Salin Artikel

Pasar Baru Bandung Dulu dan Kini, Sebuah Potret Keberagaman dan Perekonomian

Setelah pindah ke Bandung, Munada mendapatkan kepercayaan dari Asisten Residen Priangan, Carl Wilhelm August Nagel, untuk pengadaan alat transportasi kereta angkutan.

Namun ternyata, Munada berperangai buruk dan menyelewengkan uang kepercayaan dari Nagel untuk berfoya-foya, mabuk, dan main perempuan.

Hingga akhirnya dia dipenjarakan dan disiksa oleh Nagel.

Akibatnya Munada mendendam dan dengan bantuan beberapa orang lainnya membakar Pasar Ciguriang.

Saat kerusuhan terjadi, Munada menyerang Nagel dengan golok hingga terluka parah dan meninggal keesokan harinya.

Cikal bakal Pasar Baru bandung

Kerusuhan dan kebakaran yang terjadi di Pasar Ciguriang (sekitar Jalan Kepatihan) tahun 1842 tersebut merupakan cikal bakal berdirinya Pasar Baru Bandung.

“Pasar Baru merupakan pasar tertua yang masih berdiri. Pasar ini merupakan lokasi pengganti Pasar Ciguriang yang terbakar,” ujar pemerhati sejarah Bandung dari Komunitas Aleut, Ridwan Hutagalung saat dihubungi, Minggu (19/7/2020).

Sejak terbakarnya Pasar Ciguriang, Bandung tidak memiliki pasar. Baru tahun 1884, untuk menampung para pedagang yang tercerai-berai serta aktivitas pasar yang tidak teratur, dibuka lokasi penampungan di kawasan Pecinan.

“Kawasan inilah yang kemudian hari dikenal sebagai kawasan Pasar Baru,” tutur dia.

Sebenarnya, saat itu sudah ada beberapa usaha perdagangan yang tersebar di sekitar Pasar Baru. Sebagian dari generasi penerus pertokoan ini masih melanjutkan usaha dagang kakek-buyutnya sampai sekarang.

Beberapa nama pengusaha terkenal dari masa lalu, sekarang terabadikan menjadi nama-nama jalan di sekitaran Pasar Baru. Seperti H Basar, Ence Ajis, H Durasid, H Pahruroji, dan Soeniaradja.


Pada 1906 baru didirikan pasar semi permanen. Bangunan ini kemudian dikembangkan pada 1926 dengan dibangunnya kompleks pasar permanen yang lebih luas dan teratur.

Bangunan ini memiliki dua atap limas yang sangat unik karena memakai bahan lembaran karet semacam ebonit yang dipasang secara diagonal dan hanya digunakan untuk menara pasar.

“Sayangnya ciri khas menara dan bahan atap itu sudah tidak bisa lagi ditemukan di Bandung akibat peremajaan pasar tahun 1970an,” ungkap dia.

Ridwan mengungkapkan, Pasar Baru sempat menjadi kebanggaan warga, karena meraih predikat pasar terbersih dan paling teratur se-Hindia Belanda pada 1935.

Setelah tahun 1970, perombakan kembali dilakukan tahun 2001 hingga 2003 menjadi bangunan modern 11 lantai dan menghabiskan dana Rp 150 miliar.

Ridwan menyebut, pada umumnya, masyarakat menyebut para saudagar Pasar Baru ini dengan sebutan “Orang Pasar”.

Salah satu kelompok keluarga besar para saudagar ini mengaku keturunan dari istri ke-4 Pangeran Diponegoro yang dibuktikan dengan pohon silsilah yang masih disimpan salah satu keluarga.

Peristiwa Perang Dipenegoro (1825-1830) juga menyisakan cerita lain. Konon akibat peperangan itu, banyak orang Tionghoa berpindah ke berbagai tempat, di antaranya ke Bandung.

Konon pula, Daendels-lah yang memaksa mereka datang ke Bandung melalui Cirebon sebagai tukang perkayuan dan untuk menghidupkan perekonomian di pusat kota.

Daerah hunian para pendatang baru ini berada di Kampung Suniaraja. Lokasi pemukiman Tionghoa pertama ini kemudian disebut Pecinan Lama.

Di sekitar Pasar Baru ini pun masih terlihat sisa bangunan lama yang menjadi perkembangan Pasar Baru, seperti Babah Kuya.

Pasar ini menjual berbagai macam kebutuhan dari ujung kepala hingga ujung kaki, dengan harga yang relatif murah.

Banyaknya pilihan membuat pasar ini menjadi surga belanjanya warga lokal. Lama kelamaan, Pasar Baru menjadi tujuan belanja para wisatawan asing, salah satunya Malaysia.

Tingginya minat wisatawan Malaysia belanja di Pasar Baru, membuat ringgit kerap dijadikan alat transaksi. Hal ini sempat membuat Bank Indonesia gerah.

Data Pasar Baru Trade Center menyebutkan, pada 2010, jumlah pengunjung mencapai 25.000-an orang per hari, bisa meningkat menjadi 35.000-an di bulan-bulan tertentu. Dari jumlah itu, 5.000-7.000 di antaranya wisatawan Malaysia.

Perputaran uang di Pasar Baru Bandung

Sedangkan perputaran uangnya sendiri berkisar Rp 3 miliar- Rp 4 miliar per hari. Jumlah ini terus meningkat setiap tahunnya.

Tak heran, jika pengunjung Pasar Baru berjubel dan membutuhkan stamina baik saat belanja.

“Dari Pasar Baru butut (jelek) sampai seperti sekarang, saya belanjanya di sini. Cari kain, datang ke atas, banyak orang India yang jualan. Kalau sepatu ada di tengah, biasanya yang jual orang Padang, di sini apa aja ada,” tutur Dewi (48), warga Bandung.

Pasar ini pun ikut terdampak pandemi Covid-19. Hingga kini, memasuki Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) jumlah pengunjung masih sedikit.

Pantauan Kompas.com, masih banyak toko yang tutup. Selain itu, warga yang ingin berbelanja harus mengikuti protokol kesehatan yang berlaku.

https://regional.kompas.com/read/2020/07/21/06550001/pasar-baru-bandung-dulu-dan-kini-sebuah-potret-keberagaman-dan-perekonomian

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke