Salin Artikel

Kisah Keluarga Pasien Non-Covid-19 Saat Pandemi: Saya Merasa Bersalah Tak Bisa Bawa Mama ke ICU

Seorang warga Bandung menceritakan pengalaman kehilangan orang terkasih karena penyakit non-Covid akibat tidak kebagian tempat tidur di unit perawatan intensif.

Selasa dua pekan lalu, Bobby Muhammad Iqbal meritwit sajak dari penyair Hasan Aspahani berjudul UGD, menceritakan seseorang yang meninggal setelah ditolak oleh rumah sakit yang sudah penuh.

Sehari kemudian, hal itu terjadi kepadanya. Ibunya mengalami pembengkakan jantung, yang membuatnya kesulitan bernapas.

Bobby dan ayahnya segera membawa sang ibu - mereka memanggilnya "Mamah" - ke rumah sakit terdekat di kota Bandung, namun rumah sakit tersebut tidak bisa menerima pasien karena sudah penuh.

Mereka kemudian membawa perempuan sepuh itu ke rumah sakit lain, yang masih memiliki tempat tidur kosong di Unit Gawat Darurat (UGD).

Pada Kamis siang, kata Bobby, sang ibu masih sadar dan sempat menolak ketika perawat hendak memberikan oksigen karena ia merasa sesak napas.

Sore harinya, dokter jaga memberi tahu Bobby bahwa kondisi ibunya kritis dan perlu dirawat di unit perawatan intensif atau ICU.

Namun ICU di rumah sakit tersebut sudah penuh oleh pasien Covid-19; dan kalau pun bisa masuk, ibunya harus menjalani tes seka terlebih dahulu, yang hasilnya baru keluar dua hari kemudian.

Bobby takut ibunya tidak terselamatkan.

Sang dokter memberi Bobby dua pilihan - merawat ibunya di kamar rawat biasa atau mencari tempat tidur ICU di rumah sakit lain.

"Gerilya dulu [mencari rumah sakit], cari yang terbaik buat Mamah. Kalau memang enggak dapat, boleh masuk ke ruang rawat tapi harus buat surat perjanjian dulu, kalau ada apa-apa dengan Mamah mungkin rumah sakit tidak bertanggung jawab," kata Bobby menirukan perkataan dokter.

Nahas, sebelum ia bisa mendapatkannya, sang ibu keburu meninggal dunia.

Diwawancarai BBC News Indonesia sepekan kemudian, Bobby mengatakan ia merasa bersalah karena tidak sempat memberikan ibunya perawatan terbaik.

"Maksudnya, dengan harapan kalau Mamah saya bisa masuk ke ICU, itu bisa memperpanjang harapan hidup Mamah saya."

"Walaupun mungkin pas di ICU tidak tertolong, setidaknya Mamah saya mendapatkan pertolongan terbaik sebelum akhir hayatnya," ungkapnya.

Bobby membagikan pengalamannya di Twitter, dan twitnya segera mendapat balasan dari banyak warganet yang menceritakan pengalaman serupa.

Di antara mereka ada seorang ayah yang mengharapkan "keajaiban" karena bayi perempuannya terkena bronkopneumonia dan sangat membutuhkan ruangan ICU beserta alat ventilator namun setelah pencarian selama tiga hari belum juga mendapatkannya karena rumah sakit masih penuh.

Bobby sendiri mengatakan bahwa ia "tidak menyalahkan siapapun" dalam twitnya yang menjadi viral.

Ia hanya ingin menyampaikan kepada masyarakat agar lebih berhati-hati.

"Yuk, stop Covid itu jangan di rumah sakit, sudah penuh rumah sakit tuh. Stop Covid itu di sekitar kita -- jangan kebanyakan nongkrong, keluar pakai masker, lebih proper lagi buat menjaga protokol kesehatan," ujarnya.

Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia telah memperingatkan jika angka kasus positif tak kunjung menurun, seluruh rumah sakit di Jawa dan Bali akan kolaps.

Itu berarti, pasien yang datang tidak bisa mendapat perawatan.

Di RSUD Tanah Abang, yang terletak di salah satu zona merah di Jakarta, puluhan pasien dapat mengantre untuk satu tempat tidur. Direktur rumah sakit tersebut, Savitri Handayana, berkata kepada BBC News Indonesia: "Hampir dikatakan kita itu tidak ada bed yang kosong setiap harinya."

Lewat Twitter, ia menceritakan pengalaman memilih seorang laki-laki berusia 47 tahun, seorang kepala keluarga, untuk masuk ICU lebih dulu dari seorang perempuan berusia 72 tahun.

Kepada BBC News Indonesia, dr. Amelia menjelaskan bahwa ada berbagai faktor yang dipertimbangkan seorang dokter dalam memprioritaskan pasien untuk perawatan dalam situasi ICU penuh.

Salah satunya, seberapa cepat pasien tersebut dapat keluar dari ICU supaya tempat tidurnya bisa segera diisi oleh pasien lain yang membutuhkan.

Saya bertanya kepada sang dokter, apakah keharusan untuk membuat keputusan seperti itu berkali-kali membebani jiwanya.

"Iya memang, itu pasti membebani jiwa," jawab dr. Amelia. "Hanya saja untungnya dalam pendidikan kami... Saya sudah jadi dokter anestesi sejak 2004, jadi alhamdulillah saya punya pengalaman banyak dalam bagaimana saya memutuskan ... latihan-latihan inilah yang membuat saya bisa menjaga fisik dan mental."

"Karena pada akhirnya, yang mesti kita camkan sebagai seorang dokter adalah kami tidak bisa memuaskan setiap orang. Tapi yang bisa kami lakukan adalah memberikan usaha terbaik," imbuhnya.

Total, ada 100 tempat tidur di rumah sakit tersebut.

Sejak akhir Agustus, kata dr. Amelia, pihak rumah sakit terus menambah tempat tidur untuk mengurangi antrean di IGD yang ia sebut "sudah overcrowded". Namun ini pun akan mencapai batasnya jika tidak ada pengurangan di bagian hulu.

Menurut sang dokter, terdapat dua pertanda fasilitas kesehatan mulai kolaps: angka kematian pasien meningkat dan semakin banyak tenaga kesehatan yang mulai terinfeksi.

Menurut data pemerintah, tren angka kematian di Indonesia terus meningkat, mencapai rekor pada Kamis (28/01) lalu.

Sementara IDI melaporkan bahwa 647 tenaga kesehatan - termasuk dokter, perawat, bidan, dan tenaga lab medis - meninggal karena Covid-19 sejak Maret 2020.

Angka ini merupakan yang terbesar di Asia, dan terbesar ketiga di dunia. Bagi dr. Amelia dan para koleganya, Covid-19 terasa seperti keniscayaan.

"Kami selalu bilang, semua akan Covid pada waktunya," kata dr. Amelia.

"Saya ingat bulan Juni kami hanya punya 14 pasien," ujarnya.

Kala itu, ketika pergerakan masyarakat sangat terbatas, jumlah pasien Covid tidak banyak. Dan bahkan jumlah pasien kecelakaan lalu lintas berkurang, sehingga beban tenaga kesehatan jauh lebih ringan, kata dr. Amelia.

Tahun ini pemerintah kembali memberlakukan pembatasan sosial yang disebut PPKM di Jawa dan Bali.

Namun, aturan pembatasannya relatif lebih longgar daripada sebelumnya.

Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Profesor Wiku Adisasmito, mengatakan bahwa pelaksanaan PPKM dari 11-25 Januari telah menurunkan angka keterpakaian tempat tidur di rumah sakit atau Bed Occupancy Rate.

Namun angka tersebut masih perlu ditekan hingga di bawah 70%.

Bagaimanapun, menurut Prof Wiku, efek signifikan dari pembatasan baru akan kelihatan beberapa minggu lagi.

"Perlu dicatat, bahwa berdasarkan pembelajaran pembatasan wilayah pada tahun lalu, perubahan signifikan baru terlihat tiga sampai empat minggu pelaksanaan pembatasan kegiatan. Maka dari itu, perbaikan ini akan terus kami monitor," ujarnya dalam jumpa pers hari Kamis (28/1/2021).

Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas hari Jumat (29/1/2021) mengakui bahwa pembatasan dalam dua minggu terakhir ini tidak efektif.

"Kita harus ngomong apa adanya, ini tidak efektif," ujarnya dalam video yang diunggah ke akun YouTube Sekretariat Presiden, Minggu (31/01).

Jokowi menganggap PPKM tidak mampu membatasi mobilitas masyarakat sehingga angka kasus positif terus naik. Menurutnya, implementasi aturan pembatasan di lapangan tidak tegas dan tidak konsisten.

Ia memerintahkan panglima TNI, Kapolri, dan menteri agama supaya turut terlibat dan intens berada di lapangan untuk memberikan contoh kedisiplinan serta sosialisasi protokol kesehatan dengan melibatkan tokoh masyarakat dan agama.

"Yang ingin saya dengar adalah implementasi lapangannya seperti apa. Mungkin nanti Kementerian Agama melibatkan tokoh-tokoh agamanya seperti apa, TNI seperti apa, di Polri seperti apa dan Pak Menko nanti yang mungkin bisa men-drive agar ini betul-betul lapangannya terjadi," kata Presiden.

https://regional.kompas.com/read/2021/02/02/12250031/kisah-keluarga-pasien-non-covid-19-saat-pandemi--saya-merasa-bersalah-tak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke