Salin Artikel

Terpuruk Hadapi Resesi, Para Petani Pun Merugi

Pengamat menilai sebaiknya pemerintah memaksimalkan bantuan pada petani sebagai yang 'paling terdampak' pada masa pandemi Covid-19.

Berbeda dengan kelompok lain, petani berperan sebagai produsen dan konsumen sekaligus. Ini membuat petani merasakan dampak yang lebih parah dibanding pekerja, buruh, dan kelompok lainnya.

"[Kelompok masyarakat] dari sektor buruh dan menengah ke bawah juga sangat terdampak, apalagi mereka di-PHK, sudah sama sekali tidak ada penghasilan."

Tapi petani lebih terdampak karena untuk menanam itu [modalnya] besar, bahkan utang dulu sebelum panen. Sektor lainnya penghasilan nol, tapi kalau petani ini bisa minus, bahkan untuk bayar utang tidak ada uang," kata Dian Utami, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Sejauh ini pemerintah mengumumkan insentif bagi petani dan nelayan berupa program jaring pengaman sosial, subsidi bunga kredit melalui keringanan pembayaran angsuran, pemberian stimulus untuk modal kerja, dan melalui kebijakan untuk kelancaran rantai produksi).

Triswanto salah satunya. Petani tomat ini terpaksa memanen awal karena mengaku sudah tak mampu merawat 4.000 tanaman tomat yang ditanamnya.

Kerugiannya, jangan ditanya.

"Petani di sini parah terdampaknya. Harga tomat [hijau] seperti ini hanya Rp1.000 per kilogram sedang tomat merah Rp1.500 per kilogram," kata Triswanto di sela-sela membungkus tomat hasil panennya.

Harga itu sangat jauh dari patokan harga normal yang berkisar Rp 5.000 per kilogram.

"Turunnya harga karena tidak ada pembeli," keluhnya.

Dengan harga jual tomat saat ini, Triswanto tidak lagi mampu menutupi biaya produksi penanaman mulai dari membeli bibit, pupuk hingga biaya tenaga.

"Harga jual tomat Rp1.000 - Rp1.500 itu untuk menutupi biaya pembelian obatnya saja tidak bisa, apalagi untuk menutupi semua biaya produksi," ujarnya.

Padahal total biaya yang telah dihabiskan Triswanto mencapai kisaran Rp 4 juta.

Akhirnya sebelum masa panen, ia memilih memanen lebih awal, "Ini dipetik lebih awal supaya nggak rugi karena untuk membeli obat sudah tidak mampu lagi."

"Sebagai petani cabai terdampak sekali dan terpukul adanya [wabah virus] corona," katanya.

Saat ini harga jual cabai rawit turun drastis menjadi Rp7.000 per kilogram. Padahal harga normal cabai awalnya bisa mencapai Rp20.000 per kilogram.

"Kalau harga Rp 20 ribu itu petani masih tertolong lah. Tapi kalau Rp 7.000 itu harga jualnya hancur," ucapnya.

Jono lalu menceritakan tersendatnya penjualan cabai ke luar Boyolali. Sebelumnya, cabai petani Boyolali itu bisa menembus pasar hingga ke Jakarta dan Kalimantan.

"Biasanya cabai sini dibawa ke Kalimantan dan Jakarta tapi sejak ada [wabah virus] corona tidak bisa di bawa kemana-mana," katanya.

"Permintaan dari konsumen rendah, sedangkan kita produksi jalan terus. Jadi di penampungan terkendala dan harga jadi hancur."

Sebelum masa pandemi Covid-19, Tamiruddin, petani itu, mengelola sawah seluas tiga hektar are miliknya, dengan sekali masa panen mencapai 300 karung gabah padi.

Namun pada musim tanam yang berlangsung saat pandemi, Tamiruddin hanya mengelola satu hektar area sawah.

Tak pelak hasil panen pun menurun, bahkan hanya 50 karung per hektar dari sebelumnya 100 karung per hektar. Ia mengirit-irit pupuk yang dimilikinya karena harus menunggu masuknya pasokan pupuk dari luar daerah.

"Setelah [padi] dimakan tikus, kita mau pupuk kembali untuk naik [tumbuh] kembali itu yang dimakan tikus," keluh Tamiruddin yang stok pupuknya sudah berkurang.

Aktivitas pengiriman pupuk dari luar Pulau Buton melalui jalur kapal laut sempat terhenti saat pandemi karena pembatasan sosial. Selama pandemi para petani hanya memperoleh pupuk satu kali, yakni pada April lalu.

Penghasilan petani seperti Tamiruddin pun anjlok. Di sisi lain, Tamiruddin menuturkan ada pengeluaran tambahan yang harus dipenuhinya saat pandemi: ongkos pulsa.

Dua orang anak Tamiruddin tengah berkuliah dan selama pandemi belajar dari rumah secara daring yang mau tak mau membutuhkan biaya lebih untuk penyediaan kuota internet.

"Otomatis penghasilan berkurang. Yang tadinya kita harapkan ada sisa yang bisa kita gunakan untuk menginginkan yang ini, ternyata dengan adanya [Covid-19] kita tidak ada lagi harapan," ungkap petani berusia 50 tahun tersebut.

"Kalau [wabah virus] corona masih tetap seperti begini, jelas akan habis yang kita simpan. Mana kita biayai anak-anak kuliah segala."

Ini adalah kontraksi ekonomi pertama di Indonesia dalam lebih dari 20 tahun terakhir.

Bhima Yudhistira Adhinegara, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan bahwa kontraksi PDB itu berarti "situasi resesi ekonomi sudah di depan mata."

"Di kuartal III kemungkinan besar kita akan resesi, kalau melihat kuartal II ini kita cukup dalam minusnya," kata Bhima.

"Tapi ini ketika penurunannya relatif tajam secara year-on-year, maka bisa dikatakan ini resesi technical, jadi secara data ini sudah menunjukkan adanya resesi karena penurunannya cukup tajam karena tidak mungkin di kuartal III bisa kembali positif."

Pada kuartal I pertumbuhan PDB Indonesia masih positif sebesar 2,97%, sedangkan pada kuartal II minus 5,32%. INDEF memprediksi bahwa penurunan di kuartal III akan sebesar -1,7%.

"Yang perlu diperhatikan ini kan adanya penurunan tajam pada konsumsi rumah tangga, karena adanya pandemi membuat masyarakat tidak yakin untuk berbelanja, dan akhirnya berpengaruh juga pada industri manufaktur yang turun dan sektor perdagangan turun."

Dalam data ekonomi Indonesia kuartal II yang dirilis BPS, diketahui pula adanya deflasi, atau penurunan harga, sebesar minus 0,10 persen untuk bulan Juli, jika dibandingkan dengan Juni.

Penurunan harga terbesar terjadi di kelompok makanan, minuman, dan tembakau dengan minus 0,73 persen. Produk petani seperti beras, bawang merah, bawang putih, dan cabai rawit merupakan komiditas pangan yang turun harganya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam sebuah webinar bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan pada Rabu (05/08), menanggapi masalah deflasi dengan mengatakan bahwa pemerintah akan tetap berusaha menjaga kestabilan harga-harga produk dan jasa di tengah pandemi.

"Pemerintah akan melihat kalau indikator menunjukkan income dan daya beli menurun maka pemerintah akan gunakan instrumennya untuk mendukung itu, dari mulai bansos, dukungan terhadap UMKM, sektor usaha, sehingga dia tetap menjaga dari sisi employment-nya agar tidak terjadi PHK dan mendorong investasi, karena itu akan menentukan kestabilan ekonomi," jelasnya.

Namun, Bhima Yudhistira Adhinegara, ekonom INDEF, mewanti-wanti bahwa ada kemungkinan sektor pertanian baru menunjukkan kontraksi pada kuartal III.

"Deflasi itu kan di bulan Juli, sudah masuk kuartal III. Yang diumumkan hari ini [adalah hasil di] kuartal II, sangat mungkin sektor pertanian di kuartal II masih tumbuh, di kuartal III ini baru mengalami kontraksi," ujarnya.

"Itu juga indikasi yang tidak bagus. Deflasi kan artinya pedagang rugi, harga turun dibandingkan bulan sebelumnya, dari sisi konsumen menjadi indikasi bahwa yang beli sedikit, jadi [penjual] tidak berani menaikkan harga."

Sektor pertanian berperan penting dalam masa pandemi lantaran itu adalah "pertahanan terakhir" untuk menyerap pengangguran dari sektor yang formal, ujar Bhima.

"[Kelompok masyarakat] dari sektor buruh dan menengah ke bawah juga sangat terdampak, apalagi mereka di-PHK, sudah sama sekali tidak ada penghasilan. Tapi petani lebih terdampak karena modal yang mereka keluarkan besar, seperti untuk menanam cabai, beli pestisida.

"Untuk menanam itu [modalnya] besar, bahkan utang dulu sebelum panen. Sektor lainnya penghasilan nol, tapi kalau petani ini bisa minus, bahkan untuk bayar utang tidak ada uang."

Ia menambahkan, sektor-sektor industri dapat menghentikan dan memulai kembali produksinya, seperti yang banyak dilakukan pemanufaktur dan usaha lainnya selama masa pandemi ini. Namun, sektor pertanian tidak bisa serta merta menghentikan produksi mengingat masa tanam yang bisa memakan waktu lama.

"Pertanian itu butuh treatment berkelanjutan, makanya petani ini misalnya sudah menanam padi selama enam bulan, padi baru bisa dipanen beberapa bulan kemudian. Modalnya sudah terlanjur dikeluarkan, tapi ada pandemi yang sangat menurunkan daya beli masyarakat," ujar Dian.

"Mereka juga menyediakan bahan makanan sebagai produsen untuk orang lain dan membutuhkan modal di situ, tapi ternyata [hasil] baliknya tidak sesuai dan mereka butuh uang untuk memenuhi kebutuhan mereka juga."

Menurutnya, pemerintah sebaiknya memaksimalkan fungsi lembaga-lembaga seperti Bulog dan membeli hasil pertanian dengan harga wajar untuk menyelamatkan petani.

"Bulog kan selama ini membeli dari impor, karena terjadi penurunan harga yang sangat signifikan, kita maksimalkan fungsi Bulog."

Pemerintah bisa membeli hasil-hasil pertanian dari petani dengan harga yang wajar, sehingga disimpan sama Bulog untuk mengontrol harga di pasar dan menyelamatkan petani dari deflasi ini. Mereka tetap bisa [bertahan] dan paling tidak balik modal," jelas Dian.

Presiden Joko Widodo telah mengumumkan insentif bagi petani dan nelayan di masa pandemi Covid-19 Mei lalu.

Insentif-insentif tersebut meliputi program jaring pengaman sosial, subsidi bunga kredit melalui relaksasi pembayaran angsuran, pemberian stimulus untuk modal kerja, dan melalui instrumen kebijakan non fiskal untuk melancarkan rantai pasokan.

Meski demikian, banyak petani, seperti Triswanto di Boyolali, yang masih mengharapkan bantuan dari pemerintah karena mengalami kerugian.

"Harapannya bisa menerima bantuan karena petani saja jualannya nggak laku-laku dan murah harga jualnya," ujarnya.

Hal senada diungkapkan Jono, petani cabai di Boyolali.

"Kadang-kadang pemerintah itu kalau harga cabai baru naik sudah teriak-teriak. Tapi kalau harga murah, perhatian pemerintah memang benar-benar tidak ada," ucapnya.

https://regional.kompas.com/read/2020/08/07/16360051/terpuruk-hadapi-resesi-para-petani-pun-merugi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke