Salin Artikel

"Sejak Nenek Moyang Kami Sudah Hidup dari Sopi"

KUPANG, KOMPAS.com - Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Larangan Minuman Beralkohol yang saat ini dibahas oleh Badan Legislatif DPR RI menuai protes dari masyarakat Kampung Kiupasan, Desa Letmafo, Kecamatan Insana Tengah, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur.

Di kampung yang berjumlah 300 lebih orang, sebagian besar warganya berprofesi sebagai pembuat minuman keras tradisional jenis sopi.

"Sekitar 60 persen penduduk di kampung kami ini mata pencarian sebagai pembuat sopi. Kalau nanti tidak produksi sopi berarti kami pasti mati. Nanti anak sekolah minta uang kami mau ambil di mana? Kami mau makan minum bagaimana," ungkap Piet Ele (50), warga Kampung Kiupasan, saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (14/12/2020).

Menurut Piet, pekerjaan sebagai pembuat sopi sudah digeluti warga satu kampung itu sejak turun temurun.

Piet mengaku, dia dan istrinya Yohana Haki (48) sudah bekerja memproduksi sopi sejak 30 tahun lalu.

"Kami ini sejak nenek moyang kami sudah hidup dari sopi, sehingga kami pasti tolak aturan yang menyusahkan kami," tegas Piet.

Dari hasil usaha sopi itu, dia mampu menyekolahkan tiga orang anaknya hingga tamat SMA.

Pemasukan dari sopi terbilang sangat besar bagi dia dan warga di kampungnya karena mampu mendapat uang sebanyak Rp 300.000 hingga Rp 400.000 per harinya.

Piet menuturkan, sehari dirinya mampu memproduksi sopi sebanyak 15 liter.

Sopi yang dihasilkan dari buah pohon lontar itu, kata Piet, dibagi menjadi tiga jenis, yakni sopi tetes, sopi kepala dan sopi biasa.

Untuk sopi tetes paling mahal karena produksinya memakan waktu lebih dari dua jam untuk bisa menghasilkan satu botol ukuran 620 mililiter.

Satu botol sopi tetes dijual Rp 50.000. Sedangkan sopi kepala per botol Rp 25.000 dan sopi biasa Rp 10.000 sebotolnya.

Menurut Piet, sopi yang dijualnya itu laris manis dan selalu dibeli oleh masyarakat dari luar kampungnya karena sudah terkenal.

Bahkan, kata Piet, pembeli sopi berasal dari luar Kabupaten TTU seperti Belu, Malaka, TTS hingga Kota Kupang.

Sopi dari kampungnya juga digunakan sebagai bahan baku untuk minuman keras Sophia yang diluncurkan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat beberapa waktu lalu.

"Jadi kami menolak diterbitkan undang-undang itu. Kalau mau keluarkan silakan saja tapi hanya berlaku di Jakarta saja tapi tidak bagi kami," kata dia.

Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Nusa Tenggara Timur (NTT) Marius Ardu Jelamu, meminta Badan Legislasi (Baleg) DPR mengkaji kembali Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Larangan  Minuman Beralkohol.

RUU tersebut, kata Marius, sangat merugikan masyarakat NTT dari sisi ekonomi, sosial dan budaya.

"Saya yakin RUU ini pasti akan ditolak oleh masyarakat luas, terutama oleh masyarakat yang selama ini menjadikan itu sebagai potensi ekonomi dan budaya," kata Marius.

Marius secara tegas menyebut aturan itu tidak bisa diterapkan di NTT karena minuman sopi sudah menjadi budaya.

"Kalau mau diterapkan di Pulau Jawa itu silakan saja. Tapi tidak di NTT," kata Marius.

Kecuali, kata Marius, negara sudah bisa menjamin secara ekonomi, pendidikan dan kesehatan secara gratis.

Namun, sekalipun sudah ada jaminan dari negara, tentu masih saja ada pihak yang akan menolaknya karena berkaitan dengan budaya dan adat istiadat.

"Intinya kami menolak dan perlu dikaji dulu RUU itu secara sosial, ekonomi dan budaya, karena sebagian masyarakat NTT hidup dari minuman tradisional (sopi)," kata Marius.

Dia menambahkan, perlu diperhatikan dampak dari minum minuman beralkohol yang berlebihan, sehingga perlu diatur batasan usia warga yang bisa meminumnya.

Namun, di NTT warga tidak mengonsumsi sopi untuk mabuk, tetapi sebagai bagian dari budaya yang wajib ada di setiap acara adat maupun kegiatan kemasyarakatan lainnya.

"Intinya jangan merancang undang-undang yang tidak masuk akal, khususnya bagi masyarakat NTT," kata dia.

https://regional.kompas.com/read/2020/11/14/13251311/sejak-nenek-moyang-kami-sudah-hidup-dari-sopi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke