Salin Artikel

Cerita Sukses Petani Muda Kembangkan Porang, Butuh Jaminan Kestabilan Harga (Bagian 2)

MADIUN, KOMPAS.com - Tiga tahun terakhir harga porang terus melejit hingga tembus Rp 14.000 per kilogram untuk umbi basah.

Kondisi itu tentu menjadikan budidaya porang menjadi komoditas pertanian yang menjanjikan bagi petani di Indonesia ke depannya.

Namun, di tengah melejitnya popularitas porang di bumi nusantara, dampak pandemi rupanya berpengaruh pada harga si umbi cokelat.

Harga umbi porang basah di masa panen tahun ini turun merosot tajam hingga Rp 7.000 per kilogram.

Tentunya dibandingkan tahun lalu, harga jual turun hingga 50 persen.

Petani pun mulai gelisah. Apalagi umbi porang basah lama kelamaan akan membusuk bila disimpan lebih dari enam bulan.

Lesunya harga umbi porang disebut-sebut karena keran ekspor ke negeri Tiongkok ditutup sejak pandemi Covid-19 mengglobal.

Hal itu menjadikan stok umbi porang yang berada di Tanah Air melimpah.

“Harga saat ini jauh turun dibandingkan dengan tahun lalu. Informasi karena lagi lesunya pasar global akibat Covid-19,” ujar Yoyok Triono, petani porang asal Desa Klangon, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun kepada Kompas.com, Sabtu (21/8/2021).

Ekspor ke China ditutup

Tak hanya itu, dampak pandemi global juga menjadikan China sebagai negara tujuan ekspor porang terbesar dari Indonesia sementara menutup diri.

Belum diketahui pasti, alasan Negeri Tirai Bambu itu menutup sementara ekspor porang dari Indonesia.

Kendati harga jatuh hingga 50 persen, Yoyok menyatakan petani porang belum merugi. Apalagi, sistem tanam porang modal tidak sebesar komoditas lain.

“Sebenarnya diangka 6.000 petani masih untung. Karena per hektare untuk biaya perawatan dan sebagainya itu cuma maksimal Rp 10 sampai Rp 11 juta saja,” ujar Yoyok.

Lantaran harga umbi turun, banyak petani memilih porang untuk dirajang untuk dijadikan chip.

Petani merajang umbi porang secara manual lalu dijemur tiga hingga empat hari sampai mengering.

Harga chip kering pun berbeda jauh dengan umbi basah. Satu kilogram chip kering porang standar ekspor dijual Rp 60.000 per kilogramnya.


“Sebenarnya kalau dijual untung dalam bentuk chip kering. Namun, harus menggunakan proses rajang dan pengeringan,” ujar Yoyok.

Tahun lalu lantaran harga umbi basah di atas Rp 10.000, banyak petani yang memilih menjual dalam bentuk mentahan.

Terhadap persoalan naik turunya harga porang pasca panen, Yoyok berharap pemerintah membuat kebijakan khusus terkait persoalan harga porang.

Apalagi, sejak bertanam porang, petani mandiri tanpa disentuh fasilitas apa-apa dari pemerintah.

“Berhubung komoditas porang sudah menjadi komoditas binaan kementerian pertanian kami sebagai petani porang harapan kami mungkin ada sarana prasana budidaya hingga pasca panen,” ungkap Yoyok.

Menurut Yoyok, bila hasil panen diserahkan ke pabrik maka yang mendapatkan nilai tambah pengusaha.

Untuk itu, yang dibutuhkan petani saat ini alat pengering agar porang yang dirajang dapat dikering lebih cepat dengan kualitas yang bagus.

Ia juga meminta pemerintah berkoordinasi dengan pemerintah China agar keran ekspor porang lancar lagi seperti biasanya.

“Banyak teman-teman pengepul mengeluh karena keran ekspor tersendat di tujuan china,” ungkap Yoyok.

Jaminan kestabilan harga

Lain halnya dengan Yoyok, Warsito mengungkapkan masalah dihadapi petani porang saat ini adalah harga jaminan dasar produksi untuk porang belum ada.

Kondisi terbukti dengan naik turun drastisnya harga porang di pasaran.

“Padahal, tahun lalu harga Rp 14.000 per kilogram. Sekarang mau Rp 8.000 saja susah. Padahal, rendemen tinggi dan kadar air turun kok harganya masih dikisaran Rp 7.000-an. Kami menginginkan antara petani, pabrik dan pemerintah duduk bersama untuk menentukan harga,” ungkap Warsito.

Adanya patokan harga porang, kata Warsito, menjadikan petani porang tenang. Sebab, naik turunya harga porang akan berdampak pada harga bibit.

Ia pun berharap selain persoalan kestabilan harga, pemerintah membantu inovasi pengembangan porang agar lebih berkualitas.

Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Desa Pajaran, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun, Wisdianto menyatakan, penutupan keran ekspor porang ke China dipicu lantaran belum adanya standarisasi penanaman hingga pemananen porang di Indonesia.


Standarisasi itu diperlukan untuk mengetahui arus hulu dan hilirnya budidaya porang di Indonesia.

“Pihak Tiongkok mengajukan pertanyaan standarisasi budidaya porang sampai pengolahan porang,” ungkap Wisdianto.

Menurut Wisdianto, persoalan itu sejatinya sudah dijawab Kementerian Pertanian kepada pihak China.

Namun, sampai saat ini belum ada jawaban resmi dari pemerintah China.

Terhadap permasalah ini, Wisdianto mengharapkan Dinas Pertanian Kabupaten Madiun segera membuat standarisasi budidaya porang dari hulu hingga hilirnya.

Dengan demikian, petani akan mendapatkan panduan mengembangkan porang agar bagus kualitasnya. (Tamat)

https://regional.kompas.com/read/2021/08/22/145000378/cerita-sukses-petani-muda-kembangkan-porang-butuh-jaminan-kestabilan-harga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke