Salin Artikel

Menanti Vaksin untuk Komunitas Marginal, Transgender: Saya Merasa Tak Diperhatikan Pemerintah

Banyak dari mereka yang tak memiliki kartu identitas, sementara pemerintah menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai basis data penerima vaksin. Perlu pendekatan berbeda untuk kelompok marginal, kata ahli epidemiologi.

"Saya merasa tidak diperhatikan pemerintah. Tidak pernah ada arahan ke kelompok LGBT soal vaksin. Padahal saya pengen banget divaksin biar merasa aman," begitu curahan hati Elsa Fadia, seorang transpuan yang tahun ini berusia 51 tahun.

Elsa tinggal di Depok, Jawa Barat. Sehari-hari dia bekerja sebagai perias pengantin. Tapi karena pandemi Covid-19, panggilan untuk mendandani mempelai nihil.

"Terakhir saya merias pengantin awal tahun 2020. Untungnya saya sudah selesai merias, soalnya diserbu Satpol PP. Itu makanan habis dilemparin yang punya hajatan, marah. Soalnya dia sudah minta izin ke RT/RW."

"Di Depok ketat banget aturan hajatan," ujarnya kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Untuk merias, Elsa bisa mengantongi paling banyak Rp 6 juta sebulan, tapi kini ia bertahan hidup dengan membuka salon kecil-kecilan. Penghasilannya jadi tak menentu, tergantung jumlah pelanggan yang datang.

Itu mengapa ia sangat berharap pada program vaksinasi Covid-19 gratis yang disokong pemerintah.

Setidaknya kalau sudah divaksin, katanya, dia merasa aman untuk bekerja lagi jika ada panggilan merias.

"Pengenbanget divaksin, biar tenang. Apalagi saya ada penyakit diabetes. Tapi kita nggak ada pemberitahuan dari pemda, di mana dan kapan dapat giliran vaksin."

Tak cuma Elsa yang berharap. Hampir 60-an transpuan di Depok juga kerap bertanya-tanya, apakah mereka bakal menerima vaksin atau tidak?

Banyak transpuan di Depok tidak punya kartu identitas kependudukan (KTP). Sementara, untuk mendapatkan vaksin Covid-19, pemerintah berpegang pada data Nomor Induk Kependudukan (NIK).

"Kalau lagi kumpul-kumpul main voli, pada curhat... 'Bagaimana ya kita nggak pernah ada penyuluhan vaksin'," kata Elsa menceritakan keresahan kawan-kawannya.

"Jadi serba salah, kita nggak divaksin, nggak bisa ke mana-mana."

Kerisauan itu bertambah dengan sikap Wali Kota Depok, Mohammad Idris, yang merazia lokasi LGBT berkumpul.

Ketua Persatuan Waria Semarang (Perwaris), Silvy Mutiari, bercerita, dari 110 anggota yang terdaftar di organisasinya baru 11 transpuan lansia yang telah tuntas divaksinasi.

Sementara jumlah transpuan lansia di situ ada 27 orang. Adapun sisanya, transpuan usia produktif, satu pun belum ada yang divaksin.

Kendalanya serupa, banyak yang tak punya KTP dan tak ada informasi lebih lanjut dari pemda kapan divaksinasi.

"Makanya saya lagi cari orang Pemda Semarang yang bisa membantu untuk vaksin teman-teman waria," imbuh Silvy sedikit mengeluh.

"Kalau begini, kita merasa terabaikan. Dulu sebelum Covid-19 program HIV/AIDS lancar di komunitas waria. Kok untuk vaksin tidak begitu?

"Soalnya kalau kita sendiri ke tempat vaksinasi mandiri, kadang banyak orang masih menstigma. Itu kan membuat antusiasme teman-teman waria jadi hilang."

Transpuan berusia 40 tahun yang berprofesi sebagai perias pengantin ini sangat berharap pemda memperhatikan mereka. Sebab selama pandemi, mereka masih bekerja dan beberapa khawatir tertular virus corona.

"Yang waria usia produktif kan mobilitasnya tinggi, sering ketemu laki-laki karena open BO [prostitusi]. Itu kan lebih rentan tertular. Kalau lansia kebanyakan sudah di rumah."

Apalagi jumlah mereka di Indonesia cukup banyak, yakni sekitar dua sampai tiga juta orang.

"Katakanlah dari 3 juta, 20% masuk kategori lansia dan komorbid. Itu kan artinya cukup berkontribusi dalam program vaksinasi. Tidak boleh terabaikan oleh pemerintah," ungkap Dicky Budiman saat dihubungi BBC News Indonesia.

"Data epidemiolog juga menunjukkan usia 50 tahun ke atas ini sangat dianjurkan vaksinasi karena kondisinya riskan, berkontribusi pada kesakitan dan kematian."

Pemerintah Indonesia, menurut Dicky, harus mempermudah syarat administrasi bagi kelompok marginal. Caranya, mengganti syarat KTP dengan data identitas berisi nama, tempat tinggal, dan usia.

Ia juga mengusulkan agar pemerintah menggaet "kader khusus" yang berbeda dengan petugas puskesmas.

"Ada kader penjangkau. Karena ada beberapa kelompok tidak bisa diraih pemerintah dalam mekanisme formal," kata Dicky.

"Seperti program HIV/AIDS kan tidak menggunakan orang puskesmas. Kalau petugas puskesmas, mereka berpatokan pada kartu identitas."

Itu sebabnya dia menyarankan kelompok LGBT agar segera mengurus KTP.

"Saya rasa semua penduduk Indonesia punya NIK. Terlepas dari status gendernya apa, dan itu merupakan kewajiban sebagai warga negara. Jadi kalau ada yang belum punya KTP, silakan diurus di kantor dukcapil," ujar Nadia kepada BBC News Indonesia.

Anjuran berkali-kali Nadia agar segera membuat kartu identitas, tak lepas dari program vaksinasi tahap tiga yang dimulai bulan Juni dengan sasaran 140 juta masyarakat rentan semisal warga miskin di lingkungan padat dan kumuh, orang dengan gangguan kejiwaan, dan penyandang disabilitas.

Tapi bagaimana dengan transpuan? Nadia menjelaskan, mereka masuk dalam kategori masyarakat rentan.

"Waria sama dengan masyarakat lainnya, tidak ada bedanya," katanya menegaskan. "Dari segi kesehatan semua orang diterima untuk mendapatkan akses kesehatan."

Banyaknya transpuan tidak memiliki kartu identitas karena mayoritas dari mereka memilih pergi dari rumah atau diusir keluarga yang menolak keberadaan mereka ketika usia mereka masih sangat muda.

Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil di Kementerian Dalam Negeri berjanji untuk membantu kelompok transpuan dalam membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik.

Hal itu untuk mempermudah komunitas tersebut dalam mengakses layanan publik dan program bantuan sosial pemerintah.

Pada Rabu (2/6/2021), sebanyak 29 orang transpuan yang telah mempunyai NIK dibantu untuk pencetakan KTP elektronik dalam sebuah acara simbolis di kantor Disdukcapil Tangerang Selatan.

"KTP ini adalah hak mendasar bagi tiap warga negara. Kami sangat mengapresiasi terobosan yang dilakukan oleh Dukcapil dalam pembuatan kartu identitas bagi transpuan," ujar Hartoyo, Ketua LSM Suara Kita.

Namun begitu seorang transpuan di Depok, Jawa Barat, Audi Manaf, berharap agar kebijakan ini diturunkan hingga ke tingkat kabupaten/kota. Setidaknya kata dia, dinas Dukcapil di tiap-tiap daerah mengikuti arahan tersebut.

"Kami butuh regulasi dari pusat ke daerah untuk dipermudah," ungkap Audi kepada BBC News Indonesia.

Hingga saat ini, sambung Audi, sebanyak 60-an transpuan di Depok belum memiliki KTP lantaran tak ada aksi 'jemput bola' dari Pemkot.

Artikel ini diperbarui pada Jumat (4/6/2021) untuk menambahkan peristiwa pencetakan KTP elektronik bagi sejumlah transpuan yang didukung Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil di Kementerian Dalam Negeri dalam sebuah acara simbolis di kantor Disdukcapil Tangerang Selatan, pada Rabu (2/6/2021).

https://regional.kompas.com/read/2021/06/09/060700878/menanti-vaksin-untuk-komunitas-marginal-transgender--saya-merasa-tak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke