Salin Artikel

Saat Perempuan Lajang Trauma Periksa Kesehatan Reproduksi, Dicap Dosa hingga Anjuran Menikah Dulu

Pertanyaan itu ditambah ragam pertanyaan lainnya seputar pernikahan membuat beberapa perempuan lajang mendapat pengalaman "traumatis".

Berangkat dari hal seperti itu, seorang dokter mendirikan sebuah gerakan untuk menghilangkan sejumlah stigma yang dilihatnya kerap disematkan staf medis kepada pasien perempuan berstatus belum menikah yang ingin mengakses layanan kesehatan reproduksi atau mereka yang menjadi korban pelecehan seksual.

Melalui gerakan Dokter Tanpa Stigma, dokter Gabriella Sandranila, berupaya mengedukasi rekan sejawatnya untuk memberi pelayanan yang lebih ramah pada perempuan.

Pada bulan April 2021, ia hendak melakukan tes papsmear, atau prosedur untuk mendeteksi kanker leher rahim di sebuah rumah sakit di Malang, Jawa Timur.

Sebagai seseorang yang pernah melakukan hubungan seksual, Nina ingin memastikan dia tidak berpotensi menderita kanker serviks, salah satu jenis kanker yang paling banyak membunuh perempuan Indonesia.

Ketika hendak diperiksa, dokter bertanya kepadanya.

"Dia tanya, 'Mbaknya sudah menikah?' dan aku jawab, 'Belum dok'. Terus dia langsung berhenti dan menatap dengan tatapan yang seolah-olah aku itu kotor gitu," ujarnya.

Alih-alih meneruskan pemeriksaan, dokter itu malah melontarkan sejumlah pertanyaan pada Nina.

"Kenapa melakukan hal yang dosa? Kenapa mau percaya sama laki-laki, bahkan dia bilang, 'Mbak, mungkin melakukan nggak cuma dengan satu laki-laki aja'.

"Dia bilang, 'Mbak, bagi agama saya, organ intim kewanitaan itu adalah mahkota yang paling berharga dan itu hanya bisa kita berikan kepada suami kita yang sah. Kenapa Mbak bisa memberikan itu kepada orang lain yang nggak sah'?"

"Jujur pada saat itu aku down banget kayak yang aku di posisi yang aku nggak bisa ngebantah," ujarnya.

Meski sudah diberi nasihat panjang, Nina mengatakan dia tetap tak diberi tes papsmear yang dimintanya.

Hal yang sama pernah dialami Nada (30), saat ia hendak memeriksakan diri ke dokter kandungan di sebuah rumah sakit di Bekasi, Jawa Barat, karena siklus menstruasinya yang tak normal.

Awalnya, dokter merekomendasikannya melakukan papsmear dan menanyakan apakah ia sudah menikah.

Ketika Nada menjawab ia belum menikah, dokter tersebut menarik rekomendasinya.

"Aku bilang ke dokternya, aku bersedia pap smear karena aku sexually active," ujarnya

Namun, dokter tersebut tetap tak mau memberinya tes itu.

"Kata dokternya, 'Kamu nggak boleh karena kamu belum nikah. Nikah dulu, mbak'," ujar Nada mengulangi apa yang disampaikan dokternya.

Stigma juga kerap disematkan beberapa tenaga kesehatan pada perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, remaja yang mengalami kehamilan tak direncanakan, hingga Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), katanya.

Ia membeberkan penyebabnya.

"Pertama, kurikulum kita [kedokteran] memang tidak ada perspekif gendernya sampai sekarang. Dari dari zaman dulu saya masuk angkatan 2005, sampai sekarang, kurikulum masih sama aja, masih tidak ada perspektif gender," ujar Gabriella yang menyelesaikan pendidikan kedokterannya di Universitas Airlangga, Surabaya.

Alasan lain, ujarnya, adalah karena faktor keyakinan sejumlah staf medis.

"Yang kedua karena itu keyakinan agamanya sangat kuat dan sangat kental sekali di dalam kehidupan sehari-hari individunya.

"Sulitnya tenaga-tenaga medis banyak yang tidak memisahkan itu," katanya.

Akibatnya, mereka bisa saja mencari jawaban atas keluhan kesehatan mereka di tempat yang tidak seharusnya, seperti di internet, atau tempat alternatif lainnya.

Di Indonesia sendiri, menurut data Kementerian Kesehatan, capaian program pendeteksian dini nasional masih berada di 12,5%. Angka itu jauh di bawah target 50% dari yang dibuat pemerintah.

Gabriella mengaku, dulu juga kerap menghakimi pasien, suatu sikap yang kemudian berubah setelah ia secara mandiri belajar soal feminisme dan gender.

Itulah alasan dia membuat gerakan Dokter Tanpa Stigma tahun 2019, yang hingga kini aktif berkampanye di media sosial.

"Akhirnya saya berpikir, apa yang bisa saya lakukan untuk menjembatani antara tenaga medis sama masyarakat atau pasien.

"Karena hal-hal seperti ini, tindakan-tindakan stigmatis diskriminatif atau yang tidak mengenakkan itu biasanya hanya dari pasien-pasien aja. Mereka biasanya kan cuma mengeluh, tapi dari tenaga medisnya silent, kayak nggak terjadi apa-apa," ujarnya.

Gerakan yang diasuhnya, selama pandemi banyak mengadakan kegiatan diskusi atau webinar, yang mengajak pihak perwakilan masyarakat, termasuk yang oleh Gabriella disebut sebagai kelompok yang sering "dimarginalkan", dan kalangan dokter.

Mereka bersama-sama membahas topik yang sering dianggap tabu, seperti menstruasi hingga hak kesehatan seksual.

Hal senada diutarakan Putri Widi Saraswati, dokter yang juga peneliti kesehatan reproduksi.

Bias gender di kalangan staf medis, yang disebutnya dibentuk oleh masyarakat, perlu dikikis mulai dari pendidikan.

"Cara berpikir, cara memandang, lensa yang dipakai itu sudah dibentuk dari pendidikan. Jadi yang diubah memang harusnya dari sistem pendidikan lebih dulu dan dunia kerjanya.

"Bagaimana caranya kita menyadari dan memutus bias-bias itu," kata Putri.

Gabriella sadar mengubah sesuatu secara sistemik memang tak mudah.

Namun, melalui gerakan yang dibuatnya, ia berharap dapat membuat sedikit perbedaan.

"Kalau melihat cita-cita yang saya harapkan, yakni perubahan secara sistemik itu masih jauh banget.

"Tapi, kalau sekadar melihat bahwa saya bisa memberikan edukasi konten-konten, yang tidak hanya mencerahkan masyarakat, tapi juga minimal membuat tenaga medis sadar bahwa ada sesuatu yang tidak pas dengan pendidikan kami, saya rasa itu kemenangan-kemenangan kecil yang bisa saya rayakan," ujarnya.

Mereka juga tak diperkenankan mempermasalahkan masalah pribadi pasien, katanya.

Maka itu, ia menyebut dokter-dokter yang tak memberi layanan kesehatan sebagaimana mestinya itu sebagai "oknum".

"Pada prinsipnya itu ada aturan-aturan yang memang mengatur semua anggota. Jadi jangan takut memeriksakan diri ke dokter.

"Jangan juga berpikir semua dokter itu sama," ujarnya.

Ketika pasien mendapat perlakuan yang tak semestinya, kata Ulul, mereka juga berhak melaporkan dokter tersebut ke majelis kedokteran agar hal itu bisa ditindak.

Apa yang harus dilakukan pasien yang mendapat stigma?

Peneliti kesehatan reproduksi, Dr. Putri Widi Saraswati mengatakan pasien butuh untuk tak gentar dalam menuntut hak mereka.

"Ketika kamu didiskriminasi, sebisa mungkin, berusaha untuk tidak gentar karena kamu nggak salah, yang salah itu yang ngasih stigma dan diskriminasi.

"Sebagai pasien, kamu berhak mendapat layanan, terlepas dari menikah atau tidak menikah, identitas seksual, orientasi seksual, kamu berhak dapat layanan sesuai kebutuhan kamu," ujar Putri yang kini menempuh pendidikan master kesehatan publik di Belanda.

Kembali ke Nada dan Nina, keduanya mengambil jalan berbeda terkait cara menuntut hak sebagai pasien.

Nada telah memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter lain.

"Di RS yang lain itu untungnya dokternya ramah dan tidak judgmental," ujarnya.

Namun, Nina, yang dihujani pertanyaan dan ceramah tentang 'dosa', masih trauma dengan pengalamannya dan belum mau memeriksakan kesehatannya lagi.

"Semoga kondisiku benar-benar sehat luar dan dalam. Semoga nggak ketemu dokter itu lagi atau dokter lain yang seperti itu.

"Semoga dokter itu bisa tahu tugasnya dia itu apa, bukan untuk mencampuri kehidupan pribadi orang lain," pungkasnya.

https://regional.kompas.com/read/2021/07/23/112000978/saat-perempuan-lajang-trauma-periksa-kesehatan-reproduksi-dicap-dosa-hingga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke