Salin Artikel

Bermain Meriam Long Pring, Cara Bocah di Bukit Menoreh Habiskan Waktu Selama Ramadhan

Bocah-bocah di pegunungan Bukit Menoreh memainkannya di tengah berpuasa menjelang Sabtu (17/4/2021) siang.

Terlihat empat bocah sebaya belasan tahun terlihat bergembira di tebing belakang rumah Susanto (42) di Pedukuhan Watubelah, Kalurahan Sidomulyo, Kapanewon Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ada Yoga (15), Isnanto (16) dan Fian (13). Ketiganya sebaya satu SMP di Pengasih. Satu bocah lagi bernama Reihan (12) pelajar kelas lima SD.

Mereka tersamar di antara pohon-pohon singkong dan tumbuhan pakan ternak yang tumbuh lebat di tebing itu.

Sesekali terdengar letusan kencang yang mengejutkan. Begitu kencang sehingga letusan terdengar menggema seolah dari bukit di seberangnya.

“Ini long pring,” kata Fian yang bernama lengkap Nasywa Adis Safian. Long Pring adalah nama lokal meriam bambu di kalangan mereka.

Meriam long pring bikinan Fian dan ketiga temannya dari bambu sebesar sepelukan. Panjangnya hampir dua meter. Bambu itu kering dan ada retak rambut karena begitu kering.

Mereka mengawali membuat meriam di halaman depan rumah Susanto, ayah dari Fian.

Keempat bocah itu membuat meriam dalam waktu singkat sebelum tengah hari, mulai dari melubangi sumbu, menembus buku bagian dalam bambu, mengikat bambu dengan kawat agar tidak mudah retak saat meriam meletus. Rencananya bikin dua meriam.

Alhasil, meriam ini bisa dimainkan setelah tengah hari hingga menjelang buka puasa.

Fian menceritakan, semua berawal jauh sebelum puasa. Mereka sejak awal memang ingin membuat meriam suara ini bila bulan puasa tiba.

“Memang ingin bikin long pring sebelum puasa. (Rencananya) pertengahan puasa dan akhir puasa, pas Hari Raya. Semuanya cari bambu,” kata Fian.

Isnanto menceritakan, sudah enam kali membuat meriam serupa bahkan sejak kelas lima SD. Ia belajar dari orang-orang yang lebih tua di masa lalu.

Tidak sulit membuat long pring, kata Isnanto.

“Besoke padha golek pring kae. Cerakan arep omah, diketoki, gawe long pring. Terus tiru-tiru kabeh. (Sinau soko) wong gedhe-gedhe,” kata Isnanto.

Ia menceritakan bagaimana dulunya orang-orang yang dewasa yang memulai dengan mencari dan memotong bambu dekat rumah untuk membuat long pring.

Sejak itu, semua orang ikut melakukan hal serupa.

“Suarane seru-seru. Pendhak poso dan arep bodho (suara letusan itu keras. Biasa dilakukan di bulan puasa dan menjelang Hari Raya),” kata Isnanto kemudian.

Pedukuhan Watubelah berada di dataran tinggi. Ada sungai mengalir sepanjang tahun dekat rumah Fian dkk. Suara air mengalir terdengar dari jauh.

Watubelah jadi salah satu perlintasan alternatif orang ke berbagai obyek wisata Kalurahan Jatimulyo di bukit bagian atas, seperti obyek wisata air terjun Kedung Pedut di atasnya.

Jalan aspal ke sana terasa kecil, sempit, banyak kelok dan tanjakan maupun turunan ekstrem.

Tidak banyak kendaraan lewat jalur alternatif ini sehingga suasana pedukuhan terasa tenang. Karena itu, suara letusan long pring terdengar sampai kejauhan.

Semua berawal dari berburu bambu. Fian dkk menemukan bambu di pedukuhan lain yang lebih tinggi lokasinya di Perbukitan Menoreh.

Mereka mengendara dua motor di jalan menurun aspal desa di kawasan Kalurahan Sidomulyo, Kapanewon Pengasih.

Masing-masing yang membonceng membopong satu buluh bambu sekitar 2 meter yang besarnya sepelukan.

Sesampainya di rumah Fian, mereka cekatan mengerjakan long pring itu.

Fian, sebagai tuan rumah, menyedikan perkakas seperti linggis, gergaji, pisau, palu dan pahat. Temannya yang lain mencari kayu untuk menyodok buku-buku bagian dalam bambu.

Ada juga yang kebagian tugas membeli minyak tanah hingga kawat.

Modalnya tidak banyak. Mereka merogoh kocek untuk beli minyak tanah sebagai bahan bakar dan kawat untuk mengikat dinding meriam dari tekanan letusan.

Tidak banyak pula energi dikeluarkan untuk membuatnya.

Mereka lantas membawa long pring ke bukit di belakang rumah. Alasannya, suara yang dihasilkan kerap mengganggu tetangga yang punya anak kecil.

“Takut membangunkan anak tetangga,” kata Fian.

Warni (32), ibu dari Fian, menceritakan kalau anak-anak itu berencana membuat meriam bambu sejak lama.

Mereka sebenarnya anak-anak sebaya di Sidomulyo yang hari-hari bermain di rumahnya.

Kebetulan, rumahnya menyediakan WiFi. Anak-anak itu sering berkumpul untuk main internet dan belajar.


Di waktu senggang, mereka mengisi dengan bermain badminton, berenang di sungai, atau berjalan-jalan.

“Sekarang mereka bermain long pring,” kata Warni.

Warni mengatakan, dirinya mengizinkan anak-anak itu bermain meriam bambu namun dengan sejumlah syarat.

Mulai dari tidak dekat dengan tetangga hingga harus hati-hati karena risiko memainkannya.

“Saya suruh mainnya di atas bukit saja,” kata Warni.

Permainan tradisional ini dikenal dengan istilah berbeda di daerah lain, seperti bedil bambu, mercon bumbung, long bumbung, dan lainnya.

Permainan ini lebih banyak dimainkan oleh anak – anak laki-laki. Jamak ditemukan saat puasa, menjelang hari raya, dan peringatan hari besar agama maupun adat di berbagai belahan Nusantara, termasuk di bulan puasa kali ini.

https://regional.kompas.com/read/2021/04/19/081042278/bermain-meriam-long-pring-cara-bocah-di-bukit-menoreh-habiskan-waktu-selama

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke