Salin Artikel

Kisah Gerilyawan Wanita, Sri Ngestoe Padinah, Dipukul Tentara Belanda gara-gara Kelapa

Sebagai remaja perempuan, secara spontan saya telah melibatkan diri dalam pergerakan perang gerilya dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dari upaya pendudukan melalui Agresi  Militer Belanda"

Tulisan tangan Sri Ngestoe Padinah, warga Jalan Kelud Kabupaten Magetan yang lahir pada 4 November 1933 tertata rapi pada sebuah buku catatan yang diserahkan kepada Kompas.com saat mengunjungi kediamannya, Minggu (15/8/2021) siang.

Sri Ngestoe Padinah mengaku tak ingat pasti tanggal berapa bala tentara Belanda masuk ke wilayah Kabupaten Magetan.

Yang jelas di ingatannya saat itu, seluruh warga yang tinggal di dalam kawasan kota berbondong-bondong memilih mengungsi keluar kota.

“Saya bersama seluruh keluarga mengungsi ke desa Ngariboyo yang berada di sebelah Selatan kota Magetan,” ujarnya.

Bergabung dengan kesatuan

Dalam pengungsian itu, Sri Ngestoe Padinah memilih bergabung dengan Kesatuan Detaschement KDM di Desa Pendem Kecamatan Poncol yang berada bawah komando Komandan Dertachemen Lettu Abdul Karim Soesanto.

Abdul Karim adalah anggota pasukan Siliwangi yang tujuan awalnya ke Magetan untuk tugas khusus penumpasan pemberontakan PKI 1948 di Madiun.

Belum selesai melaksanakan tugas menumpas anggota pemberontakan PKI di Madiun, Abdul Karim  harus berjuang melawan Belanda di Magetan dengan mengajak sejumlah relawan seperti dirinya.

Sebagai relawan, Sri Ngestoe terjun untuk membantu Lettu Abdul Karim Susanto menghancurkan bangunan gedung yang ada di Magetan.

Tujuannya agar tidak bisa digunakan oleh pasukan Belanda sebagai markas.

Gedung gedung tersebut dihancurkan dengan menggunakan bahan peledak berupa men (Bom yang berukuran kecil).

Gedung penting  yang dihancurkan pada saat itu adalah gedung pemerintahan, gedung kepatihan yang berada di timur Alun-alun Magetan, kantor bank di utara Alun-alun, serta rumah pegadaian.

Selama bergabung dengan KDM, tugas Sri Ngestoe Padinah adalah mencatat perintah komandan terkait strategi perang yang akan diterapkan.

Dia harus mencatat jumlah granat yang rencananya akan diledakkan serta mencatat lokasi rencana penyerangan

Pada waktu itu tidak banyak orang yang bisa membaca dan menulis. Namun, Sri Ngestoe bisa melakukannya.

“Semua dicatat termasuk di mana granat akan diledakkan karena jumlahnya sedikit jadi harus matang strateginya,” imbuhnya.

Para gerilyawan, kata Sri Ngestoe, terus berusaha menghalangi upaya pasukan Belanda memasuki wilayah Kabupaten Magetan.

Mereka memasangi penghalang baik kayu maupun batang pisang di tengah jembatan Gandong yang langsung menuju Kantor Bupati Magetan saat itu.

Mengetahui strategi yang diterapkan oleh gerilyawan, pasukan Belanda sempat memilih memutardengan melewati jembatan yang tidak dipasangi bom.

“Pada waktu itu jembatan yang dari timur di Carat itu sudah dihancurkan, ternyata mereka tahu dan melambung lewat jembatan di Njawar,” imbuhnya.

Dipukul tentara Belanda gara-gara kelapa

Setelah berhasi memasuki Kabupaten Magetan, beberapa tentara Belanda memilih sebuah rumah penduduk di Desa Bulukerto, tepatnya sebuah rumah di Jalan Samodra Nomor 9 untuk disinggahi.

Rumah tersebut persis berada di depan rumah Sri Ngestoe Padinah.

Sri Ngestoe mengenang, dirinya sering pulang pergi antara rumah dengan tempat pengungsian ketika itu.

“Dulu umur segitu masih dianggap anak-anak, jadi Belanda tidak curiga,” katanya.

Pada suatu hari, pasukan Belanda menembaki pohon kelapa milik orangtuanya dengan senjata otomatis milik mereka.

Rentetan tembakan tersebut membuat seluruh buah kelapa berjatuhan tanpa tersisa.

Sri Ngestoe yang masih muda, tanpa takut memarahi pasukan Belanda. Dia marah karena menyayangkan buah kelapa keluarganya terbuang sia-sia.

“Pada waktu itu saya tidak takut dengan tentara Belanda itu,” ucapnya.

Karena emosi, tiba-tiba tentara Belanda tersebut memukul punggung Sri Ngestoe Padinah  dengan menggunakan senjata otomatis hinga terjerembab ke tanah.

Beruntung tentara Belanda tersebut akhirnya membiarkan dia pergi sambil menahan sakit

“Punggung saya rasanya sakit sekali karena dipukul,” jelasnya.

Serangan yang meleset

Menurutnya, banyak warga Magetan yang memilih mengungsi ke Desa Ngariboyo mencari tempat aman ketika Belanda mulai menduduki Magetan.

Di sebelah barat jembatan Carat yang terputus, pasukan Belanda memasang alat untuk meluncurkan peluru jenis canon yang diarahkan ke Desa Ngariboyo.

Pada saat itu, Desa Ngariboyo yang jauhnya sekitar lima kilometer dari Kabupaten Magetan memang dijadikan markas oleh pasukan gerilyawan Indonesia.

Suatu waktu Belanda meluncurkan peluru canonnya dengan sasaran lokasi markas pejuang dan pengungsian.

Meski sempat meledak, peluru tersebut menyasar ke bangunan masjid yang berada di sebelah barat pengungsian.

“Pelurunya meledak, tapi meleset ke sebelah barat sehingga pengungsi selamat,” kata Sri Ngestoe.

Markas yang selalu berpindah setiap hari

Untuk menghindari serangan canon berikutnya, warga kemudian menyelamatkan diri ke arah barat desa.

Gerilyawan Detachement KDM kemudian menyusun strategi dengan cara mengalihkan posisi markas ke Desa Pendem.

Markas setiap hari memang terus berpindah tempat untuk menghindari serangan Belanda.

“Setiap hari jalan, bahkan kita sampai di perbatasan Wonogiri Jawa Tengah,” katanya.

Secara militer, senjata yang dimiliki pasukan tentara Indonesia dan gerilyawan di Magetan tidak lebih dari satu pucuk pistol untuk komandan, satu sten gun dengan peluru yang terbatas.

Sementara para gerilyawan hanya mempersenjatai diri dengan senjata tradisional seperti bambu runcing, golok, parang dan senjata tajam lainnya.

“Pokoknya apa saja dijadikan senjata,” ujarnya.

KDM bersama gerilyawan terus bergerak dari perbatasan Kabupaten Wonogiri menuju ke Nitikan, Kecamatan Plaosan dan kembali ke Ngariboyo.

Kemudian bergerak lagi ke Desa Kumpulan dan menuju Desa Tamanan.

Dari desa Tamanan, kelompok pejuang bergerak terus ke desa Guyung Kecatan Geneng Kabupaten Ngawi.

“Setiap hari berjalan. Kadang tidak makan seharian tapi tidak ada yang mengeluh lapar. Mikirnya kita bagaimana mengusir Belanda,” ucapnya.


Menuju ke Solo, bergabung dengan pasukan TRIP

Dari Guyung kelompok pejuang  bergeser pindah ke Desa Gentong kemudian bergerak terus ke wilayah Sine.

Dari Sine atau Ngrambe, pasukan bergeser ke arah barat melewati Kecamatan Balong yang berada di lereng sebelah utara Gunung Lawu.

Pasukan terus bergerak ke daerah Batu Jamus dan menuju ke arah utara, mencari tempat penyeberangan agar bisa melintasi Bengawan Solo hingga sampai di daerah Nusukan utara pasar Legi Solo.

“Kita diperintahkan untuk bergabung dengan tentara pelajar di Solo,” kenangnya.

Para gerilyawan yang berjumlah belasan kemudian bermalam di rumah keluarga Bapak Abdul Karim S di Dukuh Gremet, Nusukan, yang berada di belakang stasiun kereta api Purwosari.

Lokasi tersebut kemudian dijadikan markas perjuangan sementara.

Di Solo, gerilyawan dari Magetan bergabung dengan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) Solo.

“Setelah bergabung dengan TRIP, pengetahuan kami  bertambah maju dan paham bagaimana melakukan pertempuran secara gerilya,” ujar Sri Ngestoe.

Selama menjadi anggota KDM dan mengikuti perang gerilya, Sri Ngestoe Padinah mengaku tidak pernah meminta izin kepada orangtuanya.

Dia mengaku berpisah sejauh 6 kilometer dari lokasi pengungsian orangtuanya sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan komunikasi.

Sri Ngestoe Padinah saat ini merupakan anggota Legiun Veteran Kabupaten Magetan yang masih aktif mengikuti sejumlah kegiatan.

https://regional.kompas.com/read/2021/08/17/060000278/kisah-gerilyawan-wanita-sri-ngestoe-padinah-dipukul-tentara-belanda-gara

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke