Salin Artikel

Cerita Para Penjual Wingko Babat dan Lumpia Bertahan di Tengah Pandemi Covid-19

Belum lagi penerapan pembatasan kegiatan masyarakat (PKM) yang menyebabkan sebagian besar pedagang kaki lima (PKL) di Kota Semarang mengalami kerugian.

Pantauan Kompas.com, pusat perbelanjaan oleh-oleh khas Kota Semarang di sepanjang Jalan Pandanaran tampak sepi pengunjung, Selasa (26/5/2020).

Padahal, di tahun-tahun sebelumnya, pusat oleh-oleh terbesar di Kota Semarang itu selalu dipadati pengunjung atau wisatawan dari berbagai kota saat libur Lebaran hingga memasuki satu Syawal.

Namun, kini parkiran tampak sepi. Ini berbeda dengan tahun lalu di mana area parkir selalu penuh kendaraan pengunjung.

Keramaian kerapkali menyebabkan kemacetan di sepanjang Jalan Pandanaran karena pengunjung membludak.

Salah satu penjual Wingko Babat, Win (55) mengeluhkan Lebaran kali ini dagangannya sepi pembeli. Tentu saja karena wabah Covid-19.

Pengunjung yang datang rata-rata berasal dari lokal Semarang dan bisa dihitung dengan jari.

"Sepi sekali ini enggak ada pembeli. Mungkin karena ada larangan bepergian ke luar kota, jadi enggak banyak pengunjung. Biasanya membludak kalau pas musim libur Lebaran. Ini yang beli juga lokal semua," ujar Win saat berbincang dengan Kompas.com.

Win baru membuka tokonya pada Sabtu (23/5/2020), setelah dua bulan terakhir tidak menjajakan dagangan.

Seperti diketahui, sejak diberlakukan PKM, jam operasional pedagang di wilayah itu juga diatur.

"Sekarang jualannya dibatasi cuma sampai jam 20.00-21.00 WIB. Kadang jam 18.00 sore udah tutup. Berkurangnya jauh sekali. Kalau sepi ya langsung saya tutup," jelas warga asal Telogosari ini.

Di hari-hari sebelumnya, Win bisa menjual 25 sampai 50 keranjang Wingko Babat aneka rasa seharga Rp 20.000 per keranjang.

Namun, saat pandemi, dalam sehari hanya 3 sampai 5 keranjang yang mampu dijual.

"Semoga pandemi cepat berakhir supaya penghasilan bisa kembali normal," ujar Win yang sudah berjualan sejak tahun 1991.

Hal senada disampaikan penjual lumpia, Nur Halimah (31).

Saat pandemi Covid-19 seperti saat ini, penjualannya turun hingga 60 persen.

Nur mewarisi toko ayahnya "Pak Dhie" yang sudah menjalankan bisnis sejak 25 tahun silam.

"Biasanya pas musim Lebaran bisa jual sampai 100 buah lebih per hari harganya Rp 10.000. Sekarang cuma laku kalau ada pesanan saja. Kalau mengandalkan dari sini (lapak), enggak masuk penghasilannya," jelas Nur.

Selain berjualan di Jalan Pandanaran, Nur juga terbantu dengan penjualan secara online melalui Instagram, Facebook, dan WhatsApp.

"Ini sangat terbantu lewat pesanan online. Bisa kirim ke luar kota, kan ada nomor WA pelanggan. Tadi juga ada pesanan dari Jakarta 300 buah lumpia, dikirim paket lewat jasa pengiriman," ujar dia.

Nur berharap situasi pandemi segera berakhir agar penjualan para pedagang bisa kembali normal.

"Soalnya sekarang pada enggak berani jualan. Biasanya ada 33 pedagang yang buka kalau, sekarang paling cuma ada 11 pedagang. Semoga situasi kembali normal," ujar Nur.

Pantauan di lokasi, sebagian besar pertokoan telah menerapkan protokol kesehatan yang cukup ketat. 

Disediakan tempat mencuci tangan di dekat area pintu masuk toko.

Petugas sekuriti juga memeriksa suhu tubuh para pengunjung sebelum masuk toko.

Selain itu, pegawai toko oleh-oleh menggunakan face shield untuk melindungi diri.

Jarak antara kasir dan pembeli juga dibatasi oleh lembaran plastik berbahan mika.

https://regional.kompas.com/read/2020/05/27/11421491/cerita-para-penjual-wingko-babat-dan-lumpia-bertahan-di-tengah-pandemi-covid

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke