Salin Artikel

Cerita Warga Mojokerto Nikmati Listrik dari Sungai, Energi Listrik jadi Pembangkit Perubahan (2)

Sebelum Agustus 1994, perkampungan itu masih tak dialiri listrik. Mereka menggunakan lampu pelita sebagai penerangan di malam hari.

Selain tak terjangkau jaringan listrik, akses ke Dusun Janjing hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki dan menyeberangi dua sungai. 

Kondisi sebaliknya, dialami masyarakat dari beberapa perkampungan sekitar Janjing. Warga di dusun tetangga telah bisa menikmati listrik.

Dulu, kenang Sukadi (54), salah satu warga Dusun Janjing, kondisi masyarakat Janjing cukup tertinggal dibandingkan dusun tetangga.

Arus informasi dari luar adalah sesuatu yang langka bagi masyarakat Janjing. Selain itu, pendidikan juga bukan hal penting untuk dipikirkan.

Masyarakat Janjing sebagian besar menghabiskan waktu mengurus ladang dan ternak. Lainnya, menebang kayu di hutan.

Saat jaringan listrik PLN masuk ke Desa Seloliman, masyarakat Dusun Janjing tak menikmati fasilitas itu.

"Penerangan dulu menggunakan lampu minyak tanah. Jalannya juga susah waktu itu," kata Sukadi, saat berbincang dengan Kompas.com di lokasi.

Namun, kata Sukadi, siuasi Dusun Janjing mulai berubah sejak listrik masuk ke Dusun Janjing.

Listrik yang menerangi Dusun Janjing bukan dari jaringan PLN. Listrik itu berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Kali Maron.

"Perubahannya sangat banyak. Setelah ada listrik, arus informasi mulai lancar. Pemikiran warga mulai berkembang," ujar Sukadi.

Dusun Janjing berada di wilayah Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto. Namun secara administratif, tak ada nama Dusun Janjing di desa itu.

Desa Seloliman terbagi menjadi tiga Dusun, yakni Dusun Sempur, Biting dan Balekambang. Adapun Janjing, bagian wilayah Dusun Sempur.

Lokasi Dusun Janjing agak terpencil dan cukup sulit diakses dibandingkan dengan Dusun Biting, Balekambang, dan Sempur.

Jarak menuju Dusun Janjing sekitar dua kilometer dari jalan utama Seloliman-Trawas. Untuk memasuki Dusun Janjing, harus turun lembah lalu naik ke Bukit Janjing. 


Secara geografis, Dusun Janjing merupakan kawasan perbukitan pada ketinggian 300 mdpl. Posisinya berada di sebelah barat lereng Gunung Penanggungan.

Membangun Pembangkit Listrik

Masyarakat setempat mengenal listrik yang dialiri PLTMH Kali Maron sebagai "listrik kincir".

PLTMH Kali Maron memanfaatkan aliran Sungai Maron sebagai sumber energi. Pembangkit listrik mulai dibangun pada 1992 dan dioperasikan pada Agustus 1994. 

Lazimnya, pembangkit listrik itu disebut sebagai pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Namun karena skalanya lebih kecil dengan daya listrik kurang dari 100 kWh, pembangkit itu dikenal sebagai pembangkit listrik mikrohidro. 

"Masyarakat Janjing punya investasi dalam pembangunan pembangkit itu, investasi tenaga. Masyarakat terlibat sejak awal pembangunan," kata Sukadi, mengisahkan proses pembangunan PLTMH Kali Maron.

Pembangunan PLTMH Kali Maron diinisiasi oleh PPLH Seloliman, LSM lingkungan hidup yang ada di Seloliman. 

Menurut Kamun (63), yang telah tinggal di Dusun Janjing sejakmuda, gagasan itu disambut warga dengan antusias.

"Ditawari PPLH untuk membuat listrik sendiri, masyarakat mau. Masyarakat guyub dan mau gotong-royong, akhirnya bisa punya listrik sampai sekarang," ungkap dia.

Titik Awal 

Nyala lampu listrik mulai dinikmati masyarakat di perkampungan Janjing pada Agustus 1994. Hadirnya listrik menjadi titik awal perubahan di masyarakat.

Secara perlahan, arus informasi dari luar mulai diterima melalui radio dan televisi yang ada di perkampungan. Perubahan demi perubahan mulai terasa.

Pada tahun 2000, masyarakat Janjing mulai terlibat dalam perawatan dan pengelolaan PLTMH Kali Maron. Sebelumnya, mereka hanya menjadi pengguna pasif dari pembangkit listrik yang mereka bangun.

Paguyuban Kalimaron dibentuk sebagai badan pengelola PLTMH Kali Maron. Pengurus paguyuban berasal dari unsur masyarakat Janjing, Sempur dan PPLH, ditambah dari unsur Pemerintah Desa Seloliman.

Melalui Paguyuban Kali Maron, masyarakat terlibat dalam penghitungan iuran listrik, langkah-langkah perawatan pembangkit listrik, serta pengelolaan yang lebih profesional, maupun perlindungan hutan yang menjadi penyangga air Kali Maron.

Setelah terbentuk paguyuban, daya listrik dari PLTMH Kali Maron ditingkatkan dari 12 kWh menjadi 25 kWh. 

Sejak 24 Desember 2000, setiap KK bisa mendapatkan daya listrik mulai 450 watt, 900 watt, hingga 1.300 dan 2.500 watt.


Sebelumnya, setiap rumah penduduk hanya mendapatkan jatah listrik antara 100 hingga 150 watt. Iuran listrik kala itu, rata-rata Rp 1.000 hingga Rp 2.000 per bulan.

"Sebelumnya tidak ada meteran. Baru ada meteran itu tahun 2000. Daya listrik juga meningkat, jadi warga bisa memakai sesuai yang dibutuhkan," ungkap Misto, Kepala Dusun Janjing. 

Dia mengungkapkan, jumlah penduduk di Dusun Janjing saat ada listrik untuk pertama kalinya, sebanyak 25 KK. Saat ini, jumlah penduduk Dusun Janjing sebanyak 49 KK.

Saat ini, tercatat 60 nama pengguna listrik dari PLTMH Kali Maron. Pengguna itu merupakan rumah tangga, tempat ibadah, pendidikan, dan usaha kecil.

"Selain untuk rumah tangga, listrik di sini juga digunakan untuk usaha ekonomi. Ada yang usaha pertukangan, ada yang buka warung," tutur Misto.

Pengelolaan pembangkit listrik oleh Paguyuban Kalimaron terus menunjukkan situasi yang baik, sejak lembaga pengelola itu terbentuk.

Pada 2003, Paguyuban Kalimaron menjalin kerja sama interkoneksi dengan PLN.

Dalam kerja sama itu, Paguyuban Kalimaron menerima pemasukan dari PLN atas pembayaran sebagian energi listrik yang dibeli PLN. Kerja sama itu berlangsung hingga akhir 2019.

Ketua Badan Pengurus Paguyuban Kalimaron, Suroso menjelaskan, listrik yang dibeli PLN adalah kelebihan dari daya listrik yang dihasilkan PLTMH Kalimaron, setelah disalurkan kepada masyarakat Janjing.

Setiap bulan, paguyuban bisa mendapatkan pemasukan antara Rp 6 juta hingga Rp 9 juta. Pemasukan dari PLN tersebut menjadi modal penting bagi paguyuban untuk pengelolaan PLTMH Kali Maron.

Suroso menuturkan, untuk melaksanakan kerjasama interkoneksi dengan PLN, paguyuban memerlukan dana Rp 108 juta. 

Dana untuk pengadaan sarana pendukung interkoneksi dengan jaringan PLN tersebut, berhasil didapatkan dengan sistem pinjaman dari Koperasi Energi Hijau. 

Empat tahun kemudian, pinjaman yang diangsur setiap bulan tersebut berhasil dilunasi. Luapan kegembiraan masyarakat Janjing pun tak terbendung.

"Kita bisa, kita bisa, ternyata kita bisa. Seperti itu ungkapan masyarakat Janjing waktu utang sudah lunas. Kami pinjam tahun 2003, lunas tahun 2007. Itu menjadi momentum bangkitnya kepercayaan diri masyarakat Janjing," tutur Suroso.


Padahal, beberapa tahun sebelum itu, masyarakat Janjing dikenal tertinggal, minim akses dunia luar, dan dianggap tak punya masa depan.

Sebelum listrik masuk ke perkampungan Janjing, tak banyak pilihan pekerjaan bagi masyarakat. Sebagian besar mengelola ladang, ternak, atau penebang pohon.

"Dulu mereka itu profesinya illegal logging. Daerahnya terisolir, lalu mau ke mana lagi kalau tidak ke ladang sama ke hutan. Dulu ya mbalok (nebang pohon di hutan)," ungkap dia.

Namun, sejak listrik menjangkau kampung Janjing, pembangunan jalan dan jembatan juga diinisiasi Paguyuban Kalimaron. Pelan-pelan, perilaku masyarakat mulai berubah.

Pendidikan dan Ekonomi

Masyarakat juga mulai memperhatikan pendidikan anak-anak di Dusun Janjing. Pekerjaan yang berpotensi merusak kelestarian hutan mulai ditinggalkan.

"Peningkatan pendidikan sudah jelas kelihatan. Kemudian ada peningkatan dalam taraf ekonomi karena rasa percaya diri mulai bangkit bahwa kami sama dengan yang lain. Mulai muncul ide untuk usaha yang lain, seperti kulakan (perdagangan)," ujar dia.

Sejak ada pembangkit listrik, masyarakat Janjing mulai sadar kelestarian hutan mempengaruhi pasokan listrik ke tempat tinggal mereka.

Warga Dusun Janjing, kata Suroso, menyadari jika hutan rusak, debit air Kali Maron berkurang, pembangkit listrik tidak bisa berfungsi.

"Dulu orang-orang yang biasanya nebang di hutan sudah beralih, apalagi semakin kesini sudah banyak pilihan profesi pekerjaan," kata pegiat lingkungan hidup dari PPLH Seloliman ini.

Warga Dusun Janjing lainnya, Sulastri (54) mengatakan, listrik yang mengaliri rumahnya memiliki nilai penting bagi keluarganya.

Saat lampu listrik pertama kalinya menerangi rumahnya, anak sulungnya masih berusia sembilan tahun dan duduk di kelas 3 SDN Seloliman. Sebelum ada listrik, anaknya tidak bisa belajar saat malam hari.

Saat itu, tutur dia, penerangan di rumahnya menggunakan lampu minyak dari kaleng bekas. Selain soal penerangan, akses ke sekolah anaknya juga sulit karena harus turun lembah dan naik bukit untuk berangkat dan pulang.

"Dulu (penerangan) lampu kaleng. Waktu listrik nyala, anak saya sekolah di SD. Umurnya waktu itu sembilan tahun," tutur Sulastri.

Pada dua dekade lalu, pekerjaan yang bisa dilakukan Sulastri dan suaminya adalah mengolah ladang dan beternak. Namun saat ini, dia membuka usaha warung makan dan aneka minuman.

Warung milik Sulastri berada di jalan masuk menuju Dusun Janjing di dekat Sungai Maron. Warung tersebut berjejer dengan belasan warung lainnya yang dimiliki warga Dusun Janjing.


Tempat yang digunakan Sulastri dan belasan warga Janjing untuk membuka warung, merupakan lembah yang menjadi akses utama menuju Dusun Janjing.

Lokasi itu kini disulap menjadi kawasan wisata air Kali Maron.

Tak jauh dari lokasi itu, terdapat sebuah lapangan perkemahan yang dikelilingi pohon. Adapun jaringan listrik di lokasi itu, berasal dari PLTMH Kali Maron.

"Semua pakai listrik kincir (PLTMH). Sama saja kok dengan yang PLN, Gak matian. Ada listrik ini sangat membantu karena sering juga buka sampai malam," ungkap Sulastri.

Kepala Desa Seloliman, Rais mengatakan, hingga Agustus 2020, jaringan listrik dari PLTMH Kali Maron menjadi satu-satunya yang mampu menjangkau perkampungan Janjing.

Menurut dia, selain mendukung pencapaian 100 persen rasio elektrifikasi di Desa Seloliman, PLTMH Kali Maron juga mengalirkan banyak energi positif bagi kehidupan warga yang tinggal di perkampungan Janjing.

Rais menuturkan, sebelum ada listrik, perkampungan Janjing merupakan wilayah terisolir. Wilayah itu juga sulit dijangkau dengan beragam jenis kendaraan.

Kondisi itu membuat pilihan pekerjaan masyarakat Janjing hanya sebatas menjadi petani dan peternak. Lalu sebagian lainnya, menjadi penebang kayu di hutan.

Kini pendidikan warga Janjing juga mengalami peningkatan. Listrik dan akses jalan yang lebih baik mendukung generasi muda di kampung itu untuk sekolah.

20 tahun lalu, tak banyak warga Dusun Janjing yang memikirkan pendidikan anakna. Kini, para generasi muda Dusun Janjing sudah ada yang melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi.

"Kalau dulu, lulus SD saja sudah bagus. Tapi sekarang ada peningkatan, generasi muda di Janjing sekarang banyak yang sekolah SMP dan SMA. Ada beberapa anak yang sekarang kuliah," ungkap Rais.

Dia mengungkapkan, hingga 11 Agustus 2020, jumlah penduduk di Desa Seloliman tercatat sebanyak 829 Kepala Keluarga (KK), 49 KK di antaranya tinggal di perkampungan Janjing.

Menurut Rais, sebagai bentuk dukungan terhadap eksistensi PLTMH Kalimaron, pengelolaan pembangkit listrik, akan dimasukkan dalam struktur Badan Usaha Milik Desa (BUMDES).

"Misi saya, pengelolaan listrik PLTMH bisa masuk dalam program BUMDES. Tapi pengelolanya tetap teman-teman yang selama ini mengelola listrik mikrohidro," kata Rais.

Cara Kerja

Pada Agustus 1994 pembangkit listrik Kali Maron mulai beroperasi dan mengalirkan listrik ke Dusun Janjing serta PPLH Seloliman.


Pembangkit listrik tersebut memanfaatkan aliran Sungai Maron, sebagai sumber energi untuk menggerakkan turbin.

Sungai Maron berada di sisi timur Dusun Janjing. Sebelum ada pembangkit listrik mikrohidro, fungsi utama Sungai Maron adalah untuk pengairan.

Pemanfaatan aliran Sungai Maron untuk dikonversi menjadi energi listrik, diawali dengan pembuatan bendungan kecil.

Bendungan itu dibangun di Dusun Sempur, berfungsi untuk menyaring sampah dan menyalurkan air ke saluran pembawa.

Saluran pembawa air tersebut memiliki panjang 115 meter yang berfungsi mengalirkan air Sungai Maron dari bendungan menuju bak pengendap. 

Kemudian dari bak pengendap, air Sungai Maron itu dialirkan melalui pipa bawah tanah menuju ke bak kontrol dan selanjutnya menuju bak penenang.

Lalu, dari kotak yang menjadi pengontrol arus tersebut, air didorong melalui pipa ke rumah pembangkit untuk menggerakkan turbin. 

Rumah turbin dan mesin konversi energi listrik PLTMH Kali Maron dibangun di daerah yang lebih rendah dari Dusun Janjing.

Lokasi rumah turbin berada di areal persawahan Dusun Sempur berjarak sekitar 2 kilometer dari perkampungan Janjing.

Energi listrik dari rumah turbin disalurkan melalui kabel menuju gardu induk yang berada di PPLH Seloliman. 

Kemudian dari gardu induk, listrik didistribusikan ke perkampungan Janjing melalui kabel yang disangga dengan tiang beton.

Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka) Tri Mumpuni mengatakan, pembangkit listrik mikrohidro merupakan solusi pemenuhan listrik untuk daerah terpencil yang sulit dijangkau PLN.

Menurut Puni, sapaan akrabnya, mikrohidro menjanjikan pemenuhan energi listrik dengan biaya rendah serta pengoperasian dan perawatan yang mudah.

Sumber alami energi terbarukan tersebut juga ramah lingkungan karena tidak memerlukan bahan bakar energi fosil.

Tantangannya, ujar Puni, hutan yang menjadi penyangga kebutuhan air di daerah hulu sungai, harus dijaga bersama agar terlindungi kelestariannya. 

Kelestarian hutan diperlukan agar pasokan air sungai menuju pembangkit listrik tetap konstan dan bisa menghasilkan energi listrik.

https://regional.kompas.com/read/2020/08/27/11192041/cerita-warga-mojokerto-nikmati-listrik-dari-sungai-energi-listrik-jadi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke