Salin Artikel

Kisah Soeroto Koento, Mahasiswa Kedokteran yang Bobol Radio Jepang, Kawal Soekarno Pidato, hingga Hilang Diculik

Alhasil mereka dapat mengikuti perkembangan Perang Dunia II melalui siaran radio Sekutu.

Soeroto Koento dan Soebianto yang memperoleh informasi menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada dini hari segera menghubungi rekannya di Markas Pusat PETA, Asrama Budi Kemuliaan Jakarta.

Hal itu diungkapkan Mayor Oetarjo dalam Buku Sejarah Perjuangan Soeroto Koento Bersama Masyarakat Karawang. Buku itu disusun oleh Sukarman, Warliyah, dan Ii Wahyudin yang dipublikasikan Dinas Penerangan Pariwisata dan Budaya Kabupaten Karawang pada 2006.

Berbekal informasi itu, para perwira PETA langsung menemui Dan Yon PETA Abdoel Kadir di rumahnya. Mereka merundingkan langkah yang harus diambil sebelum tentara Sekutu datang.

Tak mau peristiwa saat Belanda menyerahkan Bangsa Indonesia kepada Jepang Terulang, disepakatilah Dan Ton PETA Daan Jahja dan Soebianto Djojohadikoesoemo segera mendatangi Bung Hatta.

Mereka memohon agar Bung Hatta bersama Bung Karno segera memproklamasikan kemerdekaan atas kekuasaan sendiri dan tanpa campur tangan pihak manapun.

Sementara itu, dengan maksud yang sama, suatu kelompok pemuda lainnya dari Asrama Menteng Raya 31, Soekarni dan kawan-kawan telah mendatangi Soekarno di kediamannya. Rupanya kedua kelompok pemuda tersebut gagal mencapai tujuan.

Kedua kelompok itu sepakat bergabung.

Rengasdengklok dan proklamasi kemerdekaan

Lantaran diperhitungkan bakal terjadi situasi gawat di Jakarta akibat adanya rencana pemberontakan terhadap Jepang, Dan Ton PETA Singgih, Dr Soetjipto dari Batalyon I PETA Jakarta, dan Soekarni mengantarkan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok demi keamanan.

Keduanya diamankan ke daerah Kompi PETA Soebono di Rengasdengkok. Daerah ini sejak 16 Agustus 1945 dini hari telah dikuasai.

Tentara Jepang telah dilucuti dan ditawan oleh pasukan PETA di bawah pimpinan Umar Bachsan, Affan, dan Soeharjana. Pada tanggal itu pula, bendera Jepang di Rengasdengklok diturunkan dan bendera Merah Putih dikibarkan.

Di Rengasdengklok Soekarno dan Hatta sepakat memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada esok harinya, 17 Agustus 1945.

Mengawal Bung Karno pidato di Lapangan Ikada

Soeroto Koento rupanya turut mengawal Bung Karno pada rapat raksasa di Lapangan Ikatan Atletik Djakarta (Ikada), sekarang Lapangan Monas.

Anak kedua pasangan Raden Koento dan Sitikadariah itu melakukan pengawalan bersama lima orang lainnya dari mahasiswa Prapatan 10.

Mereka datang dari arah timur. Mobil Soekarno dan Hatta berhenti di batad Jalan Merdeka Timur.

Keduanya kemudian berjalan kaki menuju mimbar dikawal Moeffreni dan Ali Sastroamidjojo di samping regu pengawal yang terdiri atas Soeroto Koento dan rekannya.


Bergabung dengan BKR

Soeroto Koento kemudian bergabung dengan Badan Kemanan Rakyak (BKR) Jakarta Raya. BKR kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pusat Komando TKR Jakarta Raya kemudian pindah ke Cikampek.

Cikampek merupakan ibukota kawedanaan yang masuk Kabupaten Karawang. Kota ini adalah titik silang penting bagi hubungan jalan raya dan kereta api. Lalu lintas baik kereta api maupun jalan darat dari Jakarta, Cirebon, Bandung, dan Cilamaya bertemu di Cikampek.

Markas TKR Resimen Cikampek ditempatkan di rumah bekas hotel di tepi Jalan Raya Cikampek. Saat ini rumah ini letaknya di halaman Kantor BNI 46 Purwakarta. Di tempat ini juga dibangun monumen BKR/TKR Resimen Cikampek.

Sementara rumah tinggal pemimpin Resimen V Cikampek di sebuh rumah dinas milik Jawatan Kereta Api Cikampek. Pemiliknya merelakan kamar depan rumahnya ditempati Moeffreni, Soeroto Koento, Soewarjdono, Soejarningrat, dan Moersjid. Mereka tidur di lantai dengan alas tikar.

Pemindahan kesatuan dilakukan dengan menggunakan kereta api dari stasiun-stasiun yang masih aman dari Sekutu. Di antaranya Stasiun Jatinegara, Senen, Manggarai, dan Tanah Abang.

Resimen V Cikampek bertugas menjaga daerah front timur sebagai gerbang masuk Jakarta agar tidak dikuasai musuh, menjaga keamanan lalu lintasbketera api Jakarta-Yogyakarta dan sebaliknya, menjaga lumbung padi bagi Jawa Barat dan Jakarta, dan turut melaksanakan politik diplomasi yang dilakukan Pemerintah RI.

Karenanya resimen ini menempatkan pertahanan pada garis pararel sepanjang Kali Cakung untuk menjaga garis demarkasi.

Diangkat jadi Kepala Staf Resimen V Cikampek

Soeroto Koento pun diangkat menjadi Kepala Staf Resimen V Cikampek. Ia bertugas mengawasi lalu lintas kereta api Allied Prisoners of War and Interness (APWI).

Pada persetujuan RI-Sekutu dalam operasi Panitija Oeroesan Pemoelangan Jepang dan APWI (POPDA) mengangkut 22.500 wanita dan anak-anak berkebangsaan Belanda melalui daerah tak beruan sekitar Bekasi.

Mereka diboyong dalam 30 kali pengakutan. Dimana dalam sekali pengangkutan terdapat 750 orang untuk diserahkan kepada Sekutu. Tugas Internasional pertama NKRI ini berlangsung pada Desember 1945 sampai Mei 1947.

Atasan Soeroto Koento, Kolonel Moeffreni kemudian dipindahkan menjadi Komandan Resimen XII Cirebon, menyusul dialihtugaskannya Kolonel Sulalit menjadi Panglima Divisi Yogyakarta. Soeroto Koento kemudian diangkat menjadi Komandan Resimen V Cikampek dan pangkatnya menjadi Letnan Kolonel.

Hilang diculik, diduga dibunuh 

Pada Februari 1946, Resimen Cikampek dan Divisi Siliwangi gempar. Komandan Resimen V Cikempek Letnan Kolonel Soeroto Koento beserta Kepala Staf Mayor Adel Sofjan, seorang pengawal dan sopirnya hilang.

Hanya kendaraannya saja yang ditemukan di sisi jalan di Desa Warungbambu, sekitar 6 kilometer sebelah timur Karawang pada 27 November 1946. Kendaraan itu kosong tanpa penumpang.

Malam itu, Soeroto baru saja menghadiri rapat Komando Pertahanan Jakarta Timur di Kedunggede bersama pimpinan laskar-laskar perjuangan.

Padahal, Soeroto Koento telah ditunjuk mewakili Republik Indonesia dalam perundingan Indonesia-Belanda di Bekasi pada 29 November 1946.

Mayor Sadikin kemudian diangkat menggantikan Soeroto Koento sebagai Komandan Resimen V Cikampek dan Ery Soedewo sebagai stafnya. Ery juga ditunjuk sebagai delegasi Indonesia pada perundingan dengan Belanda.

Sadikin kemudian memerintahkan semua unsur Resimen Cikampek mencari Soeroto Koento dan rombongannya.

Namun hasilnya nihil. Namun beberapa perwira menduga ia diculik Lasykar Rakyat Jakarta Raya yang tak setuju adanya perundingan dengan Belanda dan cenderung bersikap oposisi dengan pemerintah.

Dalam laporan itu dijelaskan Laskar Rakyat Jakarta berada di bekas pabrik penggilangan beras di Desa Lamaran bernama Lawat. Gedung ini dijadikan markas sekaligus tempat evakuasi orang-orang dari Jakarta yang dianggap tak sejalan dengan Lasykar Rakyat.

Di belakang pabrik itu, terdapat sebidang tanah penuh dengan tulang belulang manusia. Tempat ini tertutup bagi masyarakat umum. Soeroto Koento diduga juga menjadi korban. Hal ini sejalan dengan keterangan Ali Umar, mantan Pejuang SP 88.

Masih dalam Buku Sejarah Perjuangan Soeroto Koento karangan Sukarman, Warliyah, dan Ii Wahyudin yang dipublikasikan Dinas Penerangan Pariwisata dan Budaya Kabupaten Karawang itu, pada akhir April 1947 operasi pembersihan Lasykar Rakyat selesai.

Panji, pemimpinnya, melarikan diri melalui garis demarkasi, masuk ke daerah yang diduduki Belanda. Panji kemudian menyerah kepada Belanda dan menjadi intelijen Belanda.

Kini, tempat ditemukannya kendaraan Soeroto dibangun Monumen Soeroto Koento. Pada monumen itu juga terdapat puisi Krawang-Bekasi karangan Chairil Anwal. Kemudian jalan di Desa Warung Bambu itu dinamai Jalan Soeroto Koento.

Aksi mogok saat jadi mahasiswa sekolah kedokteran

Sejak menjadi mahasiswa Sekolah Kedokteran, Soeroto Koento sudah kritis dan berani. Bersama kawan-kawannya, dia vokal melancarkan protes melalui aksi mogok kuliah.

Mayor Oetarjo menyebut, aksi mogok itu dilakukan sebagai refleksi dari ketidaksukaan terhadap Jepang. Latihan dasar kemiliteran oleh pelatih Jepang sangat keras. Mahasiswa tersinggung dengan cara sewenang-wenang dan melanggar kehormatan mereka sebagai putera-putera Indonesia.

Apalagi pada Desember 1443, terjadi peristiwa penggundulan paksa dan pemukulan secara kasar terhadap seorang mahasiswa tingkat II.

Mahsiswa Sekolah Kedokteran dan Jurusan Perawat pun melakukan pertemuan-pertemuan. Hasilnya disepakati melakukan mogok kuliah.

Soebianto Djoyohadikoesoemo, Daan Jahja Sanjoto, Oetarjo, dan Soeroto Koento menyamar menjadi rakyat biasa untuk mengelabuhi pihak Jepang.

Sejak pukul 06.00 pagi mereka menjaga pintu-pintu masuk Sekolah Kedokteran di Jalan Salemba Raya dan Jurusan Apoteker di Jalan Diponegoro. Rencana itu berhasil, tak seorang pun mahasiswa yang datang ke kampus.

Rektor Jepang Prof. Dr. Itagaki dan Administrator Fakultas Horibe pun terkejut dengan aksi mogok serentak itu. Aksi ini kemudian dilaporkan ke Kempetai atau Polisi Militer Jepang.

Esok harinya, aksi mogok itu disiarkan radio Sekutu dari Australia dan Amerika. Pihak Jepang pun khawatir aksi mogok didalangi agen Intelijen Sekutu.

Soeroto Koento bersama 30 mahasiswa Sekolah Kedokteran (Ikaidaigaku) dan Jurusan Apoteker ditangkap Kempetai Jepang berkautan dengan aksi mogok kuliah di Jakarta pada Desember 1943.

Sebanyak 21 lainnya ditahan selama satu hingga dua minggu, sementara 9 lainnya ditahan sebulan mulai pertengahan Januari hingga Februari 1944. Kesembilan orang yang dianggap sebagai penggerak aksi mogok itu yakni Poerwoko, Petit Moeharto, Soedarpo, Soejatmoko, Soeroto Koento, Soebianto Djojohadikoesoemo, Daan Jahja, Sanjoto, dan Oetarjo.

Mereka kemudian dipulangkan namun dikeluarkan dari kuliah. Pun mendapat ancaman apabila kembali melakukan aksi serupa. Mereka pun semakin menyadari arti penting kekuatan militer.

https://regional.kompas.com/read/2020/11/11/06370251/kisah-soeroto-koento-mahasiswa-kedokteran-yang-bobol-radio-jepang-kawal

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke