Salin Artikel

Waqirin, Difabel Pembuat Layangan Besar, Untung Berlimpah Selama Musim Kemarau

Salah satunya adalah seorang perajin bambu bernama Waqirin, 60 tahun, yang tinggal di Pedukuhan Taruban, Kalurahan (desa) Tuksono, Kapanewon (kecamatan) Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dia sejatinya produsen perseorangan kandang ayam dan pedagang merpati.

Selama dua bulan ini, Waqirin menghabiskan hari-hari duduk di emper depan rumah, bersandar pada kayu penyangga atap.

Di sana, Waqirin berkutat dengan potongan-potongan bambu, tali nilon, lem, plastik untuk menghasilkan layang-layang.

Tidak ada layangan kecil, dia juga membuka layang-layang ukuran lebar minimal satu meter.

“Werno-werni bentuke (bahasa Jawa dari berbagai macam bentuk). Tergantung pesanan,” kata Waqirin di rumahnya, belum lama ini.

Dia tampak sangat cekatan membuat layang-layang.

Mulai dari membelah gelondongan bambu, memecah menjadi batangan yang lebih kecil hingga nyaris sebesar lidi, menghaluskan, lalu merangkai dan mengikat menjadi kerangka layangan.

Sembari pula meladeni orang datang dan pergi membeli lem super perekat plastik, membeli merpati, maupun membeli gulungan benang layangan.

Semua berlangsung sambil duduk di tempat yang sama dari pagi sampai sore.

Musim tahun ini, dia mengaku sudah menghabiskan bambu satu mobil dan lem enam blek atau setara 60 kilogram.

“Paling gedhe (layangan) patang (empat) meter, kuwi ukuran sayape. Layangan gedhe kuwi dipundhut ngangge truk, tiyang saking Kenteng Kidul,” kata Waqirin menjelaskan bagaimana dia tidak jarang membuat layangan dengan lebar sayap empat meter.

Belum lama, katanya, dipesan seorang warga dari Kenteng Kidul di Kapanewon Nanggulan.

Berkah besar bagi Waqirin. Penghasilan dari membuat layang-layang itu cukup lumayan.

Mayoritas pesanan berupa layangan gapangan dengan bentuk bawahan pegon.

Harganya beragam, misal untuk ukuran dua meter seharga Rp 50.000 dan ukuran besar sekitar empat meter bisa tembus Rp 150.000.

Selain untuk penghidupan sehari-hari, dia mengaku hasil dari membuat layangan ini bisa untuk menabung.

Setelah sekian lama, dia pun bisa menambah modal bagi usahanya yang lain, kerajinan bambu, dan merpati.

Bahkan bersama-sama saudaranya, mereka bisa membeli sapi.

“Seko turahan jajan, rasah duwur-duwur (dikumpulkan dari sisa uang belanja, tidak usah tinggi-tinggi),” kata Waqirin.

Waqirin mengaku kewalahan melayani pemesanan. Pembeli sampai harus menunggu satu minggu untuk mendapatkan layangan seperti yang diinginkan.

Pemesan yang tidak sabar akan menunggui Waqirin bekerja, hingga layangan selesai.

Seperti halnya Adit, salah satu warga Kenteng, Kalurahan Demangrejo.

Dia dan Firmansyah memesan layang-layang ukuran dua meter. Keduanya baru mendapatkan layang-layang yang diinginkan setelah tiga kali datang ke rumah Waqirin.

“Saya sudah tiga kali (ke sini). Baru selesai hari ini. Rencana akan menaikkan layangan ini di lapangan Demangrejo,” kata Adit.

Akibat kesibukan ini, pekerjanya yang lain dikesampingkan sementara waktu, seperti membuat kandang ayam dan memelihara merpati. Tertunda karena melayani pesanan layang-layang.

Beruntung Waqirin mendapat bantuan Kardi, tetangganya. Kardi bertugas memasang sampul layang-layang, usai Waqirin menyelesaikan kerangka bambu.

Waqirin sejatinya seorang difabel yang kakinya layu sejak usia awal di sekolah dasar. Karena kakinya itu, dia tidak bisa melangkahkan kaki. Dia terpaksa harus jalan pakai tangan.

Tidak hanya dia, tapi juga adiknya yang bernama Midi. Kondisi fisik Widi lebih memprihatinkan karena seluruh tubuhnya nyaris tak bisa bergerak.

Midi terpaksa berjalan, makan dan ke kamar kecil sambil merayap sebisanya dengan posisi miring.

Waqirin menceritakan, dia dan adiknya mengalami kondisi seperti ini sejak usia sembilan tahun. Saat itu, sebenarnya dia sudah memiliki bakat keterampilan membuat layangan.

Dia tak menyerah. Dengan keahlian membuat kerajinan dari bambu, dia terus melayani pembeli.

Bahkan setelah berpuluh tahun dilewati, dia terus membuat kerajinan itu, termasuk layang-layang untuk musim panas.

“Sampai banjir datang, orang masih main layangan. Banjir niku jawah (musim hujan),” kata Waqirin.

Waqirin dan Midi tidak berkeluarga. Keduanya kini tinggal bersama dengan Mijo, kakak sulungnya yang seorang petani.

Keterampilan bambu yang dimilikinya membuat Waqirin selalu diingat warga Kulon Progo saat musim layangan. Tidak heran, warga dari berbagai kecamatan datang hanya untuk beli layangan.

https://regional.kompas.com/read/2020/09/29/10354741/waqirin-difabel-pembuat-layangan-besar-untung-berlimpah-selama-musim-kemarau

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke