Salin Artikel

Cerita Kampung Tusuk Sate, Ikon Daerah yang Minim Pehatian

Betapa tidak, hampir semua warga kampung ini, terutama kaum ibu membuat kerajinan tusuk sate yang terbuat dari bambu.

Setiap hari, sejak pagi hingga petang menjelang, dapat ditemui ibu-ibu yang sedang membuat tusuk sate, di pelataran rumah hingga di bawah pohon rindang.

Mereka membuat tusuk sate atas pesanan dari pengepul yang juga merupakan warga setempat.

Kendati upahnya kecil. Namun, mereka mengaku bersyukur karena bisa mendapatkan penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan dapur sehari-hari.

Terlebih, jelang perayaan Idul Adha menjadi momen yang paling dinantikan karena pesanan tusuk sate berlipat ganda.

Melonjaknya permintaan pasar akan tusuk sate tentunya berimbas pada penghasilan mereka.

“Kadang sehari bisa dapat Rp10.000-Rp20.000. Kalau lagi marema (banyak pesanan) bisa lah Rp35.000 dibawa pulang ke rumah,” kata Sukaesih (50), seorang perajin tusuk sate kepada Kompas.com, Minggu (26/7/2020).

Sepi pesanan akibat pandemi corona

Namun, tahun ini Esih dan perajin yang lain harus mengurut dada karena sepi pesanan .

Pandemi Covid-19 yang bereskalasi secara global, nasional dan lokal sejak lima bulan terakhir berdampak nyata terhadap aktivitas usaha mikro mereka.

“Nyaris tidak ada pesanan sama sekali karena corona ini. Penghasilan kita juga jadi seret,” ucapnya.

Akan tetapi, Esih masih berupaya bertahan dengan tetap membuat tusuk sate, kendati belum mendapatkan bayaran.

“Daripada tidak ada kegiatan. Mudah-mudahan wabah corona ini segera berakhir dan pesanan tusuk sate bisa normal lagi,” katanya penuh harap.


Ikon daerah yang tidak pernah tersentuh program pemerintah

Sementara itu, perajin lain, Oleh (59) menuturkan, tidak tahu persis sejak kapan warga mulai menekuni kerajinan tusuk sate ini.

Oleh sendiri mengaku sudah menjadi pengepul tusuk sate sejak 20 tahun silam.

“Awalnya saya juga suka buat, lalu coba mengumpulkan dan membeli dari para perajin, dan berjalan sampai saat ini,” ucapnya.

Kendati telah menjadi ikon sebagai kampung penghasil tusuk sate yang produknya dipasarkan ke luar daerah. Namun, kegiatan usaha mikro tersebut belum pernah tersentuh program bantuan pemerintah.

“Sepengetahuan saya belum pernah ada sama sekali. Tapi, tidak tahu kalau yang lain. Para perajin juga belum pernah ada yang memerhatikan,” kata Oleh.

Padahal, sebagai pelaku usaha kecil dan mikro, Oleh sangat membutuhkan bantuan permodalan untuk mengembangkan usahanya.

“Yah, kalau yang dibutuhkan perajin mah tentunya suntikan modal. Mudah-mudahan saja ada yang peduli ke depannya," ujar dia.

Terpuruk

Apalagi saat ini kerajinan tusuk sate sedang terpuruk akibat pandemi Covid-19. Bagaimana tidak, sejak tiga bulan terakhir pesanan tusuk sate terus merosot.

Oleh bahkan mengaku sampai saat ini nyaris tidak ada pesanan. Padahal, jelang Idul Adha setiap tahunnya ia bisa memasok 50-100 bal. Satu bal berisi 25.000 tusuk sate.

“Sekarang barang masih menumpuk di rumah. Upah para perajin juga banyak yang belum saya bayar,” ucap Oleh lirih.

Oleh dan para perajin tusuk sate di kampung ini pun kini hanya bisa berharap wabah virus corona segera berakhir, sehingga pesanan pasar akan tusuk sate bisa kembali normal seperti sedia kala.

https://regional.kompas.com/read/2020/07/27/09151781/cerita-kampung-tusuk-sate-ikon-daerah-yang-minim-pehatian

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke