Salin Artikel

Catatan Penting Gagasan Polri Presisi Jenderal Sigit

Apalagi, kalau diamati, setelah disumpah oleh Presiden Joko Widodo, Jenderal Sigit langsung melakukan safari ke ormas keagamaan Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Robithoh Alawiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Mungkin sebagai Nasrani, Jenderal Sigit ingin menunjukkan bahwa dirinya dekat dengan kalangan muslim. Representasinya adalah berbagai ormas yang tadi disebutkan.

Padahal Indonesia sebagai negara yang menganut Bhinneka Tunggal Ika sudah selesai dengan pemahaman politik yang bersifat suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

Saya ingin mengatakan bahwa sepanjang perjalanan bangsa Indonesia, kita sudah kenyang pengalaman dengan tokoh negara yang memiliki latar belakang agama di luar Islam sebagai agama yang dianut oleh kebanyakan masyarakat Indonesia

Sebagai anak bangsa, harapan kita kepada pengganti Jenderal Idham Azis hanyalah konsistensi menjalankan visi besar transformasi Polri menuju Presisi (prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkedailan).

Komitmen kerja ini jauh lebih utama dan hakiki, ketimbang mengkhawatirkan adanya serangan bernuansa SARA yang sejak awal disampaikan analis akan menjadi ganjalan jenderal yang sebelumnya menjabat Kabareskrim itu untuk meraih kursi kepemimpinan di Polri.

Gagasan Polri Presisi

Setelah saya mempelajari gagasan Polri Presisi sebanyak 120 halaman yang disampaikan di hadapan Komisi III DPR, Kapolri Jenderal Sigit memiliki komitmen kuat mengubah paradigma penegakan hukum yang dari sebelumnya berorientasi pada masalah (problem oriented policing) ke pendekatan pemolisian prediktif (predictive policing).

Tentu hal ini adalah pekerjaan besar. Seluruh elemen bangsa sudah barang tentu akan mendukung berbagai janji terobosan yang disampaikan di hadapan wakil rakyat kita di Senayan.

Data masalah yang diungkapkan pun sangat baik. Survei Markplus Inc dicantumkan dalam paper gagasan Jenderal Sigit.

Dalam data itu disebutkan telah terjadi disinformasi antara penanganan laporan polisi dengan persepsi masyarakat. Fakta itu sebagai imbas penerimaan masyarakat dari media mainstream dan media sosial. Fakta ini menjadi pekerjaan serius yang harus dijawab oleh Kapolri baru.

Kita pahami bahwa perkembangan teknologi informasi bisa menjadi pedang bermata dua. Menjadi alat yang menciptakan kemajuan peradaban tetapi juga bisa berfungsi merusak tata nilai kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara.

Jenderal Sigit tak boleh terlena dengan data survei yang mengatakan bahwa perasaan masyarakat aman dari gangguan kejahatan, Indonesia berada di peringkat 9 dari 142 negara.

Hemat saya, berbagai fenomena masalah, tantangan dan peluang itu harus dijadikan momentum Jenderal Sigit untuk menerapkan penegakan hukum tanpa bandang bulu, tajam ke atas dan juga ke bawah sebagaimana yang saya nyatakan di beberapa kawan media beberapa hari lalu.

Kalau mengacu tahapan yang telah dilalui Polri sejak 2005 lalu, Jenderal Sigit menyampaikan bahwa saat ini institusi Polri sedang bertransformasi sebagai sebuah organisasi publik yang unggul (excellent) di tahun 2025 yang akan datang. Dijelaskan pula dalam paper Jenderal Sigit, tahapan sebelumnya 2005-2009 membangun kepercayaan (trust building), 2010-2014 membangun kemitraan (partnership building) dan 2015-2019 menuju organisasi yang unggul (strive for excellence) (hal.50).

Tahapan yang diulas sebagai grand strategy Polri itu tentu tidak bisa dipandang sebagai fakta tunggal, telah meraih sukses besar dan tanpa hambatan misalnya. Saya berpikir bahwa proses transformasi Polri yang telah dimulai oleh figur kepemimpinan Polri dari masa ke masa itu harus dijadikan sebuah hikmah oleh Kapolri baru dalam mengemban tugas penegakan hukum secara transparan, berkeadilan dan sarat kemajuan. Berbagai catatan kekurangan harus diidentifikasi dengan cara pandang negarawan dan mata batin yang jernih.

Konkretnya, penerjemahan transformasi Polri Presisi yang diejawantahkan dalam beberapa tahap seperti seperti transformasi organisasi, operasional, pelayanan dan pengawasan itu tak boleh hanya rangkaian kalimat tanpa implementasi secara bertanggung jawab.

Catatan untuk Jenderal Sigit

Kalau diamati penjabaran bagaimana Transformasi Polri di era Kapolri sebanyak 39 halaman (halaman 75-114) itu seluruhnya sangat baik dan dapat menjawab problematika penegakan hukum dari Sabang sampai Merauke.

Seperti yang yang ayahanda Sekretaris PP Muhammadiyah, Prof Abdul Mu'ti utarakan bahwa Polri diharapkan bisa benar-benar menjadi “Sahabat Umat”. Artinya, penegakan hukum, perlindungan dan pengayoman di masyarakat dirasakan secara utuh.

Tidak boleh ada kesan bahwa hukum cepat ditegakkan pada kelompok tertentu, apalagi pada kelompok agama tertentu. Kegelisahan ini yang pada beberapa tahun terakhir menguat.

Sampai kemudian muncul istilah kriminalisasi ulama. Substansi masalah ini juga harus dijawab oleh Kapolri baru dengan penegakan hukum setara, tanpa melihat mana yang dekat dengan kekuasaan dan mana yang kritis terhadap pemerintah yang sah.

Cara pandang masyarakat bahwa melaporkan kasus pencurian ayam bisa mengeluarkan biaya seharga kambing atau sapi diharapkan bisa benar-benar lenyap dari masyarakat.

Insiden pungli yang masih kita saksikan di berbagai tempat nantinya sudah tidak kita dapati lagi. Apalagi laporan penegakan hukum dari kalangan rakyat jelata sangat lamban diproses tidak akan muncul kembali di ruang publik.

Sebagaimana transparansi sebagai unsur Presisi Polri, pelayanan lembaga penegak hukum seperti Polri dapat beriringan dengan integritas seluruh anggota dan penerapan teknologi informasi secara canggih. Manfaatnya kemudian dapat menutup keran penyalahgunaan dan penyimpangan kewenangan yang merugikan seluruh rakyat.

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di bawah kepemimpinan Jenderal Sigit harus menjawab berbagai tantangan berbagai bentuk kejahatan yang sangat kompleks. Lebih-lebih di era disrupsi teknologi yang tanpa batas ini.

Secara khusus, saya memberikan catatan penting terkait peningkatan peran Pam swakarsa. Saya memandang, Jenderal Sigit harus memahami bahwa masyarakat kita masih dihadapkan pada traumatik masa orde baru.

Mengingat tahun 1998, Pam Swakarsa lebih difungsikan oleh rezim Soeharto dalam membungkam gerakan kritis masyarakat sipil. Fakta sejarah itu tampak masih menjadi luka lama yang susah dihilangkan dari memori masyarakat.

Kapolri baru harus berhati-hati dan menjelaskan secara gambang kepada publik, sejatinya bagaimana yang dimaksudkan dengan Pam Swakarsa yang akan diterapkan ke depan. Jangan sampai gagasan baik transformasi Polri Presisi harus tercoreng hanya karena agenda aktivasi dan peningkatan peran Pam Swakarsa.

Pada akhirnya dalam penutup tulisan ini, saya berharap dengan gagasan Presisinya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo benar-benar dapat memimpin Korps Bhayangkara sebagaimana pernyataan sang Proklamator Soekarno dalam penutup naskah gagasan yang ditulis dalam kalimat kutipan dengan huruf yang lebih besar.

Bahwa “Indonesia bukan milik satu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi miliki kita semua dari Sabang sampai Merauke”.

Ungkapan Sang Prokalamtor ini harus melekat pada setiap anak bangsa, khususnya dapat bersenyawa dalam setiap sanubari, sikap dan tindakan kolektif seluruh aparat kepolisian, di bawah kepemimpinan Jenderal Sigit.

https://regional.kompas.com/read/2021/02/02/22004991/catatan-penting-gagasan-polri-presisi-jenderal-sigit

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke