Salin Artikel

Kisah Tan Deseng Si Maestro Musik Sunda: Walau Dapat Penghargaan 2 Presiden, Hidupnya Berpindah-pindah Tak Punya Rumah (1)

Ada seniman, kerabat, hingga orang-orang yang ingin mendengarkan cerita Tan Deseng tentang sunda dan musik sunda.

Itulah Tan Deseng. Ketika berbicara soal Sunda, ia begitu bersemangat. Ia bahkan lupa dengan usianya yang tak lagi muda. Jangan heran bila ia mengobrol berjam-jam hingga Subuh.

"Dadanguan, tingalian, letah abdi sunda. Soalna abdi mah urang sunda, jalmi nu aya di sunda, mung kaleresan kolot abdi China, (Pendengaran, penglihatan, lidah saya Sunda. Saya orang Sunda, orang yang ada di Sunda, cuma kebetulan orangtua saya China," ujar Tan Deseng kepada Kompas.com.

Tan Deseng lahir di Tamim (sekitar Pasar Baru Bandung), 22 Agustus 1942. Sang ayah, Tan Tjing Hong merupakan pengusaha, shinse, dan seniman lukis yang bisa memainkan sejumlah instrumen musik.

Dari 8 anaknya, Tan Deseng dan kakaknya, Tan De Tjeng yang tertarik pada dunia seni.

Menitikkan air mata saat dengar lagu-lagu Sunda

Tan Deseng mengatakan, sebagai orang Sunda tidak ada yang aneh ketika ia memperdalam seni sunda. Malah akan aneh jika ia mempelajari kesenian China.

Ayah dari tiga anak ini kemudian menceritakan bagaimana ia jatuh cinta pada musik Sunda. Itu karena ia hidup di tanah Sunda, mendengar tetangga hingga temannya bermain musik Sunda sejak usia 4 tahun.

Di usia ke-12, ia mulai serius mendalami musik Sunda. Bahkan saat ia berusia 16 tahun di Palembang ia menitikkan air mata begitu mendengar lagu-lagu sunda di RRI (Radio Republik Indonesia).

Saat itu ia bertekad untuk lebih mendalami musik sunda. Ia belajar dari banyak orang. Mulai dari tetangga hingga para maestro kesenian Sunda.

Seperti belajar waditra (instrumen) musik sunda dari Adjat Sudrajat atau Mang Atun. Belajar kecapi dan suling dari Evar Sobari, Mang Ono, Sutarya, dan dalang Abah Sunarya (ayah dari dalang kenamaan Asep Sunandar Sunarya).

Kemampuannya pada musik sunda terutama karawitan terus berkembang. Tak heran jika ia banyak tampil di panggung dalam maupun luar negeri. Seperti Jepang, China, Thailand, dan lainnya.

Tan Deseng orang yang pertama kali merekam pagelaran dalang Abah Sunarya. Kemudian pesinden kondang Titim Fatimah. Lalu ada Euis Komariah, Tati Saleh dan lainnya.

Ia pula yang memperkenalkan 'ketuk tilu' yang menjadi dasar jaipong melalui pita rekamannya yang digarap bersama pemusik-pemusik rakyat dari Karawang.

Rekaman yang kini menjadi artefak budaya tersebut dilakoninya sejak tahun 1950-an. Ia mempelajarinya secara otodidak dengan modal yang seadanya.

"Rekaman ini (seolah) berjalan dengan ajaib, karena saya tidak punya uang," ucap dia.

Bahkan peralatan perekaman yang dimilikinya saat ini merupakan pemberian Titim Fatimah tahun 1970an. Saat itu Titim membelinya seharga Rp 70 juta (kini miliaran).

Titim merupakan sinden kenamaan. Untuk menonton pagelarannya, orang-orang rela berjalan hingga 40 kilometer. Titim kemudian menjadi acuan para sinden sesudahnya.

Hasil rekaman Tan Deseng dari tahun 1950-an kini menjadi harta karun tak ternilai harganya. Bahkan bisa dibilang, rekaman tersebut merupakan artefak budaya.

Dapat penghargaan dari Presiden Mega dan Presiden SBY

Kecintaan dan upaya Tan Deseng melestarikan budaya Sunda berbuah penghargaan dari berbagai pihak. Seperti wali kota Bandung, gubernur Jabar, dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.

Lulusan SMP Tsing Hoa ini pun menerima penghargaan dari Presiden Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Ia mendapat Anugrah Maestro Seni Budaya Sunda.

Hidup berpindah-pindah tak punya rumah

Sebenarnya keluarga Tan Deseng menginginkan dirinya menjadi pedagang, sama dengan Tionghoa lainnya.

Namun ia teguh pendirian, meskipun menjadi seniman, hidup dalam kemiskinan. Apalagi ia memegang prinsip, menjadi seniman tidak semata untuk mencari uang. Tapi murni karena kecintaannya pada Sunda.

"Meski saya seniman, saya meminta anak saya tidak menikah dengan seniman karena seniman itu sangsara (melarat)," ucap Tan Deseng.

Hal itu merujuk pada dirinya. Meski kaya pengalaman dan mendapat banyak penghargaan, secara finansial, tidak mumpuni.

Menurut Budayawan Dadan Hidayat, hingga kini Tan Deseng tidak memiliki rumah. Hidupnya selalu berpindah-pindah, mengontrak dari satu tempat ke tempat yang lain.

Meski demikian ia orang yang sangat dermawan. Ia kerap berbagi. Contohnya, ketika seniman kehilangan panggungnya karena pandemi Covid-19, Tan Deseng menjual kecapinya untuk makan para seniman.


Alami "bully" sebagai "orang China"

Peneliti dari Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya (UMTAS), Asep Wasta mengatakan, kecintaan Tan Deseng terhadap Sunda terbentuk karena lingkungan.

Sebagai orang Tionghoa, ia mendapatkan banyak diskriminasi. Sejak kecil ia kerap di-bully "kamu anak China".

Saat itu, yang membela adalah pembantunya, orang Sunda. Dalam diri Tan Deseng kecil ia sempat bertanya-tanya kenapa yang membela bukan orangtuanya.

Di usia dewasa, ia pun pernah dicibir. Terutama saat ia merekam pertunjukan wayang Abah Sunarya dalam bentuk pita.

Orang-orang meragukan langkah Tan Deseng karena wayang itu kesenian visual. Apa mungkin bisa didengarkan secara audio saja. Namun rupanya, langkah Tan Deseng booming. Itulah mengapa ia bisa disebut sebagai pionir.

Begitu terkenal, ada tanggapan berbeda terhadap Tan Deseng. Ada yang beranggapan: "Sejago apapun musik Sunda, China tetaplah China".

Namun ada pula anggapan: "China saja jago seperti itu, kenapa kita tidak bisa."

"Banyak yang menarik dari Tan Deseng. Termasuk kemampuannya dalam seni tradisional dan modern," ungkap dia.

Berawal lihat teman main kecapi

Sebenarnya, Tan Deseng diperkenalkan dengan budaya barat. Ia mampu bermain gitar dengan sangat lihai. Suatu hari, temannya bernama Cucun bermain kecapi.

Mereka kemudian bertukar kemampuan. Tan Deseng mempelajari kecapi, temannya belajar gitar.

Karena kemampuannya pada musik barat itulah, ia mengajari warga Tionghoa kecapi dengan nada dasar doremifasolasido, bukan daminatilada.

"Dalam terminologi kesenian nusantara dikenal folklore atau bertutur. Seni berkembang dari cerita pelatihnya. Berbeda dengan barat yang memiliki partiture atau tulisan," ucap dia.

"Apa yang dilakukan Tan Deseng (lewat rekaman pita) juga membuatnya partiture. Itu merupakan artefak budaya sunda," imbuh Wasta.

Mengenai diskriminasi, Tan Deseng mengatakan, baik orang Sunda ataupun orang China ada yang baik dan buruk. Yang penting, tidak balas menyakiti ketika disakiti.

Tan Deseng kemudian berjalan mendekati kecapi yang ada di sampingnya. Ia memainkan sebuah lagu berjudul 'Malih Warni' dan mengakhiri wawancara.

https://regional.kompas.com/read/2021/02/12/11073421/kisah-tan-deseng-si-maestro-musik-sunda-walau-dapat-penghargaan-2-presiden

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke