyarakatan milik negara.

Ia hanya kebagian untuk mengelolanya saja. Keuntungannya pun dibagi dua.


Kepala Dusun Kumbak Dalam, Abdul Hanan turut hadir dalam proses pernikahan di bawah umur ini.

Ia tidak bisa berbuat banyak. Sebab, itu sudah menjadi keputusan UD dan Dende.

Belakangan, ia memastikan bahwa hubungan keduanya terbilang harmonis. Meski, Abdul tidak sempat meninjau kembali karena lokasi rumah mereka yang jauh di dalam hutan.

"Mereka baik-baik saja, tidak bercerai, suami masih bekerja di ladang," jawab Abdul singkat.

Ketika seorang gadis sudah dibawa merariq atau dilarikan, akan dianggap aib bagi keluarganya jika membatalkan pernikahan.

Persoalan ini tentu menjadi pelik jika gadis tersebut masih di bawah umur.

Menikahi gadis di bawah umur adalah bentuk penyimpangan terhadap tradisi merariq yang sesungguhnya.

Nv, gadis di Lombok Utara berusia 14 tahun, nyaris menikah dengan seorang laki-laki dewasa.

Sulit membayangkan jika itu sampai terjadi pada gadis yang sebenarnya belum cukup paham urusan berumah tangga.

Nv akhirnya tidak jadi menikahi calonnya itu, setelah dilakukan upaya tebelas, atau yang sama artinya dengan dipisahkan.

Ada campur tangan Saraiyah, pendiri Sekolah Perempuan Pelangi di Lombok Utara, sehingga Nv tidak jadi merariq kodek.

Sebelum ijab kabul berlangsung, Nv diselamatkan ke selter dengan alasan dia masih di bawah umur.

Nv sempat menolak untuk dipisahkan, karena merasa malu setelah dibawa merariq.

Saraiyah pun memberikan penjelasan kepada Nv.

Salah satunya adalah meyakinkan Nv bahwa pernikahan di bawah umur dapat berdampak buruk bagi masa depan, baik pria maupun wanita yang menjalaninya.

Selain itu, Saraiyah juga pelan-pelan mengedukasi keluarga Nv bahwa pernikahan di bawah umur dapat dikenakan sanksi pidana.

"Apalagi dia tidak paham apa-apa soal hidup berumah tangga. Karena itu, saya berjuang sekuat tenaga membantunya," kata Saraiyah, saat diwawancarai di rumahnya, Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, awal Agustus 2021 lalu.

Bukan perkara mudah untuk mencegah perkawinan anak seperti kasus Nv. Apalagi, di desa asal Nv di Lombok Utara.

Terkadang, Saraiyah harus berhadapan dengan mereka yang bersikukuh menjalankan pernikahan, dengan dalih adat dan agama.

"Tak jarang saya berdebat dengan tokoh adat dan agama setempat, ketika berupaya mencegah pernikahan, seperti pernikahan Nv," kata Saraiyah.


Merariq kodeq meningkat saat pandemi

Mirisnya, angka kasus merariq kodeq justru meningkat di masa pandemi.

Saraiyah mencatat, di tahun pertama pandemi pada 2020, terdapat 36 kasus pernikahan anak di Kecamatan Bayan, sementara hingga Juli 2021 sudah terjadi 22 kasus pernikahan anak.

Angka itu melonjak dari kasus pernikahan anak tahun 2019, sebanyak 12 kasus.

Faktor ekonomi keluarga, pengaruh media sosial, dan persoalan adat, menjadi penyebabnya.
Temuan Saraiyah, pembelajaran daring juga turut andil menyumbang angka pernikahan anak.

Anak-anak yang tak memiliki gadget atau berada di wilayah yang tak terjangkau internet, memilih belajar bersama dengan kawan-kawannya, yang jaraknya jauh dari rumah mereka.

Terkadang, proses belajar dengan cara tersebut, menyebabkan mereka terlambat pulang.

Ironisnya, anak-anak yang pulang terlambat ini dalam beberapa kasus dianggap sudah berbuat negatif.

Sehingga, tokoh adat dan orangtua anak mengambil langkah yang kurang tepat, dengan menikahkan anak mereka dari pada mencoreng nama kampung.

"Padahal, anak-anak itu telat pulang karena harus belajar daring, yang jadwalnya hingga sore hari, bukan mereka berbuat yang tidak-tidak," kata Saraiyah.

Meski, tidak bisa dipungkiri juga, bahwa ada kasus pernikahan dini yang terjadi karena keinginan anak pelaku merariq kodek itu sendiri.

Karena mereka jenuh di rumah, lama tidak masuk sekolah, ditambah kondisi ekonomi keluarganya yang sulit, mereka beranggapan menikah akan merubah nasib dan menyelesaikan masalah keluarga.


Kasus pernikahan anak meningkat

Data Dinas Pemberdayaaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian penduduk dan keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB menyebutkan, pada tahun 2019, sebelum pandemi terjadi, tercatat 302 kasus pernikahan anak di NTB.

Angka itu meningkat menjadi 170 persen atau 816 kasus di tahun 2020. Sementara, hingga Juni 2021, sudah terjadi 467 kasus pernikahan anak.

“Angka ini berpotensi meningkat di akhir tahun ini, persoalan ekonomi, kejenuhan anak yang tak bisa bersekolah, dan pola asuh anak yang bermasalah, anak-anak tidak merasakan nyaman di rumah, tidak mendapatkan ketentraman, sehingga mereka mencari di luar rumah. Ini faktor penyebab angka pernikahan dini kita terus meningkat di saat pandemi ini," kata Kepala DP3AP2KB NTB, Husnandiaty Nurdin, Rabu (10/8//2021).

Ikuti cerita lengkap seputar tradisi merariq dengan baca di tautan ini: Mengembalikan Merariq...

Berdasarkan laporan dari lapangan, ada kekeliruan dalam penafsiran aturan adat yang disepakati.

Semestinya tokoh masyarakat semisal kepala dusun, tokoh adat dan sebagainya bisa mengembalikan tradisi merariq ke nilai-nilai luhurnya.

https://regional.kompas.com/read/2021/08/31/161100878/-merariq-kodeq-penyimpangan-dari-sebuah-tradisi--

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke