Salin Artikel

"Kami Pilih Pemimpin Desa, Bukan Pemimpin Agama"

Jabur adalah seorang Muslim, sedangkan warganya mayoritas beragama Katolik.

Meski dirinya seorang Muslim, Jabur menjelaskan bahwa komposisi aparat desa tetap didominasi warga Katolik.

Sebelum terpilih menjadi kepala desa tahun 2017, Jabur sempat maju jadi Kepala Desa Nangalabang pada tahun 1992.

Kala itu ia kalah suara dari satu lawannya. Kekalahan Jabur saat itu bukan karena isu suku, ras, atau agama.

Namun, karena berasal dari kalangan minoritas, Jabur mengaku ragu saat akan kembali maju pada pemilihan kepala desa di Desa Compang Ndejing pada tahun 2017.

"Saat itu saya tidak mau. Alasan saya, saya tidak mungkin terpilih, karena saya dari pihak minoritas. Selama itu memang isu agama dan SARA di akar rumput ramai dibincangkan. Ada yang bilang mengapa mesti yang minoritas pimpin mayoritas," ujar Jabur kepada Kompas.com, Rabu (19/8/2020).

Hal yang membuatnya yakin untuk maju adalah dukungan dari kelompok berbasis gereja (KGB).

Saat itu ada tujuh kelompok doa di Dusun Purang Mese kompak mengusulkan dirinya maju sebagai calon kepala desa.

Warga berpikir bahwa Jabur cocok untuk memimpin Desa Compang Ndejing. Karena dukungan tersebut, ia pun memenuhi persyaratan untuk maju menjadi kepala desa.

"Saya jadi termotivasi untuk maju. Saya pun meminta kepada panitia untuk meminta persyaratan. Setelah itu saya lengkapi berkas dan daftar," kata Ahmad.

Ia mengaku bahwa isu SARA sangat terasa sebelum pemilihan berlangsung. Namun, isu tersebut berhasil dipatahkan oleh komunitas doa dan pastor paroki.

Kepada umatnya, pastor selalu mengatakan bahwa agama bukan hambatan bagi seseorang untuk menjadi pemimpin.

Pastor juga mengatakan, seorang pemimpin dinilai dari karakternya, bukan latar belakang agamanya.

"Jika dilihat jumlah penduduk, secara logika memang saya tidak terpilih sebagai kepala desa. Saya unggul 82 suara dari 3 orang calon," tutur Jabur.

Ia mengakui bahwa usai pemilihan sempat ada sedikit konflik, tetapi tidak sampai besar.

"Usai pemilihan memang ada riak-riak kecil, tetapi tidak sampai benturan fisik. Saya pikir itu wajar karena bagian dari ekspresi kecewa," kata Ahmad.

Ia mengatakan, masyarakat di desanya memiliki kesadaran tinggi pada toleransi hidup beragama.

Setelah terpilih menjadi kepala desa, Jabur memberikan ruang kepada kubu dan pendukung lawan untuk sama-sama membangun desa.

"Saat saya dilantik, saya imbau kepada warga, kita ini urus negara, bukan agama. Kita harus kompak membangun Desa Compang Ndejing agar terus maju," kata Jabur.

Hal tersebut dibenarkan oleh Edi Dahal seorang warga Desa Compang Ndejing.

Ia mengatakan, salah satu hal yang diapresiasi warga adalah Jabar mengangkat aparat desa tanpa melihat agama dan lawan politiknya.

"Saya sendiri tidak mendukung beliau pada pemilihan. Tetapi, beliau angkat saya jadi aparat desa. Tentu ini merupakan pendidikan politik yang baik," ujar Edi.

Selain itu, ia menyebut bahwa toleransi antarumat beragama di desa sangat kental dan kuat.

Dalam kehidupan sehari-hari, Edi menyebut tidak ada benturan antara warga minoritas dan mayoritas.

"Kami hidup berdampingan dengan baik. Kami di sini tidak pernah membedakan siapa mereka dan kita," kata Edi.

Edi juga menyebut bahwa sejak Ahmad Jabar menjadi kepala desa, kehidupan sosialnya dinilai bagus oleh warga.

"Kami pilih pemimpin desa, bukan pemimpin agama, sehingga kami tidak pandang dia dari agama apa. Kami nilai dia layak jadi pemimpin desa," kata Edi.

SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Nansianus Taris | Editor : Abba Gabrillin)

https://regional.kompas.com/read/2020/08/21/06070071/kami-pilih-pemimpin-desa-bukan-pemimpin-agama

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke