Salin Artikel

Cerita Seru Guru dan Orangtua Belajar di Rumah: Rebutan Gadget, Server Down, hingga Tenggang Rasa

Selama itu, pembelajaran dilakukan secara daring (online) dengan sebutan belajar di rumah. Bagi sebagian orangtua dan guru hal ini adalah pengalaman baru.

“Repot, mana anaknya susah belajar. Setelah beres harus fotoin dan kirim ke gurunya pada batas waktu tertentu,” ujar Titin, warga Permata Biru Bandung, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (18/3/2020).

Titin mengaku masih beruntung karena anak yang diurus hanya satu.

Pengalaman luar biasa dialami orangtua yang memiliki anak lebih dari satu.

Seperti Arie Lukihardianti yang memiliki tiga anak laki-laki. Rumahnya mendadak lebih heboh dari biasanya karena kebijakan belajar di rumah.

“Kalau ada tiga mata pelajaran hari itu, berarti ada tiga materi dan tiga tugas per anak yang dikerjakan secara online,” kata Arie.

Belum lagi, karena anaknya belajar di sekolah Islam, maka pembiasaan di sekolah harus dibawa ke rumah. Misal al matsurat, murojahah, tahsin, tahfidz, dan shalat dhuha.

Persoalannya, gadgetnya hanya ada satu. Jadi untuk melihat tugas, mengirimkan, dan membuat evaluasi, menggunakan gadget yang sama.

“Jadi kebayang dong, anak tiga berebut hp. Berantem juga. Sisi positifnya, anak belajar sambil belajar antre (gadget), kerja sama, dan toleransi,” tuturnya.

Yang terpenting, kesiapan orangtuanya.

Dari yang biasa membimbing PR (pekerjaan rumah), kini harus memberikan materi, mendampingi pengerjaan tugas, hingga pengiriman tugas melalui email dan WhatsApp dalam waktu tertentu.

“Abis gitu, kita harus ngisi evaluasi kelas online, kalo ga isi dianggap tidak mengerjakan. Padahal sebelumnya sudah dikirim via email dan WA,” ungkapnya.

Semua proses ini baru selesai pukul 19.00 WIB. Disaat anak-anak mengerjakan tugas, Arie baru bisa beres-beres rumah dan menyelesaikan pekerjaan kantornya.

“Ini semua teman-teman aku pada ngeluh, jadi susah mau ngapa-ngapain,” imbuh Arie.

Namun sisi positifnya, hubungan anggota keluarga menjadi lebih erat dan dekat.

Server down

Bukan hanya orangtua yang kerepotan di awal-awal pembelajaran daring. Hal serupa dialami guru.

Salah seorang guru SD swasta di Bandung, Mira mengaku lebih baik mengajar dalam kelas.

Karena mengajar secara daring merepotkan dan membuatnya serba salah.

“Khawatir ada sesuatu yang salah terus dikomplain orangtua. Belum lagi ngurusin anak dan rumah,” ungkapnya.

Guru lainnya, Sri Dewi Azizah mengatakan, terbatasnya fasilitas menjadi tantangan dalam pembelajaran daring.

Begitupun dengan cara penggunaan aplikasi online oleh para guru dan orangtua siswa menjadi kendala tersendiri.

Dewi mengaku, hambatan terbesar dalam belajar online adalah memberikan pengarahan kepada orangtua bagaimana cara menggunakan aplikasi.

Apalagi masih banyak siswa yang belum terdaftar sehingga mereka tidak bisa login. Ada pula orangtua yang kesulitan mengunggah tugas karena server down.

“Server down karena banyak yang mengakses untuk mengunggah tugas. Terus banyak pula orangtua yang bingung menggunakan aplikasinya (edulogy),” ucap guru SD Labschool UPI Kampus Cibiru ini menjelaskan.

Bagi Dewi, belajar tatap muka ataupun online memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kalau pembelajaran langsung, ia bisa tatap muka dengan anak-anak.

Jadi, ketika ada anak yang tidak mengerti, bisa langsung bertanya dan mendapat jawaban yang jelas.

Sedangkan pembelajaran online lebih fleksibel dan tidak kaku. Anak-anak pun lebih leluasa belajar dengan gaya mereka sendiri.

Soal membagi waktu dengan keluarga, Dewi mengaku, pekerjaan dilakukan saat anaknya sedang tidur.

“Anak saya usianya 13 bulan. Jadi jam tidurnya masih sering, setiap 3 jam sekali,” pungkasnya.

https://regional.kompas.com/read/2020/03/18/11222091/cerita-seru-guru-dan-orangtua-belajar-di-rumah-rebutan-gadget-server-down

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke