Salin Artikel

Mengapa Emosi Pemudik Bisa Meledak-ledak di Muka Umum? Ini Kata Psikolog

Salah satunya seorang wanita yang mengamuk ke petugas karena diminta untuk putar balik di pos penyekatan simpang Jalan Lingkar Selatan, Ciwandan, Kota Cilegon.

Wanita yang hendak ke Anyer ini sampai memaki petugas. 

Menurut pakar psikologi Universitas Padjadjaran (Unpad), Ahmad Gimmy Pratama, kondisi ini diakibatkan sejumlah faktor.

“Dalam psikologi, marah itu adalah perilaku. Jadi, semua yang berkaitan dengan perilaku bisa dilihat latar belakangnya,” ungkap Gimmy saat dihubungi, Rabu (19/5/2021).

Kepala Departemen Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Unpad tersebut menjelaskan, perilaku marah seseorang dilatarbelakangi aspek personal dan lingkungan.

Di aspek personal, marah dipengaruhi sistem psikofisiologis. Mulai dari tingkat ketahanan fisik hingga kemampuan berpikir, mengelola emosi, serta kemampuan individu dalam membaca nilai-nilai yang ada di sekitar.

Sementara aspek lingkungan, perilaku marah dipengaruhi kondisi lingkungan sekitar, cuaca, hingga reaksi lingkungan sosial maupun lingkungan fisiknya.

Jika dikaitkan dengan peristiwa pemudik yang marah-marah saat ditegur polisi, itu diakibatkan luapan emosi yang mengendap saat pemudik melakukan perjalanan.

Kondisi lalu lintas yang macet ditambah fisik lelah dan cuaca panas akan membuat emosi seseorang mengendap.

Sehingga ketika menghadapi hambatan selanjutnya, emosi yang mengendap tersebut bisa meledak.

“(Pemudik) mengalami frustasi. Adanya kebijakan penghambat akhirnya frustasi menimbulkan agresi dan menimbulkan kondisi yang tidak menyenangkan,” papar Gimmy.

Meski demikian, marah juga dipengaruhi kemampuan individu mengendalikan dirinya. Karena itu, tidak semua orang akan langsung marah saat menemui kondisi serupa.

Selama aspek rasionalnya masih ada, kemampuan orang dalam mengendalikan emosinya akan lebih baik.

Hukuman sosial

Gimmy menyayangkan tindakan pemudik yang marah hanya berakhir dengan permintaan maaf. Hal ini tidak membuat seseorang menjadi lebih matang dan jera.

“Sebetulnya perlu dikendalikan dan diberi punishment (hukuman),” kata Gimmy.

Ia menjelaskan, sanksi yang diberikan tidak perlu dilakukan hukuman kurungan penjara. Namun, sebaiknya diberi sanksi sosial.

Polisi sebaiknya melakukan pendekatan restorative justice atau pendekatan yang menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan atau keseimbangan bagi pelakunya.

“Jangan hanya minta maaf lalu selesai. Harusnya ada hukuman sosial, seperti bersih-bersih kantor polisi atau kerja sosial lainnya. Biar orang melihat bahwa pelaku tersebut dihukum,” ujarnya.

Efek jera harus diberikan kepada pelaku. Ini karena reaksi marah berlebihan akan berdampak buruk. Salah satunya jika reaksi tersebut dilihat langsung oleh anak kecil.

Dosen yang memiliki keahlian di bidang psikoterapi dan psikologi positif ini menjelaskan, anak yang melihat langsung orangtua ataupun orang dewasa mengeluarkan reaksi marah berlebih akan diikuti ketika ia dewasa.

“Kalau anak kecil melihat reaksi-reaksi tersebut, maka nanti dia akan berpikir bahwa kalau kesal boleh demikian. Itu yang mengkhawatirkan,” tuturnya.

Mengelola kemarahan

Perilaku marah bisa dikelola dengan baik. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengenali situasi dan menyiapkan tindakan antisipasi.

Pandemi Covid-19 mendorong seseorang harus bisa menyiapkan sejumlah tindakan antisipatif. Salah satunya menerima adanya kebijakan pembatasan mobilitas.

Dengan mengenali situasi dan menyiapkan tindakan antisipasi, diharapkan emosi yang keluar akan jauh lebih layak.

Jika emosi berlebihan telanjur keluar, seseorang perlu menyampaikan permintaan maaf. Namun, permintaan maaf tersebut perlu dibarengi dengan konsekuesi yang harus ditanggung.

“Harus diperlihatkan bahwa tingkah laku tersebut adalah salah dan perlu menerima konsekuensinya,” kata Gimmy.

Terakhir, seseorang perlu membiasakan diri untuk mampu mengungkapan emosi dengan cara yang pantas.

Namun, hal ini tidak bisa secara instan. Butuh proses yang panjang dan komitmen tinggi untuk bisa mengelola emosi dengan baik.

Bahkan, Gimmy menganjurkan agar proses kelola emosi ini sudah dilatih sejak dini.

“Biasakan untuk berpikir apakah marah ini benar atau tidak. Itu yang harus dilatih dan tidak bisa serta merta langsung pintar,” ujar dia.

https://regional.kompas.com/read/2021/05/19/091245778/mengapa-emosi-pemudik-bisa-meledak-ledak-di-muka-umum-ini-kata-psikolog

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke